Sebagai muslim, kita tahu bahwa pahala sholat yang paling besar adalah ketika sholat dikerjakan di awal waktu dan secara berjamaah —bagi kaum laki-laki diutamakan berjamaah di masjid ataupun mushola. Tapi dengan berbagai alasan, kesempatan emas ini seringkali dilewatkan, bahkan terkadang dengan penuh kesadaran. Kesibukan kerja, rasa malas atau bahkan malu pada lingkungan, menjadi alasan mengapa sholat dikerjakan sendiri, di rumah ataupun di tempat kerja. Hal inilah yang menjadi bahan pembicaraan kami siang itu, sepuluh menit sebelum waktu istirahat berakhir.
“Awalnya, saya sholat di mushola juga karena terpaksa,” Ahmad ( bukan nama sebenarnya ) memulai ceritanya.
“Lho, bukankah dalam beribadah kita tidak boleh terpaksa? Harus ikhlas, karena dan hanya mengharap ridho Allah semata?” protes salah satu temanku yang duduk di seberang meja.
“Betul! Nilai sebuah ibadah memang ditentukan oleh niat dan keikhlasannya. Dan terpaksa jelas bukan sebuah keikhlasan. Maksud saya, saya kembali rajin sholat berjamaah di mushola, itu karena awalnya saya paksakan. Yang saya paksakan adalah melangkahkan kaki ke musholanya, kalau sholatnya insya Allah saya ikhlas,” Ahmad membenarkan perkataan rekan kerjaku, sekaligus menjelaskan terpaksa yang ia maksudkan.
“Bersikap ikhlas ternyata tidak selalu mudah, dan untuk memulainya terkadang harus dipaksakan,” Ahmad menambahkan.
Secara singkat, Ahmad pun menceritakan bagaimana hatinya kini ‘terpikat’ dengan mushola.
“Saya butuh waktu satu sampai dua minggu untuk benar-benar melangkahkan kaki menuju mushola dengan ringan, tanpa sedikitpun rasa terpaksa. Semua bermula ketika pulang kerja, saya berpapasan dengan seorang remaja yang baru pulang dari sholat Ashar di mushola. Pakaiannya yang rapi, gerak geriknya yang santun, terlihat berbeda dari teman-teman seusianya. Tapi justru itu yang menarik perhatian saya.”
“Saat itu saya melihat banyak remaja seusianya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk santai di pinggir jalan, tapi sedikitpun ia tak merasa canggung. Dia juga tak terlihat angkuh melangkah di depan teman-temannya. Melihat itu, saya merasa malu. Usia saya jauh di atas dia, tapi soal kesalihan saya jauh dibawah dia.”
“Dulu, beberapa tahun yang lalu saya pernah aktif menjadi jamaah mushola. Tapi setelah bekerja, dengan alasan sibuk dan capek sehabis bekerja, perlahan saya mulai meninggalkan kebiasaan sholat berjamaah di mushola. Sejak melihat pemuda itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk kembali aktif sholat berjamaah di mushola.”
“Hari itu juga?” tanya rekan kerjaku yang lain. Aku memilih diam, menunggu Ahmad melanjutkan ceritanya.
“Ya! Tapi ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Hari itu, saya berazam untuk kembali ke mushola yang sudah sekian lama saya tinggalkan. Tapi, saat adzan maghrib berkumandang, muncul rasa malas dan segan yang hampir saja menggagalkan sholat berjamaah pertama saya di mushola. Entahlah, tiba-tiba saya merasa berat melangkahkan kaki. Ada rasa malu pada tetangga kanan dan kiri. Setan memang tak pernah rela membiarkan manusia meniti jalan yang Allah ridhoi.”
“Tapi akhirnya njenengan tetap sholat di mushola kan?” aku menebak.
“Alhamdulillah! Walau berat, walau canggung, saya paksakan untuk tetap sholat berjamaah di mushola.”
“Itu kali pertama njenengan kembali aktif di mushola, bagaimana sambutan jamaah di sana?” tanyaku lagi.
“Subhanallah! Saya seperti menemukan keluarga baru, atau seperti saudara yang sudah sekian lama terpisah, kemudian bersatu kembali. Beberapa jamaah sudah saya kenal cukup lama. Mereka sudah ada waktu saya masih aktif dulu, dan mereka masih bertahan hingga saya kembali dan bahkan sampai saat ini. Alhamdulillah, semoga saya dan mereka tetap istiqomah.”
“Aamiin,” jawab kami serempak.
***
Apa yang Ahmad sampaikan, menurutku ada benarnya juga. Bahwa ikhlas itu mutlak agar ibadah yang kita kerjakan menjadi bernilai, setelah niat yang lurus sebelum memulainya. Namun ikhlas itu tidak selalu datang dengan serta merta, perlu diusahakan atau seperti istilah yang Ahmad pakai, perlu dipaksakan awalnya, agar menjadi ringan dan terbiasa akhirnya.
Ahmad sudah membuktikan, hanya butuh waktu satu hingga dua minggu untuk membiasakan diri, mengerjakan sholat berjamaah di mushola. Jika saja ia tak memaksakan diri pada awalnya, barangkali kesadaran akan keutamaan sholat berjamaah di masjid atau mushola bagi kaum laki-laki hanya berhenti pada kesadaran semata, tanpa pernah diwujudkan dengan tindakan nyata.
Benar jika kita telah berniat melakukan satu kebaikan, maka malaikat telah mencatatnya sebagai satu kebaikan, bahkan sebelum niat itu kita kerjakan. Tapi apakah kita akan tetap bertahan, merasa puas dengan satu nilai kebaikan sementara puluhan, ratusan, ribuan atau bahkan tak terhitung pahala dijanjikan apabila kita mewujudkan niat dengan sebuah tindakan nyata.
Paksakan diri, paksakan hati bila ikhlas tak juga hadir. Jangan turuti bisikan setan yang senantiasa berusaha untuk menghalang-halangi kita dari jalan Allah. Tak akan lama, meski awalnya terpaksa, jika kita melakukannya dengan bersungguh-sungguh dan menyertai dengan doa yang tiada putus, maka semua yang awalnya terpaksa akan menjadi sebuah kebiasaan, kemudian menjelma menjadi kebutuhan. Ahmad, salah satu temanku telah membuktikannya. Jika anda mengalami hal yang sama, barangkali sudah saatnya mencoba tips ini. Mudah-mudahan, meski pada awalnya terasa berat, seiring dengan berjalannya waktu Allah menurunkan hidayah Nya hingga akhirnya hati benar-benar terpikat. Insya Allah, amin.