“Tempat ini harus digali dengan kedalaman lebih dari 100 meter lho!” Sobat baruku ini berujar, sambil menunjuk ke arah bekas galian, di mana di dalamnya tertanam pipa untuk menyedot air bersih. ”Selain itu,” katanya melanjutkan, ”tidak semua titik di daerah ini bisa mendapatkan air bersih. Salah titik, yang muncul malah air laut.”
Mesin pompa air ini merupakan sumbangan, hasil lobby salah seorang wakil rakyat, untuk Musholla. Dengan keberadaan pompa ini, kebutuhan air untuk Musholla dapat teratasi dengan baik. Selain untuk kebutuhan ibadah, saat musim kering, di mana air jadi lebih sedikit lagi dibandingkan biasanya, warga sangat mengandalkan sumber air dari Musholla ini. Mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan air bersih. Tapi terkadang terjadi juga perkelahian antar warga karena rebutan jatah.
Di samping Musholla berdiri TK yang juga sederhana. TK ini gratis, dan mampu menampung seratusan siswa untuk dua shift waktu belajar. Dibuat gratis karena memang kebanyakan warga tidak mampu membayar uang sekolah. Gaji guru berasal dari para donatur.
Kami, yang mendengarkan penjelasan tadi, menggumam, dengan gumaman masing-masing. Aku dan seorang teman di sampingku bergumam mengucapkan syukur. Bersyukur karena tidak mengalami situasi rumit sedemikian rupa seperti di tempat ini. Bersyukur betapa mudahnya kami mendapatkan air bersih di daerah tempat tinggal kami. Cukup gali beberapa meter, air akan menyembur dengan deras.
Di daerah berhawa panas ini, air bersih harus didapat dengan membeli. Pantas jika kita menyaksikan banyak pedagang air, dengan gerobak penuh berisi jirigen. Mereka berkeliling memasuki gang-gang sempit, mengantarkan jirigen-jirigen tadi ke rumah-rumah, untuk kebutuhan minum dan makan, cuci dan mungkin mandi para warga.
Fenomena sulitnya mendapatkan air bersih hanyalah satu saja dari sekian banyak fenomena lain yang aku temui dalam perjalanan mengunjungi saudara ke daerah pinggiran laut di ujung utara Jakarta itu. Perjalanan yang semakin menyadarkanku bahwa ada ’dunia yang lain’ yang sesungguhnya tidak begitu jauh lokasinya dari tempat tinggalku, namun memiliki beraneka perbedaan yang begitu ekstrim.
Lihatlah rumah-rumah di sana. Berdesak-desakkan memenuhi lahan-lahan sempit. Beratap rendah, dengan ventilasi hanya dari jendela depan rumah. Tak ada jendela samping kiri dan kanan. Tak ada teras belakang untuk menikmati semilir angin. Beberapa rumah yang kukunjungi memiliki ruang tamu yang begitu sempit. Seandainya motorku di sisipkan ke ruang tamu itu, maka tak ada lagi ruang yang tersisa.
Tak ada tanah lapang. Pohon-pohon yang Allah ciptakan untuk meneduhi tak lagi mendapatkan tempat. Atau malah sudah tak sanggup lagi untuk tumbuh.
Di tempat marginal seperti ini, sering kali kita jadi lebih mampu menyadari bahwa apa yang sudah Allah berikan kepada kita sebenarnya sudah melimpah ruah, sampai terbata-bata lisan untuk mensyukurinya. Apa yang selama ini dianggap terlalu biasa bagi kita sebenarnya sudah merupakan karunia luar biasa bagi sebagian yang lain.
Putar saja keran air di rumah kita, nikmati kucurannya, sadari bahwa ada daerah yang lokasinya masih di negeri ini, yang tidak bisa menikmati kucuran air sebagaimana kita menikmatinya. Begitu biasanya, sehingga mudah saja bagi kita untuk menghambur-hamburkannya.
Nikmati dan syukuri tempat kerja kita yang nyaman, terhindar dari terik matahari, bernuansa AC nan sejuk, diiringi musik sesuai selera kita. Sebab, tak jauh dari tempat kita, ada saudara-saudara kita harus mengukur jalanan, berpayung awan, merelakan kulit mereka terbakar sinar matahari, demi mengais rizki yang boleh jadi jumlah nominalnya masih lebih kecil dari pada yang bisa kita peroleh.
Nikmati dan syukuri tempat kerja kita, dengan tidak menghambur-hamburkan waktu kerja untuk hal-hal yang sia-sia. Dengan tidak memanfaatkan fasilitas kantor dan alat-alat kerja untuk hal-hal yang bukan peruntukkannya.
Banyak sekali orang yang tidak seberuntung kita. Bukan tanpa maksud Allah menakdirkan itu semua. Tsumma latus alunna yawmaidzin ’anin na’iim. Kemudian kelak Allah benar-benar akan menanyakan segala nikmat yang telah kita terima.
”Bagaimana orang bisa tinggal, hidup, dan bahkan berumah tangga serta beranak pinak di tempat tinggal semacam ini?” pikirku membatin, kelu. Semakin kelu hatiku melihat stiker salah satu partai, dihiasai gambar wajah segar seorang Caleg. Stiker itu menempel di pintu rumah yang sudah lapuk. Adakah caleg yang didukung dengan tenaga, waktu, peluh dan keringat orang-orang miskin ini mengenal mereka-mereka yang mendukungnya? Mudah-mudahan begitu. Mudah-mudahan para wakil rakyat itu adalah orang-orang bersyukur, dengan lebih sering bersama para wakilnya untuk mendengarkan keluh kesah mereka, ketimbang menghabiskan waktu di gedung ber-AC, mendebatkan hal-hal yang belum tentu bermanfaat buat orang-orang yang telah mempercayakan amanah kepadanya.
Sedangkan buatku, pertanyaan terpenting dari semua ini adalah, apakah yang Allah kehendaki dariku, dengan menakdirkanku hadir di tempat semacam ini? Seperti yang sudah kita pahami, Dialah sebaik-baik tempat bertanya, dan Dialah sebaik-baik Pemberi petunjuk.
Wallahu a’lam bishshowwab.
sabruljamil.multiply.com