Tak ada yang lebih melegakan hati Ahmad saat itu selain melihat senyum Pak Didi, sahabatnya. Kemarin malam, sebelum mulai menghafal ayat ke 57 surat At Taubah, dengan wajah berseri Pak Didi mengatakan bahwa ia telah mengikuti saran Ahmad untuk ke dokter. Menurut hasil pemeriksaan dokter, tekanan darahnya normal. Tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu rendah. Barangkali keluhan yang dirasakan Pak Didi adalah efek dari cuaca yang meski tidak terlalu ekstrim tapi tidak cukup bersahabat bagi orang seusianya. “Alhamdulillah,” ucap Ahmad lirih. Kabar ini telah mengurangi rasa sesal dalam hatinya.
Persahabatan yang unik, begitulah mereka. Pak Didi, usianya lebih dari enam puluh tahun. Beberapa tahun silam, sebuah kecelakaan kerja membuat ayah dari tujuh orang anak yang dua diantaranya telah lebih dulu menghadap Illahi ini, harus kehilangan fungsi kedua matanya. Usia Ahmad setengah dari Pak Didi. Mereka berasal dari suku yang berbeda. Pak Didi Sunda, Ahmad dari Jawa. Keduanya bertemu dan akrab semenjak aktif menjadi jamaah mushola.
Meski kedua mata Pak Didi kini sama sekali tak bisa melihat, tapi semangat mengajinya melebihi jamaah lainnya. Jika usai maghrib sebagian besar jamaah kembali ke rumah masing-masing, maka Pak Didi tetap berada di tempatnya, ujung kiri shaf pertama, sampai datang waktu Isya. Adalah Ahmad yang kini terlihat paling sering menemani Pak Didi belajar menghafal ayat-ayat Al Quran.
Ahmad membaca, Pak Didi mendengarkan dan kemudian menghafal, itu yang mereka lakukan. Meskipun bacaan Ahmad belum sempurna, tapi Pak Didi selalu meyakinkan bahwa tak ada orang lain yang bisa sedekat itu dengannya. Pak Didi mengaku kesulitan menghafal jika ditemani jamaah lain. Berharap Allah akan mengampuni bila bacaan mereka belum sempurna, Ahmad bersedia menemani Pak Didi yang selalu bersemangat untuk menghafal Al Quran. Jika ayatnya tidak terlalu panjang, Pak Didi hanya butuh dua hari untuk benar-benar bisa menghafalnya. Subhanallah! Saat ini beliau sudah hafal surat Al Waqiah. Surat Yaasiin sudah hafal lebih dulu, sebelum bertemu Ahmad.
Dua hari sebelumnya, di sela-sela kegiatan menghafal, Pak Didi bercerita tentang keluhan kesehatannya. Ia merasa badannya gemetar, seperti melayang, kepalanya kadang pusing dan juga nafasnya terasa agak berat. Merasa tak memiliki pengetahuan tentang ilmu kesehatan, Ahmad menyarankan agar Pak Didi segera memeriksakan diri ke dokter. Ahmad khawatir tekanan darah Pak Didi terlalu tinggi, atau bisa jadi sebaliknya. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, Ahmad mengingatkan bahwa seusia Pak Didi seringkali gangguan kesehatan terkait dengan tekanan darahnya. Tapi sekali lagi Ahmad menyarankan, lebih baik ke dokter, sebab bagi orang awam terkadang sulit membedakan antara tekanan darah rendah dengan tekanan darah tinggi. Jangan sampai salah memprediksi, apalagi kemudian mengkonsumsi makanan atau obat-obatan yang justru seharusnya dipantang.
Hari berikutnya, sebelum Pak Didi mulai menghafal, Ahmad terlebih dulu bertanya tentang kondisinya. Apakah sudah lebih baik dan apakah sudah memeriksakan diri ke dokter seperti sarannya kemarin malam.
“Belum, Mas!” jawab Pak Didi lemah.
“Lho, kenapa? Apa karena sudah mendingan?”
“Belum juga, masih sama seperti kemarin,” Pak Didi berhenti, menghela nafas. “Mungkin ini penyakit orang tua, Mas. Lillahi ta’ala saja lah,” lanjutnya.
“Tapi sebaiknya ikhtiar dulu, Pak. Baru tawakal,” Ahmad mengingatkan.
“Ya, pinginnya sih begitu. Tapi ke dokter itu kan tidak gratis. Yang buat ke dokter itu masalahnya. Tahu sendiri, saya nda kerja. Penghasilan dari sewa kontrakan hanya cukup untuk makan, itupun di cukup-cukupkan.”
Astaghfirulloh! Ahmad membatin. Mengapa ia tak tanggap dengan masalah yang dihadapi Pak Didi. Pak Didi memang memiliki beberapa kamar yang disewakan, tapi itulah satu-satunya penghasilan yang ia gunakan untuk membiayai hidup dirinya, istri dan anak bungsunya. Nyaris tak ada penghasilan lain di luar itu. Pak Didi sendiri tak bisa melakukan pekerjaan apapun untuk menambah penghasilan, selain usianya terutama semenjak ia kehilangan fungsi kedua matanya.
Ahmad menyesal. Bagaimana bisa orang yang dekat dengannya justru terlewat dari perhatiannya? Saat itu bisa dikatakan ia sedang berkecukupan. Ia baru mendapatkan rezeki yang tidak ia sangka sebelumnya. Dengan banyak orang ia telah berbagi, termasuk semua keponakannya ia berikan sekedar uang jajan, bahkan untuk yang tinggal di luar kotapun ia kirimkan. Juga,ia telah membuat anggaran tersendiri untuk disumbangkan ke beberapa masjid di sekitar tempat tinggalnya. Tapi bagaimana bisa Pak Didi yang telah memberikan banyak inspirasi, justru kesulitannya tak ia sadari.
Bagai bangun dari mimpi, Ahmad baru menyadari bahwa Pak Didi sebenarnya sangat pantas untuk ia masukkan dalam daftar orang-orang yang akan ia bagi. Tak ada pertalian darah antara mereka. Tempat tinggalpun terpisah ratusan meter jaraknya. Tapi mushola ini, mushola baiturrahiim telah mempertemukan mereka, mendekatkan mereka lebih dari tetangga, seperti saudara. Tiba-tiba Ahmad merasa sangat bersalah. Mengapa saat mendengar cerita Pak Didi kemarin, ia tak tanggap dengan apa yang saat itu sangat Pak Didi butuhkan?
Saat adzan Isya berkumandang, dua puluh menit telah berlalu dari obrolan malam itu, tapi pikiran Ahmad tak lepas dari Pak Didi. Seseorang yang sangat dekat, justru terlewat ia perhatikan. Ahmad merasa harus segera berbuat sesuatu untuk Pak Didi, sahabatnya yang sebenarnya juga adalah saudara, saudara seagamanya.
*
Pak Didi ditemani sang istri sedang duduk di ruang tamu ketika Ahmad mengucapkan salam di depan pintu. Ahmad sengaja tak memberi tahu Pak Didi bahwa ia akan bersilaturahim malam itu. Ahmad ingin menebus kesalahannya, meskipun Pak Didi tak pernah menganggap demikian. Tidak sama sekali, bahkan untuk urusan apapun terkait dengannya. Maksud kedatangan Ahmad malam itu adalah untuk mengingatkan kembali agar Pak Didi segera memeriksakan kesehatannya ke dokter. Pak Didi tak perlu khawatir soal biaya, Ahmad telah menyiapkannya.
Dan kemarin malam, ketika Pak Didi terlihat lebih segar dibanding malam sebelumnya, Ahmadpun merasa sangat lega. Ia telah menebus rasa bersalahnya. Tak ingin ia mengulang kedua kali, melewatkan sesuatu yang sebenarnya sangat dekat. Semoga, amin.