Jangan adamu seperti tidak adamu. Kalimat bijak tersebut kerap terngiang di telinga saya manakala saya sedang diliputi rasa capai dan lelah ketika bekerja. Mengapa? Sebab, kalimat itu selalu saya ingat agar saya tidak melulu mengeluh karena padatnya aktivitas.
Kiranya, tidak berlebihan bila saya menyebutnya demikian. Pasalnya, ritme kerja jurnalis atau editor amat berbeda dengan orang kantoran pada umumnya. Kami ibarat kelelawar karena bekerja atau mencari makan pada malam hari. Ketika banyak orang sudah terlelap tidur dan terbuai mimpi, kami harus merampungkan menu berita untuk disajikan kepada masyarakat.
Belum lagi perjuangan para reporter di lapangan. Mereka tak jarang pagi-pagi sekali harus berada di lapangan untuk meliput berita, sorenya kembali ke markas berita untuk setor berita. Kadang, mereka harus berhadapan dengan sulitnya menghubungi narasumber atau menuruti perintah para redaktur. Bahkan, ada rekan wartawan yang mengeluh karena beritanya tidak dimuat, padahal dia merasa setengah mati berjuang untuk menemui narasumber dan menulis beritanya.
Lelah seusai bekerja itu pasti. Namun, bekerja dengan mengandalkan pikiran amat melelahkan ketimbang bekerja dengan hanya mengedepankan kekuatan atau tenaga. Seringkali setelah pikiran begitu terkuras, stres siap menyapa.
Karena itu, saya selalu berusaha untuk mencintai betul-betul profesi yang saya tekuni saat ini. Saya ingin mencapai tahap bekerja seperti rekreasi. Saya berupaya mencintai sepenuh hati, tanpa terbatas apa pun dan syarat apa pun. Cinta tanpa syarat untuk sebuah profesi.
Detik pada saat saya menulis catatan pendek ini, saya sedang sakit. Tubuh saya demam, mual, dan sempat muntah darah. Mudah-mudahan saya tak terkena demam berdarah atau gejala tifus.
Bulan-bulan ini saya rasakan sangat berat. Saya kurang istirahat, apalagi saat ini saya terjun di program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Namun, saya baru sadar bahwa saya lalai karena tak mengindahkan kesehatan diri sendiri.
Sering, saya ditelepon pagi-pagi sekali oleh para guru yang ingin bertanya meski sebenarnya saya masih istirahat. Namun, saya tetap setia dan ramah melayani mereka. Bisa dibayangkan, kadang, pagi saya sudah harus berada di kantor untuk membantu program tersebut. Malamnya, saya harus bekerja di redaksi. Pernah, suatu ketika saya menerima SMS dari beberapa guru yang marah karena saya tidak mengangkat telepon dan membalas pesan singkatnya. Saya tak menjelaskan bahwa saat itu saya tengah ketiduran sehingga tidak tahu ada telepon masuk. Saya benar-benar kelelahan berat kala itu. Saya meminta maaf kepada beliau dan segera menjawab pertanyaannya tanpa mencari alasan pembenar.
Semoga laptop ini masih kukuh menjadi media penyambung lidah saya kepada beberapa guru yang tak sempat saya balas teleponnya. Saya sekarang jatuh sakit dan detik-detik
berlalu begitu cepat.
Wajah dan jari-jari ini ikut pucat. Saya benar-benar melalaikan mereka, anggota tubuh saya. Maka, kini saya hanya pasrah apabila sakit menyapa.
Namun, satu-satunya yang tetap saya pegang teguh adalah kalimat "Jangan adamu seperti tidak adamu". Saya yakin, saya jatuh sakit bukan karena saya kebanyakan duduk berleha-leha tanpa bekerja. Saya tak mau menjadi orang yang hanya duduk di meja kerja sambil bermain komputer dan tak ada produktivitas. Sungguh tak nyaman rasanya jika waktu terbuang sia-sia karena tidak bekerja. Sama sia-sianya membuat Surabaya menjadi merah jambu demi menyambut ritual Valentine. Celaka!
samuderaislam.blogspot.com
[email protected]