Maha Indah Allah dengan segala keindahan-Nya, yang telah menghadirkan perasaan indah ke dalam lubuk hati hamba Nya*
Tasbih, tahmid dan takbir tiada henti mengalir dari bibir kami yang selalu dihiasi tersenyum, pancaran rasa bahagia dan syukur atas anugerah terindah yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Indah. Hari itu, akhir bulan Juli 1999, Allah mengabulkan doa dan harapan kami untuk menjalani sisa hidup bersama-sama. Seorang gadis pujaan telah Allah halalkan untukku, berikrar setia dalam suka maupun duka.
Enam tahun sebelumnya, nyaris tiada kesan indah saat pertama kali kami berjumpa. Bahkan perasaan iri sempat singgah di hati ketika melihat canda tawanya bersama ketiga teman karibnya. Mengapa aku tak bisa seceria mereka, padahal akupun ingin memulai hari-hari pertamaku di bangku SMEA dengan bahagia. Sekolah baru, teman-teman baru, tak sepenuhnya memberiku semangat baru. Yang ada justru perasaan cemburu dengan mereka yang bertemu dan langsung akrab dengan teman-teman baru. Astaghfirulloh! Sebuah kenangan masa sekolah yang konon kata orang sulit untuk dilupakan.
Setahun bersama, belum juga memberiku kesan indah padanya. Biasa saja, sama seperti perasaanku terhadap teman sekalas lainnya. Barulah di tahun kedua – ketika kami berpisah kelas – aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam keseharianku. Aku kehilangan cerianya. Aku tersadar bahwa sebenarnya aku bukan membencinya, tapi mencintainya. Subhanallah! Maha Indah Allah dengan segala keindahan Nya, termasuk percikan cinta yang dianugerahkan kepada hamba Nya.
Seiring bertambahnya usia, sebagai remaja yang mulai menginjak dewasa, perasaan suka itupun semakin mekar berbunga. Meski tanpa kata, tatapan mata kami sering mengirimkan pesan bermakna suka. Sayang, saat itu kami sama-sama tak memiliki keberanian untuk menjalani masa-masa paling indah di sekolah yang biasa disebut pacaran. Tapi belakangan kami sangat mensyukuri ketidakberanian kami berdekatan seperti beberapa pasang teman sekelas kami yang lainnya. Terima kasih ya Allah, kini kami sadar bahwa sesungguhnya Engkau telah menyelamatkan kami dari tipu daya syetan yang mengatasnamakan cinta untuk menutupi nafsu yang sesungguhnya.
Setelah dua hati bersatu dalam ikatan pernikahan yang suci, hari-hari indah kami jalani bersama. Jika ada tawa, kita nikmati berdua. Begitupun jika ada tangis, berduapun kami lakukan tanpa diminta. Ketika hati yang telah dilandasi cinta bicara, maka tak perlu lagi bibir ini berkata-kata. Dan kebahagiaan kami semakin lengkap dengan hadirnya seorang bayi mungil nan jelita. Sabila, demikian kami memberinya nama. Subhanallah, Maha Indah Engkau Ya Allah. Kami benar-benar takjub dengan keindahan yang Engkau percikan padanya, anugerah sekaligus amanah bagi kami selaku orang tuanya.
Kehadiaran Sabila membuat kehidupan kami terasa ‘sempurna’. Meski menikah di usia muda, kami tak merasa ada yang salah dalam kami berumah tangga. Tak ada rasa penyesalan ketika melihat teman-teman seusia kami asyik dengan dunia mudanya. Kami menikmati masa muda kami dengan cara yang berbeda, dan kami merasa sangat bahagia. Kami bisa mencurahkan cinta dan kasih sayang kapanpun, dimanapun, dalam sebuah kenikmatan ibadah dengan kehalalan yang kami miliki.
Tak ada rumah tangga yang bebas dari ujian. Begitupun kami, tak lepas dari ujian dan cobaan. Ujian yang kami hadapi seringkali berkutat di masalah ekonomi. Pernikahan di usia muda – ketika baru tiga tahun kami bekerja, ditambah berhentinya istri setelah setahun kelahiran Sabila – memang banyak mempengaruhi kehidupan ekonomi kami. Tapi, Alhamdulillah Allah memberikan kami keluasan hati dan kesabaran yang lebih dibanding yang lainnya. Gali lobang tutup lobang menjadi jurus andalan ketika kebutuhan rumah tangga tak lagi bisa ditunda. Tapi kami bersyukur, kesulitan ekonomi yang kami hadapi sedikitpun tak menggeser pondasi rumah tangga kami. Saat susah kami bersyukur, saat bahagia kami bersabar. Sejauh ini analisa kami mengatakan bahwa meski dibangun di usia muda, kehidupan rumah tangga kami tidak jauh berbeda dengan rumah tangga yang dibangun oleh mereka yang sudah dewasa. Kami cukup makan, cukup pakaian dan meski menyewa kami bisa berteduh dari panas dan hujan. Juga dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, kami menghadapi ujian dengan saling pengertian dan koreksi diri. Kalaupun terkadang muncul perasaan cemburu dan curiga, kami melakukan dan menanggapinya dengan dan karena cinta. Alhamdulillah.
Hidup penuh ujian, dan orang yang beruntung adalah orang yang menghadapi setiap ujian dengan sabar dan sadar bahwa ujian datang atas izin dan kehendak Allah. Nasihat bijak ini terus tertanam dalam benak dan keyakinan kami. Ketika ujian-ujian kecil berhasil kami lalui, maka ujian kembali datang dalam bentuk dan takaran yang berbeda. Jika kami telah terbiasa ‘berdamai’ dengan kondisi keuangan, maka ujian datang dalam bentuk gangguan kesehatan.
Masih teringat jelas setahun yang lalu, teriakan sang dokter memanggil suster dari dalam kamar prakteknya. Ketidakpercayaan dokter menular kepada kami. Bagaimana mungkin istriku yang selama ini kutahu memiliki tekanan darah rendah, tiba-tiba tekanan darahnya melonjak hingga 200/110. Terlebih saat itu wanita yang pertama kali membuatku jatuh cinta karena senyum dan lesung pipinya ini sama sekali tidak merasakan tanda-tanda atau gejala layaknya orang yang menderita hipertensi. Semua pertanyaan dan kekhawatiran sang dokter dijawab dengan senyum dan gelengan kepala. “Tidak, saya tidak merasakan itu semua Dok!” Subhanallah, Allahu Akbar.
Ada sesuatu yang lain dari biasanya, begitu kesimpulan dokter beberapa bulan kemudian. Pemberian obat penurun darah tinggi dalam dosis yang cukup tinggi tidak memberikan hasil yang signifikan. Sang dokter berkali-kali menganjurkan istri untuk tes darah dan mendatangi dokter specialis penyakit dalam guna memastikan apa gangguan kesehatan yang sebenarnya. Tapi istriku adalah istriku, wanita penyabar dan penuh kasih namun sangat takut dengan dunia medis. Dokter atau rumah sakit adalah dua hal yang ( jika bisa ) tak ingin dikenal sepanjang hidupnya. Kalaupun selama itu mau berobat, harus dengan satu syarat yaitu di klinik yang sama, dokter yang sama. Andaikan ada keluhan di hari Sabtu, dia akan bersabar, menahan dan menunggu hari Senin saat sang dokter ‘pribadinya’ praktek di klinik yang ditunjuk perusahaan tempatku menjemput rezeki.
Saran sang dokter bukanlah basa-basi, tapi sebuah isyarat bahwa ada sesuatu yang harus segera diketahui sebelum tekanan darah tinggi istriku semakin tak terkendali. Tapi tak hanya dokter, akupun tak mampu membujuknya untuk ‘bersilaturahmi’ dengan dokter specialis penyakit dalam. Dalam sakit, istriku lebih memilih sabar sebagai penolongnya. Dalam hal ini aku tak sepenuhnya menyalahkannya. Aku coba mengikuti keinginannya, memberikan semangat, rasa nyaman dan nyaman bagi mentalnya. Tapi daya tahan tubuh memiliki batas tertentu. Berbulan-bulan mengkonsumi obat penurun tekanan darah tinggi, kenyataannya tekanan darahnya tetap tinggi. Bahkan di satu pagi di akhir Juli, kami dikejutkan dengan pembengkakan di kaki, tangan dan wajahnya. Astaghfirulloh!
Kondisi yang tak pernah terlintas dalam benak kami, memaksa istriku pasrah untuk dirawat secara intensif di rumah sakit. Tumbang sudah prinsipnya untuk tidak ‘berkenalan’ dengan rumah sakit. Sebuah fakta mengejutkan harus kami terima, sang dokter mengabarkan bahwa istriku mengalami gangguan gagal ginjal. Apa penyebabnya dan sejak kapan pastinya menjadi tidak begitu penting di telusuri, yang jelas kondisi saat itu sudah cukup parah, antara stadium 4 atau 5, padahal tidak adal lagi stadium 6. Kadar ureum melonjak 288 dan creatininnya 8.77, sementara kadar hb hanya 4 dan tekanan darahnya diatas 170. Semua data yang ada begitu meyakinkan bahwa istriku menderita gangguan gagal ginjal kronik.
Seminggu menjalani perawatan medis, akhirnya istri diperbolehkan pulang dengan catatan harus kontrol dan menjalani rawat jalan secara rutin. Tapi seminggu akrab dengan dokter dan segala macam peralatan rumah sakit tidak merubah ketakutannya pada dunia medis. Demi menyelematkan semangatnya, akhirnya kami memilih pengobatan alternative yang tidak bertentangan dengan syari. Bulan Ramadhan 1431 H meninggalkan kesan dan kenangan mendalam karena kami berada pada situasi dan kondisi yang memberikan sebuah kedekatan antara kami berdua. Bukan hanya fisik, tapi hati kami berdua. Seminggu sekali kami menempuh perjalanan 2 x 18 kilo meter untuk berikhtiar mencari kesembuhan. Berdua berboncengan motor, tak ada lelah, tak ada keluh kesah. Kami menjalani semua ini dengan ikhlas dan penuh pengharapan. Dan pada akhirnya, semua ini menjadi salah satu kenangan terindah kami berdua.
Tetap sabar, sadar dan terus berikhitar, sedangkan hasil Allahlah yang menentukan. Do’a terus kami panjatkan, ikhtiar terus kami lakukan, termasuk bersilaturahmi dengan keluarga saat lebaran. Kami berharap, restu orang tua serta doa sanak saudara bisa menjadi obat tersendiri bagi istri. Meski kondisi kesehatan sempat menurun – istri sempat batuk-batuk dan ada darah segar dalam dahaknya – kami tetap melanjutkan niat kami untuk merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halaman. Bismillahirrohmanirrohiim, keberkahan silaturahmi akan mendatangkan semangat dan obat bagi kami, insya Allah. Begitu besar harapan kami.
Manusia hanya bisa berencana, Allahlah yang menentukan akhirnya. Selama mudik lebaran, kondisi kesehatan istriku semakin menurun, sehingga kami tak bisa memaksimalkan silaturahmi saat Idul Fitri. Beruntung orang tua kami selalu mengadakan open house saat lebaran, jadi meski berdiam diri di rumah kami tetap bisa bersilaturahmi dengan saudara dan tetangga yang datang ke rumah. Berbagai dukungan, doa dan bantuan terus mengalir, memberikan semangat dan kekuatan untuk menang dalam ujian yang sedang kami hadapi.
Apa yang terlihat di depan mata, apa yang tergenggam di tangan, sesungguhnya bukan dan belumlah tentu milik kita. Tiga lembar tiket bus untuk balik ke Tangerang, terpaksa kami kembalikan karena sehari sebelum keberangkatan, kondisi kesehatan istriku mengalami penurunan drastis. Kami tak tahu apa istilahnya, tapi kepala dan tangan kirinya selalu bergerak tak terkontrol, layaknya orang kedinginan atau gerakan orang-orang yang sudah lanjut usia. Dokter mengatakan ini disebabkan pasokan darah dan oksigen ke otak kurang. Tak ada pilihan, istri harus kembali menjalani perawatan di rumah sakit Gombong – Kebumen. Ada buliran air mata yang tak sanggup kubendung kala itu, aku tahu persis ketakutan istri dengan rumah sakit. Tapi demi kebaikannya, berbagai rayuan aku keluarkan untuk menjaganya tetap bersemangat. Kejadian akhir bulan Juli di Tangerang kembali terulang di hari ketujuh lebaran. Hasil pemeriksaan darah menunjukan kadar hb hanya 4.4, kadar ureum melonjak sampai 338 dan creatinin naik menjadi 19.8. Sebuah kondisi yang cukup ( sangat ) parah. Kalau dua bulan lalu dokter mengatakan stadium 4 – 5, maka saat itu sudah stadium terminal dan tak ada pilihan medis kecuali harus melakukan HD atau cuci darah. Dan tanpa bertanyapun aku sudah tahu jawabannya. Sebagai ikhtiar, tetap saja aku coba bertanya dan membujuknya, meskipun hasil akhirnya sesuai dengan yang kami duga. Istriku menolak keras HD, apapun alasan dan pendapat medis.
Tujuh hari menjalani perawatan medis kedua, dokter dan pihak rumah sakit tidak kuasa menahan keinginan istri untuk pulang. Satu pesan mereka berikan bahwa di manapun dan ke manapun, harus segera dilakukan perawatan lanjutan. Dan tindakan lanjut yang kami pilih adalah kembali menanjutkan pengobatan alternative yang sempat terhenti selama kami mudik. Namun rupanya Allah belum memperkenankan ikhtiar kami, tiga hari di Tangerang atau tepatnya seminggu setelah keluar dari rumah sakit, kondisi kesehatannya kembali memburuk. Selama 18 jam, istriku memuntahkan cairan hitam encer sebanyak 12 kali. Semula kami tidak tahu apa cairan hitam dan encer itu. Kami baru tahu bahwa itu adalah darah yang sudah terkontaminasi racun setelah kami mendatangi rumah sakit yang dulu menangani istri. Kembali, sang dokter menegaskan bahwa tidak ada pilihan medis lainnya kecuali cuci darah. Namun sang dokter tidak bisa menahan ketika kami bersikukuh untuk mencari kesembuhan melalui jalur lain.
Hampir tengah malam, 28 September 2010 ketika rombongan kami sampai di rumah kediaman seseorang yang dianugerahi kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Melalui doa dan obat-obatan herbal, begitu metode pengobatan yang ada di tempat ini. Dan, di tempat alternative kedua yang kami datangi ini, istriku harus menjalani rawat inap selama maksimal dua belas hari. Beruntung saat itu ada ibu dan kakakku yang siap menemani dan menunggu karena aku harus tetap masuk kerja. Alhamdulillah, sehari menjalani perawatan, kondisi kesehatan istri menunjukan hal yang sangat menggembirakan.Tak ada lagi muntah, bahkan batukpun tidak. Di hari kedua, istri sudah bisa menghabiskan satu mangkuk bubur ayam, pergi ke warung atau mandi sendiri. Bahkan ketika kami semua membezuk lima hari kemudian, kami sempat jalan-jalan bersama. Tidak terlalu jauh untuk ukuran kami, tapi sebuah kemajuan yang sangat membanggakan bagi istri. Saat itu kami mengira kemenangan istri menghadapi ujian sudah di depan mata.
101010 atau 10 Oktober 2010, bagi sebagian orang mungkin dianggap istimewa dan saat yang tepat untuk melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya, tapi awalnya tidak bagi kami. Hari dan tanggal ini semula kuanggap biasa saja, sama dengan hari dan tanggal yang lainnya. Namun rupanya hari dan tanggal ini telah ditentukan oleh Allah SWT sebagai hari terakhir kebersamaanku dengan wanita yang begitu banyak memberiku kebahagiaan, pelajaran dan juga pengalaman. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, ketetapan Allah lah yang berlaku akhirnya. Sepanjang hari Minggu, 10 Oktober 2010 kondisi kesehetan istriku menurun drastis. Keluhan dirasakan olehnya adalah sesak napas, sehingga komunikasi antara kami sedikit sekali. Sepanjang hari ini kami lebih banyak diam, hanya tatapan mata ini tak lepas darinya, tangan ini lebih sering menyentuh tangan dan kakinya yang kembali membengkak, bibir ini lebih sering memberi semangat padanya, dan telinga ini lebih sering mendengar istighfar dan dzikir kami semua. Tak terpikir kala itu untuk membawa istri ke rumah sakit, karena kedatangan kami ke tempat ini adalah menghindari medis. Do’a dan istighfar kami tingkatkan, pak haji yang menangani istripun lebih intensif memantau perkembangan istri.
Tanpa kami sangka tanpa kami duga, ketika sholat Ashar kuakhiri dengan salam, hanya tersisa beberapa detik untukku bisa melihat gerakan nafas terakhir istriku. Dalam pelukanku, Sabila dan adik ipar, istriku meninggalkan kami untuk selamanya. Inalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Segalanya bermula dari Mu ya Allah dan akan kembali kepada Mu. Semua terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Inilah bukti kekuasaan Mu ya Allah. Betapapun kami sangat mencintai dan menyayanginya, namun dia bukanlah milik kami, Engkaulah Pemilik Cinta Yang Sejati. Kami ikhlas, kami ridho. Betapapun duka dan kesedihan yang kami rasakan, tak ingin langkah orang yang sangat kami sayangi tertahan tangis dan ratap kami. Tak ada penyesalan yang kami rasakan, tak ada orang yang akan kami salahkan, semua sudah tercatat jelas kapan, dimana dan bagaimana Engkau akan memanggilnya. Kami ikhlas, kami ridho. Ketetapan-Mu lah yang terbaik, terbaik untuk ku dan terbaik untuk istriku.
Ya Allah, aku kembalikan istriku kepada Mu dengan penuh keikhlasan. Aku hantar ia ke peristirahan terakhirnya dengan keridhoan. Aku ikhlas engkau mengambilnya disaat kami sedang berjuang sekuat tenaga untuk tetap mempertahankannya di sisi kami. Aku ridho dengan semua yang telah aku lakukan dan perjuangkan untuk istriku. Aku ikhlas dan ridho, bahkan bersyukur telah Engkau berikan kesempatan sebelas tahun bersama, belajar menjalani manis pahitnya hidup, belajar menjadi hamba yang sabar dan tawakkal, belajar memaknai dan menikmati cinta yang suci. Semoga keikhlasanku, keridhoanku serta orang-orang yang menyayangi almarhumah, memudahkan pertemuannya dengan Mu. Amin.
Siapapun orangnya, pasti sedih dan berduka ditinggal orang yang selama ini begitu dekat secara fisik maupun hati. Begitupun yang aku rasakan. Bila tak ingat bahwa ini adalah takdir Illahi, rasanya semua ini tidak adil. Setelah hampir tiga bulan berjuang bersama, melewati hari-hari penuh ujian bersama, semestinya kesembuhan dan kebahagiaan yang patut kami terima, tapi mengapa malah diambil selamanya. Astaghfirulloh! Kami ikhlas, kami ridho, dan kami tak ingin membuat celah bagi syetan untuk menodai keikhlasan ini. Tak kuasa kami untuk menahan, kecuali melepasnya dengan keikhlasan, mengantarnya dengan keridhoan, dan mendoakannya dengan penuh ketulusan semoga almarhumah kembali dalam keadaan khusnul khotimah. Ya Allah, terimalah almarhumah Sunarsi binti Sunar di sisi Mu, terimalah iman dan islamnya, terimalah amal dan ibadahnya, ampunilah salah dan khilafnya, berikan nikmat kubur padanya, berikan syurga untuknya dan izinkan kelak kami berkumpul kembali dalam syurga Mu ya Allah ya robbal ‘alamin.
Maha indah Allah dengan segala keindahan Nya, yang telah menuliskan perjalanan hidup setiap hamba Nya. Kini aku lebih banyak bersyukur, betapa indah skenario hidup yang Engkau persiapkan untukku, begitu indah orang-orang yang Kau pilihkan untukku. Besar harapanku bahwa aku telah memainkan peran yang Engkau berikan dengan maksimal. Kalaupun ada kurang dan kelirunya, semoga terbuka lebar pintu maghfiroh untukku, amin.
• Diambil dari syair lagu Rachmat Alam, karya Aul Wafa.