Ada Cinta di Bus Kota

Suatu malam selepas suami beraktifitas di kampus seharian, saya mengajaknya menemani saya berbelanja. "Sekalian jalan-jalan, Ayah…!", bujuk saya. Ya, untuk ibu rumah tangga seperti saya, acara belanja sayur ditemani suami sudah cukup jadi hiburan dan melegakan saya dari pemandangan dinding-dinding apartemen mungil kami 24 jam sehari. Hari ini saya ingin belanja ke sebuah toko swalayan besar yang lokasinya agak jauh dari tempat tinggal karena ada diskon empat puluh persen untuk produk buah dan sayuran. Alasan khas ibu-ibu memang, namun begitulah kenyataan hidup sebagai keluarga pelajar di negeri orang, penuh usaha penghematan.

Pukul lima empat puluh, matahari telah hilang sinarnya sejak tadi, saya dan suami sudah berada di bus kota yang akan membawa kami ke tujuan. Jam sibuk di ujung hari, setiap halte terlihat ramai oleh calon penumpang yang menunggu bus kota berbagai jurusan, andalan utama transportasi masyarakat di kota Trondheim. Bus kota yang kami tumpangi hampir penuh hingga saya dan suami harus duduk terpisah. Di dekat pintu keluar, kurang lebih satu setengah meter di depan saya duduk seorang kakek. Tampaknya beliau bepergian sendiri. Bangku yang didudukinya khusus untuk manula, fasilitas yang tak terlalu istimewa namun penuh pertimbangan kemanusiaan untuk memudahkan para penggunanya.

Bus baru melewati beberapa halte saat saya lihat sang kakek meminta bantuan seorang ibu di depannya untuk menekan bel pertanda beliau akan turun di halte berikutnya. Tak lama berselang bus menepi di halte tujuan. Sesaat kemudian pintu bus pun terbuka lebar, diiringi gerakan hidrolik di sisi sebelah kanan membuat sebagian badan bus bergerak merendah. Kini jarak antara pintu dan trotoar menjadi begitu dekat hingga nyaris bersentuhan.

Sang kakek berdiri dari tempat duduknya, beliau mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar yang tak jauh darinya. Detik demi detik berlalu mengiringi langkah sang kakek yang bergerak perlahan. Perlahan -sangat perlahan-, karena memang hanya sebegitulah kemampuan yang tersisa di usia tua. Sesaat saya tertegun saat pandangan saya alihkan dari langkah si kakek ke barisan penumpang dan sopir yang menatap dari kaca spion depan. Rupanya semua mata tengah tertuju pada sang kakek tua, seiring langkah beliau menuju pintu yang merendah tadi. Entah kenapa tiba-tiba jantung saya berdegup lebih kencang. Saya menunggu sesuatu yang tak saya harap terjadi, mata saya mencari-cari.

Satu detik, dua detik, dan detik-detik berikutnya berlalu dalam diam. Saya masih menunggu sementara si kakek tampak terus lambat bergerak melalui pintu. Sekali lagi mata saya berkeliling mencari sesuatu, tapi saya tak menemukannya. Tak ada satupun decak atau cibir apalagi gerutu dari para penumpang maupun sopir itu meski sang kakek berjalan sangat lamban seakan menguji kesabaran semua orang untuk tertunda sampai ke tujuan. Dari berpasang-pasang mata itu yang saya temukan adalah sinar cinta dan simpati pada sang kakek tua.

Detik berikutnya kedua kaki sang kakek telah mencecah di trotoar, namun sang sopir kiranya tak berniat untuk buru-buru menutup pintu. Ditunggunya sang kakek berlalu agak menjauh dari bus besar sarat penumpang itu. Beberapa saat kemudian pintu baru ditutup diiringi desis hidrolik yang kembali mengangkat sisi bus yang merendah tadi. Bus kota pun kembali melaju.

Sesaat saya termangu, rasanya saya baru saja menyaksikan sepenggal episode cinta di bus kota. Cinta, kelapangan hati dari sopir bus dan semua penumpangnya atas keterbatasan si kakek tua yang membuat kami harus melalui puluhan detik dalam diam, tertunda dalam perjalanan. "Ah, pikiran sok romantis yang konyol!", akhirnya hati saya berkata dengan bibir mengulum senyum. Bukankan memang begitu seharusnya kita berlapang hati, apalagi pada orang tua?

Astaghfirullah, rupanya hati dan pikiran saya sudah begitu kelam oleh rekaman dari masa lalu, saat saya setiap hari harus rela berjejal di bus kota di belahan bumi yang lain, di tanah air saya. Saat itu yang akrab dengan telinga saya adalah teriakan, "Buruan..buruan! Ayo cepat!", saat bus kota berhenti berebut penumpang di persimpangan. Tak peduli tua muda, bahkan ibu hamil sembilan bulanpun harus siap meloncat jika tak ingin ketinggalan bus yang tak diberhentikan sempurna. Belum lagi tatapan-tatapan kesal jika orang-orang yang hendak turun bergerak begitu lambat karena harus mencari jalan di antara desakan penumpang.

Ah, saya rindu melihat episode cinta yang sama seperti yang baru saya lihat tadi jika kelak saya kembali ke tanah air. Saya rindu para sopir, kondektur dan penumpang yang bersabar untuk kenyamanan penumpang lain, apalagi jika mereka adalah para orang tua, ibu-ibu hamil dan anak-anak yang semestinya kita kasihi. Bahkan mestinya di tanah air saya melihat dapat melihat episode cinta yang lebih indah. Karena tanah air saya mayoritas penduduknya mengaku berlabel muslim. Yang dengan pengakuan itu semestinya mereka berpegang pada tuntunan hidup Al-Quran yang sempurna dan tauladan akhlak Rasulullah SAW yang mulia.

Alangkah malunya saya jika penumpang bus yang saya tumpangi ini bisa membaca pikiran saya. Mereka bukan saudara saya, tapi lagi-lagi saya belajar dari mereka…..

Trondheim, akhir musim dingin 2008