Dengan terbata-bata, lelaki setengah baya itupun melanjutkan kisahnya. Tentang ujian hidup yang ia dan keluarganya hadapi. Ujian yang datang silih berganti seolah tiada henti. Ujian yang datang tak hanya sendiri, banyak pernak-pernik yang menghiasi. Dan aku mendengarkannya dengan seksama. Ada kalanya dadaku ikut merasa sesak. Bahkan tanpa sadar air hangat mulai menggenang di sudut mata.
Inti dari ujian laki-laki ini adalah pada sang istri yang menderita sakit cukup parah pada bagian organ dalamnya. Berbagai upaya mereka lakukan untuk mendapatkan kesembuhan, mulai dari rumah sakit hingga pengobatan alternatif. Diluar ujian berupa sakit yang taruhannya adalah nyawa, banyak sekali ujian-ujian kecil yang datang menguji kesabaran dan ketegaran mereka. Subhanallah, bunga-bunga ujian datang terus menerus, tiada putus.
Salah satu contohnya, lelaki ini bercerita bahwa pernah suatu sore hujan turun dengan sangat lebat, padahal saat itu mereka harus pergi ke dokter karena kondisi kesehatan istri yang mengkhawatirkan. Tak menunggu sampai reda, mereka nekad mendatangi sang dokter. Namun sayang, sang dokter baru saja pergi untuk satu keperluan mendadak, sesaat sebelum mereka datang. Terpaksalah mereka mencari dokter lain yang jaraknya lebih jauh dari tempat tinggal mereka. Masalah kembali muncul ketika si abang becak yang disewanya tidak mau mengantarkan dengan berbagai alasan yang bagi mereka tidak masuk akal. Dalam kepasrahan, mereka menurut saja ke dokter manapun abang becak mau mengantarkan.
Laki-laki ini tersenyum saat menceritakan ‘pembangkangan’ si abang becak. Hampir saja dia memarahi si abang becak. “ Kamu kan tinggal ngontel, tak usah protes, berapapun nanti saya bayar !“ kata-kata itu nyaris terlontar jika saja ia tak segera sadar bahwa ‘kengeyelan’ si abang becak adalah sebuah ujian bagi mereka. Jika tadinya ia sempat emosi, beberapa saat kemudian justru ia dan sang istri tersenyum. Aneh, ada-ada saja si abang becak ini. Sungguh, sampai tukang becakpun menjadi ujian bagi mereka.
Laki-laki ini juga bercerita tentang para perawat di rumah sakit yang mereka anggap tak ubahnya seperti teroris. Mereka memang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang sakit yang diderita sang istri, tapi karena mereka menyampaikan tidak pada situasi dan porsi yang tepat, bagi ia dan terutama istrinya bagaikan sebuah terror di tengah malam. “ Anda hanya perawat, tak perlu banyak bicara. Tugas Anda hanya menyuntik, pasang infuse dan menyiapkan obat !” kata-kata ini juga hampir terlontar demi melihat sang istri sangat ketakutan mendengar kata-kata sang perawat yang memang tidak pada wewenangnya. Beruntung laki-laki ini masih bisa menahan diri.
“ Astaghfirulloh, berikutnya saya sadar bahwa apa yang mereka katakan itu benar menurut pengetahuan mereka. Barangkali karena kondisi panik membuat kami gampang terpancing emosi. Mereka, perawat-perawat itu juga ujian bagi kami “ kenang lelaki ini menyesali.
Lelaki ini terdiam beberapa saat. Aku menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. Aku bisa merasakan ujian yang laki-laki ini hadapi. Kemudian laki-laki ini melanjutkan ceritanya.
Ujian juga datang dari keluarganya yang seakan tak peduli dengan kesulitan yang laki-laki ini hadapi. Omongan mereka tak lebih dari sekedar membuat telinga merah saja. Tingkah laku mereka bak menari-nari di atas luka. Jika mereka datang membesuk, tak ubahnya seperti acara piknik dan rekreasi. Bahkan, yang paling berat laki-laki ini rasakan adalah ketika ia mendengar kabar bahwa salah satu dari mereka mengaku menjual sawah untuk membantu membiayai pengobatan sang istri.
“ Ini fitnah. Fitnah yang sangat keji!” laki-laki ini tak mampu menahan tangisnya. Susah payah ia menghapus air matanya. Ia tak mampu menyembunyikan isak dan guncangan pundaknya. Aku tak memaksa laki-laki ini meneruskan ceritanya, tapi dialah yang berkeinginan melanjutkannya. Aku memberikan kesempatan, bukan untuk tahu lebih jauh tentang keluarganya, tapi barangkali ini membantu meringankan beban batinnya.
“ Selama istriku sakit, tak pernah sekalipun ia menanyakan masalah biaya. Berapa besar biaya yang harus dibayar, apakah aku memiliki uang, dari mana atau kemana mencari pinjaman, tak pernah ia tanyakan. Aku justru mendapatkan semua itu dari orang lain, termasuk teman-temanku. Sangat keji bila kemudian tersiar kabar bahwa ia mengaku menjual sawahnya untuk membantu kami. Sampai saat ini tak pernah ada omongan sedikitpun akan hal itu, apalagi wujud uangnya, sama sekali kami tidak tahu. Aku tak tahu siapa yang tega menyebar fitnah sekeji ini. Tapi siapapun, aku berharap dia akan segera menyadarinya dan menarik semua omongannya, meskipun itu sulit, sesulit mengumpulkan kapas yang sudah diterbangkan angin “. Laki-laki ini menumpahkan segala kepedihannya hatinya. Air matanya deras bercucuran, nafasnya tersengal dan pundaknya terguncang. Pemandangan mengharukan ini tak berlangsung lama karena sesaat kemudian laki-laki ini melanjutkan ceritanya.
“ Ada banyak hikmah dan pelajaran yang kami dapati dari setiap ujian yang kami hadapi. Dari hujan lebat, dokter yang mendadak pergi, serta tukang becak yang tak mau menuruti permintaan kami, rupanya Allah telah membimbing kami untuk mendatangi dokter yang tepat. Si abang becak yang semula kami anggap ujian, sesungguhnya adalah pertolongan yang Allah berikan.
Dan para perawat di rumah sakit, sesungguhnya apa yang mereka sampaikan adalah benar menurut pengetahuan mereka, hanya kamilah yang terlalu berlebihan menanggapinya. Hal ini menambah keyakinan bahwa rumah sakit, dokter, perawat dan obat-obatan hanyalah perantara saja, Allahlah yang hakikatnya menyembuhkan.
Juga tentang keluarga yang tidak atau kurang peduli dengan ujian yang kami hadapi, menjadikan kami lebih matang dan tegar menjalani berbagai ujian berikutnya. Adalah salah apabila kami terlalu mengandalkan orang lain dalam ujian kami, semestinya kami sendirilah yang harus menghadapi dan sebaik-baik tempat bersandar dan bergantung adalah Allah semata “
Laki-laki ini mengakhiri ceritanya dengan tersenyum lega. Dia tidak bermaksud membeberkan keburukan orang lain, dia tak menyebutkan nama dan apa hubungan antara dia dengan orang yang diceritakannya. Dia hanya ingin berbagi cerita. Dengan ceritanya, ia ingin orang lebih ikhlas, lebih sabar dan lebih tegar menjalani ujian dan tidak melakukan kesalahan seperti yang terlanjur ia lakukan.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita laki-laki sederhana ini. Pertama bahwa hidup ini tak lepas dari ujian. Bahkan – konon – hidup ini sendiri adalah ujian. Setiap orang diberikan ujian yang berbeda baik bentuk maupun ukurannya. Tak dapat dipungkiri bahwa terkadang ujian datang bertubi-tubi. Belum selesai ujian pertama, datang ujian berikutnya. Ujian di atas ujian, itu nyata dan beberapa orang telah mengalaminya. Sebagian mereka berhasil melewatinya, sebagian lagi gagal. Bukan pada ujian intinya, tapi pada pernak-perniknya.
Banyak orang yang bisa tegar dan sabar ketika menghadapi ujian yang berat dan besar, tapi terpancing emosi hanya karena ujian yang kecil saja. Orang lebih sadar, lebih siap dan lebih waspada ketika diberikan ujian yang besar, tapi menjadi lengah dan meremehkan ujian yang kecil. Ujian seringkali datang tak sendiri, ada pernak-pernik yang menghiasi yang semestinya juga harus dihadapi dengan ikhlas dan sabar.
Banyak orang yang gagal meraih kemenangan karena gagal mempertahankan keikhlasan dan kesabaran. Keberhasilan yang tinggal selangkah, terpaksa harus mundur, mundur jauh ke awal karena gagal mengendalikan emosi.
Apapun ujian yang diberikan, sesungguhnya Allah telah memperhitungkan kemampuan hamba Nya untuk memikulnya. Allah tak akan menganiaya hamba Nya dengan ujian yang melebihi batas kemampuannya. Di balik kesulitan, ada kemudahan. Allah memberikan ujian, Allah pulalah yang akan memberikan pertolongan. Berat ringan sebuah ujian tergantung dari bagaimana menerima, menyikapi dan menjalaninya. Keihlasan, kesabaran, kegigihan berikhtiar serta kepasrahan bertawakal menjadi kuncinya. Dibalik kesulitan ada kemudahan. Siapa bisa menjaga keikhlasan dan kesabaran, sesungguhnya pertolongan Allah begitu dekat dan nyata. Insya Allah.
http://abisabila.blogspot.com