Mengejar Lailatul Qadar

Seorang anak bertanya pada ayahnya, kapan terjadi lailatul qadar? Rupanya ia masih penasaran dengan ceramah sang ustadz kemarin malam, sesaat sebelum sholat tarawih dimulai.

“Wallohualam. Hanya Allah yang tahu secara pasti,” Jawab sang ayah yang baru selesai tadarus Al Qur’an. “Tapi baginda nabi Muhammad SAW pernah memberitahu sahabat tentang tanda-tanda datangnya lailatul qadar. Diantaranya, malam itu terlihat cerah, tidak panas dan tidak juga dingin. Sebuah suasana yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan itu terjadi di malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan,” sang ayah menambahkan.

“Apakah kita bisa bertemu dengan lailatul qadar?”

“Insya Allah! Asal kita bersungguh-sungguh berusaha. Mencari dan mengejarnya.”

“Mencari dan mengejar? Mengapa harus demikian? Apa tidak semua orang Islam bisa bertemu lailatul qadar?” sang anak makin penasaran.

“Tidak! Tidak semua orang menyadari datangnya malam lailatul qadar. Hanya ahli ibadah yang menyadari kehadiran lalilatul qadar dan memanfaatkannya, meraih kemuliaannya dengan beribadah, mendekatkan diri kepada Allah.”

“Salah satu temanku pernah bilang kalau bapaknya pernah mendapatkan lailatul qadar. Hebat ya! Padahal, kata temanku itu, bapaknya baru rajin sholat setelah bulan Ramadhan datang. Menurut Ayah, benar nda sih apa yang temanku bilang?”

“Mungkin saja. Tak ada yang tak mungkin, jika Allah menghendakinya. Tapi tidak mudah untuk bisa mendapatkan malam lailatul qadar. Tidak bisa instant. Butuh persiapan dan usaha yang panjang. Bahkan, Ayah pernah dengar dari ustadz, bahwa orang-orang yang mendapatkan lailatul qadar, sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari. Setidaknya, memasuki bulan Rajab, mereka sudah mulai memfokuskan ibadahnya. Dan tak hanya itu, diluar bulan itupun ibadah mereka selalu terjaga.”

“Jadi, temanku atau bapaknya itu bohong?” tanya sang anak kecewa.

“Wallhoualam. Ayah tidak bilang begitu. Bisa saja dia benar-benar menyadari saat turunnya lailatul qadar. Tapi bisa juga hanya prasangkanya saja. Semua orang bisa mengaku telah bertemu atau melihat tanda-tanda turunnya lailatul qadar. Tapi menurut Ayah, kita bisa mempertimbangkannya terlebih dahulu sebelum mempercayainya. Bagaimanapun, tidak sembarang orang bisa dengan mudah mendapatkan malam lailatul qadar. Hanya mereka yang akidahnya murni, ibadahnya terjaga yang patut dipercayai omongannya. Lailatul qadar itu malam yang sangat itimewa. Pada malam itu, para malaikat turun dari setiap langit dan dari sidrotul muntaha ke bumi, mengaminkan doa-doa yang diucapkan manusia hingga terbit fajar. Para malaikat dan Jibril as turun dengan membawa rahmat atas perintah Allah swt, membawa setiap urusan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di tahun itu hingga yang akan datang. Lailatul Qodr adalah malam kesejahteraan dan kebaikan seluruhnya tanpa ada keburukan hingga terbit fajar. Ibadah di malam lailtul qadar pahalanya lebih besar dari pahala beribadah seribu bulan. Meski tidak ada yang mustahil bagi Allah, tapi kalau setiap orang bahkan yang ibadahnya asal-asalan bisa mendapatkan, lalu dimana letak istimewanya?” panjang lebar sang Ayah menjelaskan.

“Satu malam pahalanya lebih dari ibadah seribu bulan? Berarti sama dengan berapa tahun, Yah?”

Tak sabar menunggu jawaban, sang anak beranjak dari duduknya, mengambil kalkulator dari dalam laci meja belajar dan langsung menghitung. Seribu bagi dua belas.

“Lebih dari delapan puluh tiga tahun. Subhanallah!” kata sang bocah kemudian. Ia terlihat takjub. “Kalau begitu, orang yang bisa bertemu malam lailatul qadar itu beruntung sekali ya, Yah? Ibadah semalam sudah sama dengan ibadah lebih dari delapan puluh tiga tahun. Kalau dihitung-hitung, umur manusia rata–rata enam puluh tahun, masih ada sisa banyak tahun. Tidak perlu ibadah lagi, sudah cukup,” sang anak menghitung dengan logika matematikanya, tak sadar bahwa apa yang dia pikirkan adalah salah besar.

Mendengar itung-itungan anak tunggalnya, sang Ayah tersenyum sebelum menjelaskan.

“Begini, Nak. Ibadah di malam lailatul qadar memang pahalanya lebih banyak dari ibadah seribu bulan, atau menurut perhitunganmu tadi lebih dari delapan puluh tiga tahun. Tapi bukan berarti manusia tak perlu ibadah lagi.”

Sang anak meletakan kembali kalkulatornya. Terlihat kecewa.

“Kelak kita masuk syurga atau neraka adalah tergantung dari hasil hisab dosa dan pahala yang kita kumpulkan selama hidup, semenjak baligh dimana kewajiban agama melekat, hingga ajal menjemput. Orang yang mendapatkan malam lailatul qadar memang menjadi mulia, dinaikan derajatnya, mendapatkan pahala berlipat ganda, bahkan tak terhitung jumlahnya kecuali Allah yang mengetahuinya. Tapi bukan berarti setelah itu ia bebas dari kewajibannya sebagai seorang hamba. Ingat, tidak Allah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah, beribadah kepada Nya. Kalau seperti yang kamu bayangkan, berapapun banyaknya pahala yang telah ia kumpulkan bisa habis terkikis oleh dosa yang ia lakukan. Timbangan amal yang tadinya berat bisa kalah berat oleh dosa-dosanya. Bukannya langsung masuk syurga, tapi singgah dulu di neraka.”

“Tapi tetap masuk syurga juga kan?”

“Insya Allah. Setiap yang beriman kepada Allah dan rasulNya, jaminannya adalah masuk syurga. Tapi apakah langsung atau ‘dibersihkan’ dulu di neraka, tergantung amal perbuatannya. Dan yang jelas, mereka para ‘ahli ibadah’, yang pernah mendapatkan malam lailatul qadar, perhitungannya tidak sama dengan perhitunganmu yang beribadah saja masih itung-itungan, merasa beramal sedikit sudah bangga, seolah sudah memegang kunci syurga. Mereka yang pernah mendapatkan malam lailatul qadar justru akan semakin tekun beribadah, berharap setiap tahunnya bisa bertemu dengan malam lailatul qadar. Tidak seperti kita yang belum tentu berjumpa tapi usahanya hanya sekedar saja.”

“Kalau sekarang, masih mungkin tidak untuk kita mendapatkan malam lailatul qadar?”

“Sudah Ayah bilang, tak ada yang tak mungkin, Allah Maha Kuasa, Maha Berkehendak. Yang terpenting, benahi diri, rapihkan ibadah dan meskipun kanjeng nabi memberi rambu bahwa lailatul qadar datang di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, jangan berlaku curang, jangan pilah-pilih. Malam ganjil tekun ibadah, tapi malam genapnya kau justru dimana. Beribadahlah dengan tekun setiap malam, anggaplah lailatul qadar akan datang malam itu. Mohon kepada Allah agar kita diberi kesempatan meraih keistimewaan malam lailatur qadar, sedangkan hasilnya, serahkan sepenuhnya pada Allah.”

“Jadi begitu ya, Yah?”

“Ya! Cari dan kejarlah lailatul qadar. Jangan hanya berdiam diri. Bisa jadi kita dan mereka para ahli ibadah sama-sama melewati malam-malam yang sama, tapi apa yang kita lakukan dan kita dapatkan jauh berbeda.”

http://www.abisabila.com