“Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan!”sebuah SMS masuk ke hp ku, dari salah satu teman sekolahku. Kalian yang ia maksudkan adalah aku dan putriku. Sedang hal yang membanggakannya adalah bahwa kami —aku dan putriku— bisa mengikuti prosesi pemandian hingga pemakaman jenazah tanpa tetesan air mata.
Beberapa orang kerabat sempat melarangku untuk ikut memikul jenazah ke pemakaman. Mereka khawatir aku tak mampu menguasai diri. Tapi aku bersikeras. Kuyakinkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Aku hanya meminta pada salah satu kakak ipar untuk mengawalku, berjaga-jaga apabila ternyata keyakinanku keliru.
Juga ketika sampai di pemakaman, beberapa kerabat kembali melarangku turun ke liang lahat. Kekhawatiran yang sama, bahwa aku tak akan mampu menahan diri saat jenazah diturunkan. Kembali kuyakinkan pada mereka, bahwa aku baik-baik saja dan dalam keadaan sadar, sesadar-sadarnya. Aku jamin tidak akan ada air mata apalagi pingsan segala.
Aku sepakat dengan dua kakak iparku yang ikut turun ke liang lahat. Aku mengambil posisi di sebelah utara. Aku ingin membuka sendiri kain kafan yang menutupi wajah almarhumah. Kuakui, bergetar juga hatiku saat itu. Ini adalah pengalaman pertamaku turun ke liang lahat, dan itu terjadi pada pemakaman istriku sendiri. Bismillahirrohmanirrohim, aku kuatkan hati untuk tidak menuruti perasaanku. Kupusatkan perhatian pada arahan yang diberikan ustadz yang memimpin acara pemakaman.
Perlahan kubuka tali pengikat kain kafan jenazah istriku. Ada rasa yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata saat mulai membuka kain yang menutupi bagian wajahnya. Subhanallah! Allahu akbar! Seraut wajah yang sangat tenang dan damai terlihat di sana. Bahkan, senyum di wajahnya adalah senyum yang pertama kali membuat aku jatuh cinta padanya.
Aku berikan kesempatan pada putriku yang berdiri di pinggir liang lahat untuk melihat wajah sang ibu terakhir kalinya. Ada mendung menggantung di kedua matanya, namun kupastikan tak ada air mata yang menetes darinya. Meski kenyataan ini begitu berat ia terima, namun ia bisa membuktikan bahwa ia bisa tegar dan tabah.
Kuhadapkan wajah istriku ke arah kiblat, kupastikan wajahnya menyentuh dinding kubur yang basah. Kuganjal bagian belakang jenazahnya dengan bantal bulat yang terbuat dari tanah. Setelah jenazah berada pada posisi yang baik dan benar, barulah kutinggalkan jenazah istriku. “Selamat tinggal sayang, beristirahatlah dengan tenang. Semoga keikhlasanku, keridhoanku akan memudahkan langkahmu menghadap Sang Pemilik Cinta Sejati. Insya Allah, di dalam surga kelak kita kan bersama lagi. Amin.”
Hanya sampai di sinilah kewajiban fisik yang bisa kupenuhi pada orang yang sangat kami cintai dan sayangi. Proses selanjutnya kuserahkan pada mereka yang sudah biasa memakamkan. Satu persatu bambu dipasang di atas jenazah, memberikan ruang agar jenazah tak tertimbun tanah secara langsung. Dalam hitungan menit, jenazah istriku tak terlihat lagi. Itulah saat terakhir aku melihat jenazah istriku di dunia ini. Perlahan tanahpun dimasukan, menimbun bambu-bambu yang terpasang rapi. Terdiam, aku dan putriku menyaksikan cangkulan demi cangkulan tanah basah ini tanpa kata, dan juga tanpa air mata.
Usai pemakaman, sebagian besar pelayat langsung pulang ke rumah masing-masing. Tinggal beberapa yang sengaja menunggu kami kembali untuk kemudian berpamitan. Berbagai dukungan dan nasihat datang dari keluarga, tetangga, kerabat dan juga sahabat yang menyempatkan diri, meninggalkan segala aktifitas rutin mereka untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhumah. Mereka yang tak sempat berpamitan langsung padaku, menitip salam pada bapak dan ibu. Ada juga yang berpamitan melalui telepon atau SMS. Salah satunya adalah teman sekelasku. Ketika ku telpon, terbata ia memohon maaf. Sengaja ia tak menemuiku lagi karena ia takut mengusik ketabahanku. Ia bangga sekaligus terharu melihat kesabaran, ketegaran dan ketabahanku, juga putriku. Jelas kudengar suara isak di seberang sana, sebelum ia berjanji akan datang beberapa hari lagi. Ia butuh waktu untuk menata hati kembali.
Berbagai dukungan, ungkapan haru sekaligus bangga, senada dengan SMS temanku terus berdatangan sampai beberapa hari setelah pemakaman. Rata-rata, baik keluarga, tetangga ataupun kerabat ‘mengakui’ ketabahan dan ketegaran kami. Bahkan ada diantaranya yang berterus terang mengatakan ingin mencontoh ketabahan dan ketegaran kami kelak bila ada anggota keluarganya yang meninggal dunia. Namun ada juga beberapa orang yang agak ‘mempertanyakan’ ketabahan kami. Paling tidak ada yang mengatakan demikian, “Waktu istrinya meninggal, si Fulan boro-boro memikul jenazah dan turun ke liang lahat, justru berkali-kali ia histeris dan jatuh pingsan. Mungkin karena saking cintanya, sehingga Fulan tidak bisa menerima kepergian sang istri yang tiba-tiba.”
Aku mencoba bersikap wajar dan berpikir positif terhadap apapun yang orang katakan. Aku tidak merasa istimewa ketika beberapa orang mengaku bangga dan ingin mencontoh ketabahan kami. Memang sudah demikian mestinya keikhlasan dan keridhoan diwujudkan. Juga aku tidak ingin berburuk sangka apabila ada yang memandang tingkat kecintaan pada hysteria saat kehilangan. Mereka tentu tidak bermaksud meragukan kesungguhan cinta serta besarnya rasa kehilangan, hanya saja mereka melihat sesuatu yang tak biasa.
Menangis memang salah satu refleksi dari rasa kehilangan sekaligus kecintaan. Jangankan kita, seorang rosululloh pun menangis sedih saat putranya —Ibrahim— meninggal dunia. Setabah apapun yang orang lihat saat acara pemakaman, sebelumnya kami juga tak kuasa menahan tangisan. Saat istri dalam keadaan kritis, dzikir dan doa kami berbaur dengan deraian air mata. Begitupun ketika sang dokter mengatakan bahwa nyawa istri tak tertolong lagi, tangispun pecah. Juga ketika rombongan kami tiba di rumah, tangis kami luruh terbawa suasana. Bahkan saat membaca ayat-ayat suci Al Quran di samping jenazah, beberapa kali aku tak dapat meneruskan karena panglihatan yang kabur akibat air mata yang menggenang.
Bila orang mengartikan tangisan sebagai ekspresi rasa cinta, mereka tidaklah salah. Demikianlah adanya, meski juga tidak selamanya. Dalam pandangan kami, terkadang sebaliknya. Cinta tak harus menangis. Almarhumah tidak membutuhkan tangisan kami, ratapan kami. Yang almarhumah harapkan adalah keikhlasan, keridhoan serta doa-doa dari kami.
Ada banyak hal yang bisa kami lakukan untuk menunjukan rasa cinta kepada almarhumah. Menerima takdir ini dengan penuh keikhlasan, keridhoan. Mendoakan almarhuhan di setiap kesempatan. Menyelesaikan kewajiban serta menjaga dan menjalankan amanah yang almarhumah tinggalkan. Kami tak ingin cinta —tangisan dan ratapan— kami justru membebani langkah-langkah almarhumah. Kami tidak ingin termasuk orang yang menangis histeris, meratap di hari pertama, tapi sudah sama sekali lupa di hari kedua. Apalagi hari-hari berikutnya, terlupa mendoakan karena sibuk berebut warisan. Na’uzubillah!