Musibah dan anugerah adalah dua hal yang tidak luput dari kehidupan manusia. Agama telah mengajarkan bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Saat mendapat musibah kita harus bersabar, dan itu baik bagi kita karena dengan kesabaran, kita berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita. Jika mendapat anugerah kita harus menyikapinya dengan bersyukur, dan itu juga baik bagi kita. Dengan bersyukur akan menambah tabungan untuk bekal kehidupan kelak diakherat. Barang siapa bersyukur, Insya Allah, Allah akan menambah nikmat kepada orang tersebut dan barang siapa kufur, sesungguhnya azab Allah sangat pedih.
Sebagian orang lebih mudah untuk bersyukur tatkala menerima anugerah dan kenikmatan dibandingkan bersabar saat sedang diuji dengan musibah. Banyak orang menjadi putus asa dengan ujian berupa musibah dan memandang musibah adalah sesuatu yang harus dihindari. Dengan doa, Insya Allah akan menolak musibah yang akan terjadi, namun jika musibah sedang menimpa atau telah menimpa diri kita, kita harus berusaha menyikapi dengan sabar dan mengambil hikmah dibalik musibah tersebut.
Musibah sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan, sesuatu yang menyedihkan dan lain sebagainya. Namun jika kita renungkan sedikit ternyata banyak hal yang pada mulanya kita anggap sebagai musibah pada akhirnya menjadi sebuah berkah bagi yang mengalaminya. Hikmah di balik musibah tersebut ada yang kita sadari, namun banyak juga yang kita lewatkan begitu saja. Ibarat murid disekolah, mereka akan naik kelas setelah lulus ujian, demikian pula Allah akan menguji hamba-Nya yang beriman dan akan mengangkat derajat dengan balasan di dunia dan di akherat.
Musibah letusan gunung Merapi yang terjadi beberapa waktu lalu, telah meluluh lantakkan hampir seluruh tanaman disekitarnya, semburan awan panas telah menghanguskan sayur mayur di lereng-lerang gunung merapi. Namun beberapa bulan berikutnya, tanaman dan sayuran sangat subur hijau royo-royo yang membuat terkesima mata memandang dan menyejukan hati bagi para petani. Dan masih banyak contoh-contoh lain yang dapat kita petik hikmahnya dari sebuah musibah ataupun bencana.
Musibah tidak hanya berupa bencana alam, kesulitan ekonomi, kekurangan bahan makanan, hilangnya gas dari peredaran, kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan seringkali menyimpan misteri hikmah didalamnya. Dan bersama kesulitan terdapat kemudahan.
Secara ekonomi kami dibesarkan dari keluarga yang boleh dibilang kurang mampu, hal ini bukan berarti kami tidak menyukuri nikmat yang telah Allah anugerahkan. Untuk keperluan sehari-hari memang waktu kecil adalah masa-masa yang berat. Belum pernah rasanya pergi ke sekolah waktu SD memakai sepatu dan memakai tas. Berangkat sekolah dengan kaki telanjang dan dengan tas kresek adalah hal yang lumrah. Saat berangkat sekolah pun tidak jarang harus menunggu pakaian dicuci dulu, karena hanya satu-satunya dan berangkat dengan pakaian setengah basah.
Walaupun kondisinya sangat berat, semangat belajar keluarga kami sangat besar. Saat sekolah lanjutan berjalan kaki 6 km dalam sehari, tidaklah begitu dirasakan. Sepulang sekolah menjelang Asyar kepingin rasanya cepat-cepat sampai dirumah dan menikmati hidangan makan siang. Kadang-kadang Sampai dirumah ternyata belum tersedia makanan, karena ayah ibu juga baru pulang dari ladang. Maka kami harus membantu memasak terlebih dahulu, itupun tidak semudah memasak beras, karena waktu itu sehari-hari dengan nasi jagung, sehingga sebelum dimasak harus di tumbuk dulu supaya menjadi tepung. Sambil menanak nasi, sebagian kami mencari sayur atau umbi-umbian untuk dijadikan lauk.
Setelah istirahat sejenak, sehabis asyar kami mulai berangkat ke ladang membantu ayah, berangkat membawa pupuk kandang yang sangat berat, dan pulangnya membawa kayu bakar atau rumput buat pakan ternak. Sambil perjalanan pulang pergi ke ladang yang lumayan jauh, biasanya saya manfaatkan untuk sambil membaca pelajaran yang telah diringkas menjadi potongan kertas kecil. Tangan kiri memegang keranjang dan sabit, tangan kanan memegang catatan pelajaran.
Untuk membayar biaya sekolahpun adalah hal yang tidak mudah waktu itu, tidak jarang kami menunggak SPP hingga beberapa bulan. Jika pembayaran sudah jatuh tempo namun belum mempunyai uang, maka pagi-pagi sehabis subuh kami bersama ibu mencabut singkong ke kebun dan dibawa ke pasar. Harga singkong juga sangat murah waktu itu, sehingga supaya cukup untuk biaya SPP kami harus mengangkut beban yang sangat berat, bahkan pernah bawaan kakak sampai roboh. Saya juga tidak jarang membawa beban berat (nyunggi) hingga sampai sekarang masih ada bekas cekungan karena tekanan sekarung singkong yang saya bawa. Selain itu kami juga rajin menguliti batang pisang lalu dijemur, setelah kering dijual untuk bahan membuat keranjang tembakau (tombong). Hasil penjualan batang pisang (debog) tersebut kadang untuk keperluan dapur, kadang untuk membayar biaya sekolah.
Uang saku ke sekolah adalah sesuatu yang langka, jika teman-teman yang lain ke kantin saat istirahat, saya lebih memilih berdiam diri di kelas atau membawa bekal singkong yang saya masukkan dalam tas plastik, dan saya makan dikebun dekat sekolah, karena malu jika dilihat teman-teman. Waktu SMEA bekal yang dibawa juga masih setia, singkong dan singkong, ya sesekali bisa ke kantin jika ada uang lebih, apakah sedih hanya mbekel singkong, enggak juga tuh, biasa aja.
Bahkan saat SMEA, saya pernah sampai tidak berangkat sekolah saat ujian nasional, karena sampai batas waktu yang ditentukan belum sanggup melunasi SPP. Saya malah berangkat ke ladang membantu ibu memetik hasil tani. Saya tidak bilang sama Ibu bahwa saya tidak berangkat karena belum bayar SPP, karena saya khawatir beliau sedih jika mengetehuinya. Namun baru sekitar setengah jam saya diladang, ada utusan pak guru yang menjemput saya dan memperbolehkan saya mengikuti ujian walaupun belum lunas. Akhirnya saya langsung berangkat ke sekolah yang berjarak 20an km dengan membonceng utusan tersebut, dan walaupun tinggal sisa waktu setengah, Alhamdulillah saya lulus saat pengumuman bahkan mendapat point A pada mata ujian tersebut (Terima kasih pa Mulyono dan mas Supadi).
Menginjak kelas 3 SMEA saya membantu memasarkan dagangan koperasi sekolah, dengan pembayaran setelah laku. Saya dapat membantu sedikit-sedikit kebutuhan di rumah dari laba hasil penjualan tersebut dan sisanya saya tabung. Setelah lulus SMEA dengan berbekal tabungan sebesar 25 ribu saya merantau ke Jakarta untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Banyak lamaran yang telah dimasukkan namun tidak ada yang dipanggil, pernah dipanggil sebagai Cleaning Service dan sempat saya jalani beberapa bulan. Namun penghasilan yang diterima jauh dari cukup. Pada saat yang bersamaan saya mencoba mendaftar sekolah kedinasan dan Alhamdulillah diterima dan kuliah Gratis. Untuk biaya sehari-hari saya sambil jualan kacang telur yang saya titipkan ke warung-warung saat berangkat kuliah dan sorenya saya menagih hasil penjualan.
Dari tempaan kondisi yang sulit tersebut justeru memacu saya semangat berdagang/berwirausaha. Setelah selesai kuliah usaha dagang tetap saya teruskan. Dengan aneka dagangan yang lebih banyak, membuat kripik, membuka warung indomi, cheese stick, dan lain-lain. Bahkan sempat penghasilan yang saya peroleh dari berdagang hampir sepuluh kali lipat dibanding dengan gaji, dengan dibantu sekitar 10 orang tenaga kerja dan menyuplai lebih dari 400 toko serta beberapa supermarket.
Hingga saat ini, justeru berdagang menjadi hobi tersendiri yang sangat membantu ekonomi keluarga. Hal ini mungkin tidak akan pernah terjadi jika saya dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan. Namun karena kondisi sulit tersebut memaksa kami untuk menciptakan peluang-peluang penghasilan. Dengan dipadukan dengan teknologi internet berdagang menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan. Alhamdulillah sudah banyak kemajuan yang saya peroleh melalui usaha dagang tersebut. Membantu keuangan keluarga di kampung, tempat tinggal dan kendaraan roda 2 dan 4 walau sederhana sedikit banyak saya peroleh dari wirausaha tersebut, walaupun materi bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan seseorang.
Musibah dan anugerah, sukses dan gagal, jika diibaratkan dalam perjalanan di kereta api, bisa saja seperti pemandangan kiri kanan rel, sawah hijau membentang, gunung-gunung tinggi menjulang, air mengalir, pohon-pohon, dan kadang pula menemui bebatuan terjal, sambungan rel yang renggang, yang sedikit mengurangi kenyamanan, namun kita tidak terlena dengan keadaan di sekitar perjalanan, itu bukanlah tujuan, tetapi hanya pemandangan sekejap, tujuannya adalah suatu tempat stasiun/kota yang masih jauh di seberang sana.
Demikian pula, musibah dan anugerah, gagal dan berhasil dalam kehidupan adalah sebagai bumbu pemanis dalam mengarungi bahtera kehidupan, tujuan akhir kita adalah kembali kepada Allah atau Tuhan kita dalam keadaan yang diridhai, dan kebahagian yang tiada akhir.
Wallahu a’lam bishowab
Cah ndeso sobo khuto – Cepogo.com