Meski ragu, Dedi tetap akan menemui Ahmad di ruangannya. Demi adik ipar, ia lupakan rasa malu, bahkan bisikan hati kecilnyapun ia abaikan.
Pucuk di cinta ulampun tiba. Belum sampai di ruangan Ahmad yang berada di lantai dua, Dedi melihat Ahmad sedang berjalan menuju area produksi. Dedi baru ingat, jam-jam itu adalah kebiasaan Ahmad turun ke lapangan untuk mengambil laporan.
Dedi menghentikan langkahnya, tak perlu ia ke kantor toh orang yang bakal ia temui sedang menuju ke arahnya. Dedi tahu siapa dan bagaimana Ahmad. Setiap ia ke kantor untuk berbagai keperluan, mulai dari minta surat ijin, perlengkapan kerja hingga obat-obatan, Ahmad selalu melayaninya dengan ramah. Ahmad bukanlah tipe orang yang gila hormat, kapanpun dan di manapun ia bisa ditemui dan dimintai tolong. Sangat kebetulan bila ia bisa bertemu Ahmad di area produksi, paling tidak bisa mengurangi rasa canggung dan menghindari kecurigaan teman-teman sekantor Ahmad.
Setelah dekat, Dedi segera mensejajarkan langkahnya dengan Ahmad. Ia sengaja tidak menghentikan Ahmad agar teman-temannya tak curiga. Setelah berbasa-basi sekedarnya, Dedi pun langsung pada pokok permasalahan. Sejak awal Ahmad sudah menunjukan sikap ramah, besar harapan bahwa Ahmad akan bersedia menolongnya.
"Maaf, saya tidak bisa."
Jawaban Ahmad tak pernah Dedi bayangkan sebelumnya. Meski diucapkan dengan ramah, tetap saja penolakan Ahmad bagai petasan meledak tak jauh dari telinga.
"Tolonglah, adik saya sangat memerlukan surat ini untuk melamar kerja besok pagi. Tidak sulit kan, hanya menggantikan nama yang ada di surat pengalaman kerja ini dengan nama adik saya"sekalil lagi Dedi memohon. Jika Ahmad benar-benar tidak mau, ia tak tahu harus kemana meminta pertolongan. Ahmadlah satu-satunya staf yang ia andalkan, dengan lainnya ia tidak begitu kenal dan tentu saja ia segan.
"Tidak sulit, sangat mudah malah. Saya hanya tinggal mencari type huruf yang cocok, mengetik dan mencetaknya. Selanjutnya kamu bisa selesaikan sendiri, menimpa nama yang asli dengan nama yang baru baru, kemudian difoto copy. Sungguh, ini bukan sebuah pekerjaan berat, tapi saya tidak bisa. Ini sebuah pelanggaran, penipuan dan saya terlibat di dalamnya. Saya harus ikut mempertanggungjawabkannya, dan itu tidak seringan mengerjakannya."
Dedi mengerti bahwa Ahmad serius dengan penolakannya. Tapi, demi mengingat sang adik ipar yang sudah mondar-mandir melamar dari pabrik yang satu ke pabrik lainnya, Dedi akan berusaha keras untuk membujuk Ahmad. Mungkin Ahmad tidak mau karena belum ia ceritakan kesulitan yang sedang ia hadapi secara utuh.
Dedi sengaja memperlambat langkahnya, ia berusaha menahan Ahmad selama mungkin tanpa mengundang perhatian orang lain. Dengan penuh harap, ia menceritakan kesulitan adik iparnya yang hanya lulusan SLTP. Sudah hampir tiga bulan, sang adik mencoba melamar pekerjaan. Puluhan perusahaan sudah ia datangi, tak satupun yang memberinya kesempatan, bahkan sekedar ikut tes seleksi sekalipun. Permasalahannya hanya dua, kalau tidak ijazahnya yang rendah ya karena sang adik ipar tak memiliki pengalaman kerja. Bagaimana mau memiliki pengalaman kerja, sedang lamarannya satupun tak ada yang diterima.
Diujung usahanya yang sudah mulai putus asa, ada informasi sebuah perusahaan garment sedang membutuhkan banyak karyawan. Kali ini tidak mensyaratkan lulusan SLTA, SLTP pun bisa asalkan bisa menjahit dan terutama memiliki bisa menunjukan surat pengalaman kerja. Kalau sekedar ijasah kursus menjahit belum bisa diandalkan. Karena itulah, Dedi meminjam surat pengalaman kerja salah satu tetangganya untuk diganti namanya dengan nama adik iparnya. Sayang, harapannya yang begitu besar ternyata kembali kandas. Tak disangka, Ahmad kali ini tak mau membantunya. Selama ini Ahmad selalu ringan tangan memberikan bantuan, mengapa untuk pekerjaan yang mudah seperti ini ia tidak mau, Dedi benar-benar tak mengerti.
"Ded, saya benar-benar minta maaf. Sebenarnya saya bisa melakukan apa yang kamu minta. Tidak susah, tidak pula berat. Tapi, masalahnya tidak sesederhana itu. Perusahan yang mengeluarkan surat pengalaman kerja ini mungkin tidak akan tahu, juga perusahaan yang akan menerima adikmu tidak terlalu jeli untuk mengetahui bahwa surat pengalaman ini sudah kamu palsu. Tapi bagaimana saya mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah kelak? Berat, Ded!"
"Saya tahu kamu, terutama adikmu sangat membutuhkan surat pengalaman kerja ini. Saya juga bisa merasakan bagaimana susahnya mencari pekerjaan di jaman sekarang. Apalagi maaf, dengan berbekal ijazah yang pas-pasan tanpa pengalaman kerja sebelumnya. Tapi barangkali ada satu yang kalian lupakan bahwa bekerja itu adalah juga ibadah. Bagaimana Allah bisa menerimanya jika diawali dengan sesatu yang tidak Ia ridhoi. Bagaimana rejeki yang nantinya didapatkan bisa barokah, bila kita menghalalkan segala cara?"
"Percayalah, Ded. Kalau sampai hari ini adikmu belum mendapatkan pekerjaan, bukan semata-mata karena ijzah atau selembar surat pengalaman kerja, tapi memang Allah belum menghendakinya. Tidak harus di pabrik, barangkali adikmu bisa membuka usaha yang lain, dagang misalnya. Atau kalau masih penasaran ingin merasakan kerja, insya Allah bila tiba waktunya akan ada perusahaan yang mau menerimanya. Yakinlah bahwa Allah sudah menyiapkan rejeki setiap makhluknya, tinggal bagaimana usaha kita menjemputnya. Teruslah berikhtiar dan jangan lupa berdoa, semoga Allah segera menunjukan pekerjaan yang terbaik untuk adikmu. Kamu tidak mau kan, anggota keluargamu memakan sesuatu yang haram?. Jika kita palsukan surat pengalaman kerja ini, orang yang meminjamkan, kamu, saya, dan adikmu pasti akan diminta pertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Bukan itu saja, apa yang dihasilkan dari penipuan ini, tidaklah berkah. Maukah perut keluargamu dimasuki bara neraka?" panjang lebar Ahmad menjelaskan mengapa kali ini ia tak mau memenuhi membantu Dedi.
Dedi terdiam. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia membenarkan semua yang Ahmad ucapkan. Sebenarnya pula, hal ini sudah ia pahami, hanya desakan ekonomi yang ia hadapi terlanjur menutupi mata hati. Dedi beristighfar, memohon ampun pada Allah. Semestinya ia dengarkan kata hatinya, gunakan akal sehatnya.
Mendengar penolakan Ahmad, awalnya memang sedih namun akhirnya Dedi justru berterima kasih. Dedi memang bakal pulang tanpa hasil, tapi Ahmad telah menolong dan menyelamatkan ia dan keluarganya dari azab neraka yang sangat pedih. Kini, Dedi merasa lebih lapang. Ia yakin, suatu saat nanti adiknya akan mendapatkan pekerjaan di suatu tempat yang Allah sudah tetapkan. Yang terpenting jangan putus berusaha dan berdoa, bukan dengan memalsukan surat pengalaman kerja.
Catatan: Nama-nama diatas bukanlah nama yang sebenarnya.