Sesuap Nasi

Sesuap nasi di tangan, belum tentu akan tertelan, kecuali Allah menghendaki demikian.

Sepi. Suasana pabrik tempatku menjemput rejeki terlihat berbeda dari biasanya. Jika sehari sebelumnya masih ada beberapa mesin yang beroperasi, maka hari itu semua kegiatan produksi total berhenti. Satu-satunya kegiatan yang masih terlihat adalah bersih-bersih di beberapa bagian. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kamis, 31 Maret 2011 menjadi penting bagi kami. Hari itu, nasib ratusan karyawan akan ditentukan. Siapakah yang beruntung mendapatkan kesempatan bergabung dengan management baru yang telah membeli 70 persen saham perusahaan, dan siapa pula yang akan ‘tereliminasi’.

Menjelang siang, seluruh karyawan berkumpul di halaman pabrik untuk mendengarkan salam perpisahan dari pemilik perusahaan yang lama. Di bawah terik matahari yang mulai meninggi, aku melihat karyawan terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang berstatus karyawan tetap. Sedang kelompok terdiri dari karyawan kontrak dan karyawan yayasan. Perbedaan mereka adalah bahwa yang berstatus karyawan tetap akan mendapatkan pesangon sesuai peraturan yang berlaku, sedang karyawan kontrak dan yayasan hanya mendapatkan ‘ucapan terima kasih’. Satu yang sama adalah bahwa kini mereka sama-sama menunggu kepastian apakah mereka termasuk yang dipekerjakan kembali atau harus mencari pekerjaan baru, bersaing dengan ratusan bahkan ribuan pencari kerja lainnya.

Aku berdiri tak jauh dari kedua kelompok ini. Benar kata salah satu rekan kerjaku, suasana siang itu bukan saja menegangkan, tapi juga mengharukan.

Menjelang waktu makan siang, pertanyaan yang menggantung di benak karyawan mulai terjawab. Satu persatu karyawan dipanggil untuk mengambil amplop yang sudah ditandai dengan nama masing-masing. Bagi mereka yang mendapatkan dua amplop, dipastikan mereka kembali ke kelompoknya dengan wajah berseri-seri. Sebaliknya, bagi yang hanya mendapatkan satu amplop, banyak yang kecewa, namun ada pula yang biasa saja. Bahkan ada beberapa karyawan yang tetap menunjukan wajah cerianya.

Amplop kecil berwana putih berisi surat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan lama, perhitungan pesangon yang diterima dan selembar surat pengalaman kerja. Sedang amplop besar berwarna coklat itu berisi undangan untuk mengikuti serangkaian tes yang akan dimulai esok harinya sebelum bergabung dengan manajemen perusahaan yang baru. Alhamdulillah, aku mendapatkan keduanya.

Di tengah ramainya suasana, ada kabar mengejutkan datang dari temanku, Fulan. Ia rekan kerjaku dari departemen yang berbeda. Tak ada yang menyangka kalau dia tidak mendapatkan satu amploppun. Itu berarti dia tidak ikut di-PHK, dan otomatis batal bergabung dengan perusahaan yang baru. Masalahnya adalah, Fulan sangat mengharapkan dirinya di-PHK, karena hanya dengan jalan itulah ia bisa bergabung dengan perusahaan baru sekaligus mendapatkan uang pesangon yang sejak jauh-jauh hari sudah ia anggarkan untuk berbagai keperluan.

Entah apa sebabnya, yang jelas bukan hanya aku tapi hampir seluruh karyawanpun terkejut mendengarnya. Tidak akan ada yang heran bila Fulan ikut bergabung dengan manajemen yang baru sebab sebulan terakhir, Fulan secara khusus telah mendapatkan pelatihan untuk program kerja manajemen yang baru. Jabatan penting yang didudukinya juga meyakinkan kalau dia bakal dibutuhkan oleh manajemen perusahaan yang baru.

Takut salah informasi, aku berinisiatif untuk mengklarifikasi kabar ini langsung kepada Fulan. Aku bisa melihat jelas kekecewaan di wajahnya. Apa daya, nasi di tangan, gagal ia makan. Jika bukan karena Allah, tak mungkin ini terjadi. Pasti Allah telah menyiapkan satu rencana yang terbaik, hiburku padanya.

***

Sering kita menyangka bahwa sesuatu yang sudah ada di depan mata, dalam genggaman tangan adalah pasti milik kita. Padahal tidak demikian adanya. Jika Allah tidak menghendaki sesuatu itu menjadi milik kita, maka terlalu banyak jalan dan alasan yang menggagalkannya. Sering kita mengira, setelah berusaha keras, maka keberhasilan yang tinggal selangkah lagi, sejengkal lagi pasti dapat diraih, padahal belum tentu begitu akhir ceritanya.

Upama sesuap nasi di tangan, tidaklah ada yang bisa menjamin akan masuk ke dalam perut, kecuali Allah menghendaiknya. Dering telepon, ketukan tamu di depan pintu bisa menjadi penyebab kita menunda menyuapkan nasi. Setelah semua urusan selesai, kita terlanjur kehilangan selera, atau malah bisa jadi nasi yang kita tinggalkan sedang dinikmati kucing yang sudah lama menunggu kita lengah.

Doa yang tulus dan tiada putus. Setelah diawali dengan niat yang lurus, dilakukan dengan usaha yang keras dan penuh keyakinan, maka jangan sampai terlupa doa yang tulus dan tiada putus. Sandarkan semua harapan hanya pada Allah semata, dan tetaplah berbaik sangka pada Nya. Itulah yang semestinya kita lakukan.

Aku tidak mengatakan Fulan terlupa berdoa atau kurang keras ikhtiarnya, tapi aku mendapatkan satu pelajaran berharga bahwa meski sudah di depan mata, terjangkau oleh tangan kita, masihlah ada satu hal yang akan menentukan akhir cerita, yaitu kehendak Allah. Maka berdoa harus tetap dilakukan dengan tulus dan tiada putus. Bahkan, ketika tujuan sudah tercapai, bersyukur dan berdoa haruslah tetap dijaga, berharap riho dan keberkahan dari Allah SWT.

Sahabatku, terkadang kita membenci sesuatu, padahal itu yang terbaik yang Allah berikan kepada kita. Dan tak jarang pula kita mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuk kita. Sabar dan ikhlas, yakinlah bahwa ini yang terbaik untukmu. Insya Allah.

http://abisabila.blogspot.com