Masih dari kultum bada’ sholat Dzuhur di masjid Asy-Syifa, hari berikutnya, dengan penceramah yang berbeda.
“Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik suri tauladan bagi kita semua. Sebisa dan semaksimal mungkin, kita mencontoh tutur kata, perilaku dan perbuatan beliau dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak mudah, namun juga bukan hal yang mustahil, sebab nabi adalah manusia, kitapun manusia meskipun ada bedanya. Kita hanya perlu membuang ‘sedikit’ dari kebiasaan kita agar sesuai dengan kebiasaan nabi.” Untuk beberapa saat sang ustadz terdiam. Ia sengaja menggantung kalimatnya, memberi tekanan saat menyebut kata sedikit, untuk menarik perhatian jamaah.
Strategi sang ustadz memang tepat. Sebagian besar jamaah menjadi penasaran, termasuk akupun demikian. Bagaimana bisa sang ustadz bilang sedikit, lha wong kenyataannya banyak kebiasaan kita yang tidak sesuai dengan sunnah nabi. Masih banyak sekali sunnah-sunnah nabi yang belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Sedikit yang saya maksudkan adalah…” sang ustadz melanjutkan ceramahnya setelah berhasil mendapatkan perhatian jamaah yang mulai dihinggapi rasa kantuk.
“Pertama, beda kita dengan nabi adalah nabi sedikit tidur, sedangkan kita sedikit-sedikit tidur. Jika kita ingin mencontoh nabi, buanglah satu kata sedikit pada kebiasaan kita, dari sedikit-sedikit tidur menjadi sedikit tidur.”
Aku bukanlah satu-satunya yang mendengarkan ceramah sang ustadz siang itu, tapi aku salah satu yang ‘tersindir’ dengan kalimatnya. Walau sang ustadz tidak mengucapkan kalimat ini khusus untukku, tapi terasa bahwa kalimat ini tepat jika dialamatkan kepadaku.
Banyak riwayat menyebutkan bahwa nabi Muhammad SAW yang sudah dijamin Allah masuk surga, senantiasa menghidupkan malam-malamnya dengan ber-tahajjud. Bahkan nabi tidak berhenti sholat sampai kakinya bengkak-bengkak karena terlalu lama berdiri. Siang dan malam nabi pergunakan waktunya untuk beribadah dan berdakwah, hanya sedikit sekali waktu yang beliau gunakan untuk tidur dan beristirahat.
Berbeda dengan aku yang menghabiskan sebagian besar umurku dengan santai dan tidur. Berdalih bahwa setiap anggota badan memiliki hak untuk diistirahatkan, akhirnya dimanjakan dengan beristirahat, santai dan tidur melebihi kebutuhan. Sedikit-sedikit tidur. Siang tidur, malam apalagi. Astaghfirulloh!
Sesekali aku begadang, tapi bukan untuk memperpanjang zikir atau mengikuti pengajian, melainkan nonton TV dan bersenang-senang. Dan ketika orang-orang bangun di sepertiga malam, akupun terkadang demikian. Tapi bangunku tidaklah selalu kemudian mengambil wudhu dan sholat tahajjud. Bangunku tengah malam terkadang karena ingin ke kamar mandi untuk berkemih atau sekedar mematikan alarm dan kembali tidur lagi. Astaghfirulloh!
“Kemudian yang kedua, beda kita dengan nabi adalah nabi sedikit makan, sedangkan kita sedikit-sedikit makan. Jika kita ingin mencontoh nabi, buanglah satu kata sedikit pada kebiasaan kita, dari sedikit-sedikit makan menjadi sedikit makan.”
Kali ini aku merasa sang ustadz seperti mengenalku, tahu persis kebiasaanku. Ada banyak orang di dalam masjid siang itu, tapi rasanya kalimat itu sengaja ditujukan kepadaku.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa nabi dan keluarganya selalu hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan nabi bukan menunjukan ketidakmampuan, tapi karena akhiratlah yang diutamakan. Kalau mau, nabi tinggal berdoa dan Allah pasti akan mengabulkan, memberikan harta yang berlimpah. Tapi nabi tak melakukan itu, tidak seperti kita yang selalu dan terlalu haus dan rakus dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Meski seluruh air laut diminum, tak juga menghilangkan dahaga. Astaghfirulloh!
Ada satu hadist menyebutkan, “Kami, keluarga Muhammad SAW pernah selama satu bulan tidak menyalakan api (memasak), kami makan hanya kurma dan air." (HR. Bukhari, Muslim). Bahkan dalam riwayat lain menyebutkan, selain sering berpuasa nabi juga seringkali mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar.
Hal ini berbeda dengan aku yang sedikit-sedikit makan. Sebelum sang ustadz naik ke mimbar, sempat terlintas dalam benakku untuk memesan mie ayam dan es jeruk usai dari masjid nanti. Padahal lima jam sebelumnya, sebungkus nasi uduk lengkap dengan sayur bihun, telur dadar dan tempe goreng tandas aku habiskan. Juga segelas teh manis kuminum tanpa sisa. Dua jam berikutnya, sepotong brownies nan legit kembali mengisi perutku. Dan sekarang, sebelum rasa lapar itu benar-benar terasa, berbagai menu makanan dan minuman sudah mulai memenuhi pikiranku. Astaghfirulloh!
Bahkan, terkadang dengan alasan agar bisa khusyuk dalam sholat, aku memilih makan siang dulu baru kemudian sholat. Tapi kenyataanya, khusyuk tak didapat, malah ngantuk yang menyergap. Juga, ketika sedang berpuasa, waktu masihlah pagi, baru duha, tapi aku sudah mulai sibuk memikirkan dan menyiapkan menu untuk berbuka. Astaghfirulloh!
“Dan yang ketiga, beda kita dengan nabi adalah nabi sedikit marah, sedangkan kita sedikit-sedikit marah. Jika kita ingin mencontoh nabi, buanglah satu kata sedikit pada kebiasaan kita, dari sedikit-sedikit marah menjadi sedikit marah.”
Aku meyakinkan diri, melirik ke orang di sekelilingku. Dan hasilnya, aku termasuk salah satu dari mereka yang mengakui bahwa seperti itulah keadaanku.
Nabi adalah contoh sempurna dalam hal mengendalikan diri. Beliau adalah suami yang lemah lembut, penuh kasih sayang dan perhatian kepada istri dan keluarga. Beliau adalah seorang suami, ayah dan sahabat yang sangat penyabar. Tidak marah nabi kecuali ketika aturan Allah dilanggar. Itupun tidak seperti marahnya kita yang terkadang brutal, membabi buta hanya untuk alasan kecil saja.
Sedikit-sedikit marah, tak sepenuhnya salah jika sang ustadz berkata demikian. Apapun bisa menjadi alasan dan penyebab kemarahan. Kurang ini marah, lebih itu marah. Begini marah, begitu marah. Di sini marah, di sana marah. Astaghfirulloh!
Di rumah, masakan istri tak sesuai selera, marah. Nilai ulangan anak rendah, marah. Anak tetangga berisik, marah. Begitupun di tempat kerja. Bawahan salah, marah. Tugas terlambat dikumpulkan, marah. Rekan kerja ngajak bercanda, marah. Pokoknya hal-hal kecil yang wajar dan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara sederhana, bisa menyulut kemarahan. Marah tak ubahnya seperti hobi, dan pemarah dijadikan profesi. Astaghfirulloh!
Hanya tiga yang disebutkan sang ustadz dalam ceramahnya, tapi ketiga-tiganya ada padaku. Astaghfirulloh!
Sebelum mengakhiri ceramahnya, sang ustadz kembali menegaskan. “Kita harus berusaha semaksimal mungkin meniru, mencontoh semua yang ada pada nabi. Mulailah berusaha untuk menghapus satu kata sedikit pada kebiasaan kita. Yang biasanya sedikit-sedikit tidur, sedikit-sedikit makan, dan sedikit-sedikit marah dihapus satu kata sedikitnya menjadi sedikit tidur, sedikit makan dan sedikit marah.”
Bagaimana dengan anda? Masihkah dua kata sedikit (sedikit-sedikit) melekat pada kebiasaan Anda? Mari kita berusaha menghapusnya satu agar hidup kita selamat dunia hingga akhirat. Insya Allah.