Aku masih memilih durian mana yang akan kupetik untuk berbuka saat seseorang mengetuk pintu, memutus mimpiku. Masih dalam keadaan setengah sadar, samar kudengar suara kakak ipar, memberi tahu bahwa Pak Anton -salah satu tetangga kami- baru saja meninggal.
Innalillahi wa ina Ilaihi rojiuun. Rasa kantukku sirna seketika. Baru kemarin sore aku membezuknya, tapi hari ini beliau telah pergi untuk selamanya.
Subhanallah! Inilah salah satu kepastian yang sebagian masih Allah rahasiakan. Maha Kuasa Dia untuk mematikan yang hidup dan menghidupkan kembali yang mati. Alhamdulillah, aku masih bisa melihat dunia lagi. Kerja malam telah membuatku tidur begitu pulas selepas Dzhuhur tadi.
Usai mandi dan sholat Ashar, bersama kakak ipar, kami segera menuju kediaman keluarga Pak Anton, bergabung dengan beberapa tetangga yang sudah lebih dulu datang. Tak banyak yang bisa kami lakukan, berbagai peralatan memandikan jenazah sudah disiapkan, tinggal menunggu kedatangan mobil jenazah yang sedang dalam perjalanan.
Aku, diantara para pelayat lainnya, duduk dan saling diam, tak banyak bicara. Diliputi rasa duka, kami larut dalam pikiran masing-masing. Tentang sesuatu yang membuat kami berkumpul saat itu. Tentang kematian. Kematian yang menyebabkan seorang istri menjadi janda, seorang suami menjadi duda, anak menjadi yatim atau piatu, atau bahkan keduanya, dan seorang saudara atau orang tua menjadi sebatang kara.
Tak ada satu ayatpun dalam Al-Quran yang menyebutkan, mengisyaratkan bahwa yang usianya lebih tua akan lebih dulu menghadap penciptanya. Yang ada adalah bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kematian ibarat pintu, dan kita semua akan melewatinya. Yang tidak kita ketahu secara pasti adalah kapan, dimana dan dengan cara atau dalam keadaan bagaimana kita bertemu dengannya.
Ingatanku kembali kepada kematian yang menjemput beberapa tetangga, juga yang terjadi pada istriku. Di usia, tempat dan penyebab berbeda, kematian datang menjemput mereka, membawa kembali kepada Sang Penciptanya.
Bapaknya si A, meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat di ruang ICU karena kecelakaan di jalan sepulang kerja. Kemudian ibunya si B, nyawanya tak tertolong setelah berobat kesana kemari, mengupayakan kesembuhan dari serangan kanker payudara. Juga almarhumah istriku, hanya mampu bertahan tak lebih dari tujuh puluh hari semenjak dokter menvonisnya gagal ginjal, meninggalkan kami yang mencintai dan dicintainya, menghadap Sang Maha Pemilik Segalanya, termasuk Cinta.
Empat puluh hari sebelum Ramadhan, bapaknya si C juga meninggal karena sebuah kecelakaan di jalan saat akan berangkat kerja. Dan yang terakhir, yang menggerakan jari-jari ini menulis lagi, mengingatkan diri sendiri atas satu kepastian yang dirahasiakan, dokter dan para medis tak mampu menyelamatkan nyawa bapaknya si D dari penyempitan pembuluh darah, meskipun berbagai upaya telah mereka usahakan.
Setelah ini, siapa yang akan menyusul mereka? Entahlah! Bisa jadi aku, atau yang membaca tulisanku. Aku tak bermaksud menakut-nakuti, hanya mengingatkan, terutama diri sendiri, bahwa kematian adalah suatu kepastian yang masih dirahasiakan; kapan, dimana dan dengan cara apa atau bagaimana, tak ada satupun manusia yang mengetahui, namun pasti akan bertemu dengannya.
Mati itu pasti. Tapi ketika ditanya, bagaimana pendapat kita tentang kepastian yang satu ini, dengan alasan berbeda, sebagian besar akan mengaku sama. Takut! Takut yang dimaksudkan tidaklah selalu sama, bisa saja berbeda. Ada yang merasa takut karena membayangkan nasibnya di akhirat, tapi ada juga yang takut karena kematian akan memisahkan ia dengan dunia, keluarga, harta dan ataupun jabatannya. Na’uzubillah!
Ada yang karena takut, mendorongnya tekun beribadah, mempersiapkan segala sesuatu, perbekalannya untuk kehidupan selanjutnya yang abadi. Tapi ada yang menjadikan takut sebatas di bibir saja. Takut mati tapi ibadah mereka abaikan, maksiat justru diteruskan. Na’uzubillah!
“Mobil jenazahnya sudah datang!”
Sebuah suara mengejutkanku, membuyarkan lamunanku. Aku tak beranjak dari bangku ketika puluhan pelayat bergerak maju, berusaha melihat kedatangan jenazah dari jarak terdekat. Selain akan menggangu, juga terlalu penuh untuk berdesakan dengan mereka, jadi aku memilih duduk saja.
Saat orang-orang dewasa saling menjinjitkan kaki untuk melihat kedatangan jenazah lebih jelas lagi, aku melihat beberapa bocah lari terbirit, menjauh dari kerumunan. Ada ketakutan di wajah mereka. Aku berkesimpulan bahwa mereka juga mempunyai rasa takut terhadap kematian, hanya saja untuk alasan yang berbeda. Bagaimana dengan Anda? Apapun jawabannya, ijinkan aku mengingatkan kembali bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti, namun sebagian masih dirahasiakan. Karena itu, siapkanlah perbekalan seolah kematian akan datang sesaat lagi.