Ada yang Lebih Menderita

Saya melangkah ke instalasi tempat pasien dengan gangguan jiwa di rawat. Bagitu memasuki ruangan saya melihat beberapa orang berjas putih. Sepertinya mereka adalah mahasiswa koass atau residen. Beberapa sedang asyik berbincang dengan orang-orang yang berbaju ungu, mirip baju saya pagi itu. Sembari menunggu dosen, saya mengambil kursi di tengah supaya lebih banyak melihat dan mendengar percakapan mereka. Baru beberapa saat, saya merasa akan mendapatkan lebih dari yang saya niatkan. Oya, kunjungan saya ini awalnya adalah sebuah tugas untuk mata kuliah Psikologi Emosi.

Saya bersama teman-teman lalu memasuki sebuah ruangan yang luas, ada tempat tenis meja dan sebagian rerumputan dengan atap langit. Tentu saja sekelilingnya adalah pagar besi yang tidak memungkinkan kami keluar kecuali melalui pintu utama. Saya langsung duduk di bangku panjang sementara dosen saya dan seorang psikolog dari Rumah Sakit itu memberi pengarahan awal kepada kami. Beberapa pasien itu duduk di kanan-kiri saya. Kami berhimpitan karena bangku yang kecil itu. Saya tersenyum sambil mengulurkan tangan berkenalan.

Di sebelah kiri saya, saya tahu kemudian bahwa dia hipersensitif (emosinya) tapi bawaannya seperti ngantuk melulu. Sementara yang di kanan saya mulai melirik-lirik teman putra saya dan menanyakan namanya. Dua orang pasien putra bermain tenis meja bersama dua teman saya. Yang lain hanya berjalan-jalan keliling ruangan dan sibuk berbincang bersama teman-teman saya. Ada yang diam seperti melamun serta ada juga yang berbicara tak henti-henti.

Oh ya, berdekatan dengan mereka bukanlah soal. Memang ada bau dan tatapan mata yang khas. Ini bukan sesuatu yang mengganggu kecuali bagi yang sensitif. Gangguan jiwa juga bukan penyakit menular. Ini mengenai bagaimana cara kita menghadapi masalah. Saya yakin orang yang sehat (juwanya) cukup mampu mengendalikan diri sehingga tidak perlu merasakan perawatan di instalasi ini. Kita juga tidakusah merasa enggan atau takut. Mungkin hanya perlu berhati-hati jika menemukan sebagian yang memang memiliki kecenderungan agresivitas yang tinggi, karena biasanya merusak, melukai atau melakukan tindakan kekerasan. Selain itu mereka ini orang biasa, yang juga selayaknya kita perlakukan sebagaimana kita biasa memperlakukan orang lain. Tidak perlu memandangnya lebih rendah atau iba yang berlebihan.

Waktu itu saya cenderung diam mengamati semuanya sambil sesekali merespon seorang pasien di sebelah saya tadi. Dia bosan dan saya biarkan beranjak untuk mendekati teman saya yang lain. Rupanya dia tertarik dengan warna coklat. Sejak tadi saya telah mendengar dia menyebut-nyebut kata itu tapi saya tidak mengerti. Sekarang dia telah bersama teman saya yang ber-sweater coklat itu.

Tak lama kemudian saya dan seorang perawat berbincang bersama soerang pasien perempuan tentang drakula, tentang bagaimana seharusnya seseorang tidak mematikan listrik se-Kabupaten Bantul, tentang seseorang yang sering datang kepadanya, halusinasinya. Saya tercenung mendengarkan kisahnya. Hubungan cinta yang tidak direstui keluarga hingga terlibat seks bebas serta berbagai persoalan lain sebagai faktor pemicu stress telah mengantarkan gadis manis belasan tahun ini ke bangsal ini.

Lalu perawat menjelaskan kepada saya tentang seorang pasien yang sejak tadi sibuk bercerita. Skripsi yang bermasalah sehingga urusan kuliah nggak selesai-selesai, tekanan keluarga dan lain-lain. Awalnya with drawl, menarik diri dari pergaulan sosial tapi kemudian muncul logorrhea, kecenderungan berbicara terus-menerus. Hari ini dia akan pulang. Dari tadi dia memang sibuk minta alamat dan nomor telpon teman-temannya, juga kepada kami. Bicaranya sungguh lancar, logis dan enak didengarkan, kebanyakan tentang dunia kuliah. Tak nampak sebagai seorang pasien di bangsal gangguan jiwa. Lalu saya minta kenalan dan diapun menyebut nama, alamat, tempat kuliah dan menceritakan hal yang sekilas tadi juga sudah saya dengar. Kebetulan saya mengenal beberapa dosennya dan materi-materi kuliah di sana. Obrolan kami semakin seru.

“Mbak, maaf. Saya nih cerita terus. Padahal saya tuh udah menjalani berbagai terapi.”

Dia menyebut berbagai jenis terapi dan obat yang harus diminumnya dengan lancar dan tepat. Saya tersenyum. Bahkan saya malah nggak hafal.

“Gimana ya caranya biar saya berhenti bicara?”

“Hmm, saya usul, gimana kalau gantian mendengarkan?” kata saya.

“Oh ya? Trus Mbak Ika yang cerita ya. Nanti saya mendengarkan saja.”

Teman-teman saya ikut-ikutan mendukung dan mengusulkan agar saya bercerita tentang proses skripsi saya. (Wah, kena deh!) Sebenarnya saya agak khawatir kalau itu malah membuatnya terluka. Setelah melirik perawat sekilas, sayapun bercerita tentang rencana penyusunan skripsi saya, mulai dari usulan judul, dosen pembimbing hingga bab dua yang belum beranjak dari dua halaman dari hasil membaca sekian banyak jurnal dan sekian lama browsing. Mungkin cerita saya begitu emosional hingga teman-teman saya begitu empati mendengarnya, melewatkan ekspresi emosi pasien di depan saya ini. Selama lima menit saya bercerita dia hanya mengangguk-angguk dengan sesekali tersenyum.

“Na, sekarang saya boleh berkomentar ya, Mbak?”

Hampir serempak kami mengiyakan. Dia mulai memberi komentar, tentu saja lebih panjang dari cerita saya. Teman saya berbisik menanggapi tentang pengendalian dirinya yang bagus, disiplin tapi kok kembali banyak bicara. Sepertinya dia mendengarkan sambil menunggu kesempatan untuk berbicara. Ah, saya tak ingin menuduh. Saya tidak begitu serius mengikuti analisanya karena lebih tertarik pada komentar-komentarnya itu.

“Wah, ternyata ada yang lebih menderita dari saya ya. Lha, itu bab dua, dua halaman belum nambah-nambah. Saya malah udah lewat dari yang ditargetkan. Seharusnya saya bersyukur ya, Mbak. Wah, terima kasih ya Mbak ceritanya. Ini saya mau pulang. Besuk kalau udah adaptasi saya mau ngerjain skripsi lagi. Oh, saya juga jadi belajar mendengarkan. Mbak, minta nomor telponnya ya.” Begitulah kira-kira. Kalimatnya terdengar ringan.

Perbincangan kami terhenti karena dia telah dipanggil untuk pulang bersama keluarganya. Sambil berpamitan pada setiap orang dan tentu dengan terus-menerus tersenyum (sepanjang pagi tadi saya belum pernah melihatnya tidak tersenyum) lalu akhirnya menjabat tangan saya,

“Sampai jumpa ya mbak, ternyata ada yang lebih menderita dan saya harus belajar mendengarkan.” Kali ini tawanya berderai.

“Ya…ya..”, saya tergagap dan ikut tertawa. Cepat sekali dia mengikat makna. Dia seperti menemukan kunci-kunci yang dibuatnya untuk kalimat perpisahan bersama kami. Dia melihat saya lebih menderita padahal saya juga melihatnya demikian. Tawa saya disambung oleh teman-teman yang ganti mentertawakan saya.

Sepanjang perjalanan keluar rumah sakit itu saya memutar ulang kisah manis pagi itu. Tentang rasa syukur karena apa yang kita alami tak lebih parah dibanding penderitaan orang lain dan tentang belajar mendengarkan. Sepertinya saya sedang diingatkan agar lebih banyak berbekal.

Kadang mungkin kita sering merasakan beban hidup yang begitu berat. Urusan yang tak kunjung selesai. Musibah yang bertubi-tubi. Kehilangan hal-hal yang kita cinta begitu tiba-tiba. Meski dalam Al-Baqarah (155) kita telah diingatkan, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan…”, tetapi kadang persoalan yang sebenarnya sederhana, sering kita tiup hingga seperti balon yang terus-menerus mengembang semakin besar.

Syukur dan trenyuh yang silih berganti dalam hati saya mengingat apa yang saya saksikan pagi itu. Sempat terlintas kekhawatiran bahwa kita pun punya peluang untuk mencicipi bangsal jiwa ini, seperti mereka. Pada sebagian stressor tadi mungkin kita juga mengalaminya. Namun karena Allah masih mengaruniakan kekuatan untuk dapat melakukan coping (pemecahan masalah) dengan sehat kita tak perlu mengalami gangguan. Acceptance, nrimo, qana-ah, rasa syukur dengan segala macam ekspresiya itulah rahasia ketenangan kita.

Dan, aha! Mendengarkan! Rupanya ini ketrampilan yang semua orang setiap saat harus terus-menerus mengasahnya. Hati sering luka karena ucapan. Hati menjadi berbunga-bunga juga karena ucapan. Qalilan sadida, perkataan yang berbobot atau yang baiklah yang berpeluang meyembuhkan luka. Mendengarkan adalah proses belajar menekan “nafsu” kita untuk memotong pembicaraan, berkomentar dan terutama ingin tampak benar dan bijak. Mendengarkanlah dengan produktif, karenanya lahir kata-kata yang terapeutik, menyembuhkan. Insya Allah.

Yogyakarta, 14 Oktober 2006 “Terima kasih, Mbak. Kutunggu telponmu!”