Niat hati ingin menolong, tapi malah dimusuhi. Itulah yang Pak Sabar alami.
“ Merasa sakit hati, seseorang bersumpah tidak akan memaafkan saya” Pak Sabar memulai ceritanya.
“ Siapa? Dan apa sebabnya?” tanya Ahmad penasaran.
Kemungkinannya hanya ada dua. Pertama, seseorang – yang Pak Sabar tak mau menyebutkan namanya – itu adalah orang yang tidak punya sopan santun, tak tahu diuntung. Yang kedua, sebagai manusia biasa, Pak Sabar bisa saja khilaf, melakukan satu kesalahan yang cukup fatal hingga orang tersebut sulit untuk memaafkan. Ahmad menimbang dua kemungkinan ini. Namun, hati kecilnya tetap mengatakan bahwa kemungkinan kedua sangat kecil terjadi. Ia kenal baik laki-laki yang kesabarannya sesuai dengan namanya ini.
“ Seseorang telah bermain api, lalu Bapak mencoba mengingatkan. Bukan dia tinggalkan, malah semakin jadi. Saat api sudah mulai membakar bajunya, Bapak menegurnya. Tapi sayang, bukannya sadar, dia malah marah. Bapak sudah meminta maaf, tapi justru dia bersumpah, sampai kapanpun tidak akan pernah berbaikan dengan Bapak.” kali ini istri Pak Sabar yang menjawab. Tak jauh berbeda, raut wajah ayunya pun terlihat muram.
“ Astaghfirulloh! “Ahmad bisa membayangkan betapa sedih mereka saat itu.
Ingin Ahmad bertanya sekali lagi, siapa orang yang mereka maksudkan, tapi segera ia urungkan. Kalau memang mau, sudah sejak awal Pak Sabar atupun istirnya menyebut nama orangnya langsung.
Tapi Ahmad tahu, tujuan mereka bercerita bukan untuk membuka aib orang lain, tapi agar ia mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang mereka alami. Begitu pintar mereka mengambil perumpaan hingga tak mudah bagi ia menerka siapa sebenarnya orang yang mereka maksudkan.
“ Apa orang itu benar-benar membuktikan sumpahnya?” tanya Ahmad kemudian. Bagaimanapun dia berharap sumpah itu hanya emosi sesaat.
“ Sayangnya…, iya!” jawab Pak Sabar pelan. “ Setidaknya, lebih dari batas waktu maksimal yang diperbolehkan seseorang marah dengan saudaranya” lanjutnya.
“ Lebih dari tiga hari? Satu atau dua minggu?” Ahmad coba menebak.
“ Lebih dari setahun “
“ Astaghfirulloh! Benar-benar keterlaluan!” Ahmad geram. “ Apa yang Bapak lakukan selama itu?”
“ Sebagaimana mestinya. Sesaat setelah saya tegur dan dia marah, saya langsung meminta maaf. Dan meskipun dia bersikukuh tidak mau memaafkan, saya tidak menganggap dia sebagai musuh. Saya tetap menjaga silaturahim dengan dia. Juga keluarganya.”
“ Bapak menelpon atau datang ke rumahnya?”
“ Dua-duanya. Saya beberapa kali coba menelpon, tapi memang tak pernah dijawab. Saya juga pernah datang ke rumahnya “
“ Ke rumahnya?” kali ini Ahmad lebih terkejut lagi. “Apa reaksinya?”
Pak Sabar tak langsung menjawab. Ia tahu Ahmad mulai terpancing emosinya. Karena itu, ia ingin mendinginkan suasana dengan menawari Ahmad untuk mencicipi kue lapis yang dihidangkan sang istri. Sementara Ahmad lebih tertarik untuk mendengar kelanjutan cerita Pak Sabar Karena itu, usai memakan sepotong kue lapis nan manis, ia kembali bertanya.
“ Apa dia menyambut kedatangan Bapak?”
Pak Sabar tersenyum, rupanya sepotong kue lapis tak mengurangi sedikitpun rasa penasaran Ahmad.
“ Bagaimana menurutmu bila suatu hari kamu dan temanmu mendatangi rumah seseorang, lalu tuan rumah menganggap bahwa tamunya hanya satu orang. Dan yang satu orang itu bukanlah kamu, tapi temanmu. Kira-kira begitulah yang terjadi saat aku datang dengan salah satu kerabatku.” Lagi-lagi Pak Sabar menjawab dengan memberikan sebuah perumpamaan.
“ Astaghfirulloh!” untuk kesekian kalinya Ahmad beristighfar. Ia bisa membayangkan betapa tidak nyamannya posisi Pak Sabar saat itu. Ada tapi dianggap tidak ada. “ Kalau saya ada di posisi Bapak, mungkin saya langsung pamit pulang saat itu juga. Bapak tidak marah diperlakukan seperti itu?“
“ Tidak, anakku! Saya tidak marah. Justru saya merasa sedih dan bersalah. Setidaknya, dia bersikap seperti itu juga karena saya. Mungkin saat menegur, saya kurang bisa memilih kata-kata, sehingga sakit hatinya terus bertahan hingga begitu lama. Bagaimanapun, marahnya bermula dari teguran saya. Dan jika Allah marah padanya, saya merasa turut menjadi penyebabnya.“
“ Tapi Bapak menegur karena ingin menyelamatkan dia kan?”
“ Ya! Saya ingin menyelamatkan dia dan juga keluarganya. Saya menegur bukan hanya karena saya peduli, tapi juga karena keluarganya yang meminta. Hanya saja, saat itu dia sudah terbelunggu nafsu. Setan telah menguasai lebih dari separuh akal sehatnya. Jadi, saya memilih untuk bersabar sambil terus berdoa agar dengan kasih sayang Nya, Allah menyadarkan dia. Alhamdulillah, akhirnya dia sadar dan kembali berbaikan dengan saya, seperti sedia kala. ”
“ Alhamdulillah! Kapan? Setelah berapa lama?”
“ Saya tidak ingat kapan pastinya. Tapi yang jelas, sekarang saya dan dia sudah akur seperti semula. Bagaimanapun, dulu kami pernah dekat.”
“ Subhanallah! Akhir yang indah.”
“ Alhamdulillah “
“ Sungguh, saya mengambil banyak pelajaran dari kejadian ini, Pak.”
“ Syukurlah kalau kamu bisa memetik pelajaran dari sebuah kesalahan. Bukun untuk terus dipermasalahkan, tapi agar kita tidak melakukan hal yang sama. Tidak ada maksud lain dari saya menceritakan hal ini kecuali agar kamu mengambil pelajaran dari apa yang pernah kami alami. Jangan biarkan kemungkaran terjadi di depan mata tanpa pernah kita berusaha untuk mencegahnya. Apalagi bila yang melakukan adalah orang yang kita kenal. Dan jangan sakit hati bila niat baik kita justru ditanggapi sebaliknya. Jangan ragu atau malu untuk meminta maaf apabila kita salah. Bahkan, kalaupun sebenarnya bukan kesalahan kita, tidak ada buruknya bila kita lebih dulu meminta maaf. Berebut mengakui kesalahan lebih baik daripada saling menyalahkan. Dan meskipun orang tidak mau meminta maaf atau memaafkan kita, jangan balas ia dengan mendendam juga. Maafkan dia, karena dengan begitu ( insha Allah ) Allah pun memaafkan kita.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih atas nasihatnya. Insha Allah saya akan terus mengingatnya."
“ Sama-sama, anakku.”
catatan: Ahmad dan Pak Sabar bukanlah nama sebenarnya.
http://www.abisabila.com