Aku tidak ingat lagi, kapan tepatnya peristiwa ini terjadi. Keluhan tiga orang rekan kerjaku yang gagal menarik uang di ATM sementara saldo tabungan mereka tetap terpotong, mengingatkanku akan kejadian ini. Kejadian di mana aku hampir saja memakan harta yang bukan hakku. Astaghfirulloh!
Semua berawal ketika aku ingin mengambil uang melalui ATM di salah satu pusat perbelanjaan yang terletak di tengah-tengah antara kantor dan kontrakanku. Saat aku datang, antrian yang cukup panjang terlihat hampir di semua mesin ATM yang berjajar di lantai dua. Termasuk ATM Bank M** di mana perusahaan tempatku bekerja mentransfer gaji seluruh karyawannya. Kuhitung tak kurang dari sepuluh orang antri di sana.
Lima belas menit menunggu, akhirnya tibalah giliranku. Namun aku terkejut!. Aku baru saja memasukan kartu ATM, tiba-tiba terdengar suara seperti mesin sedang menghitung uang. Aku mencoba berpikir logis, tak mungkin mesin sudah menghitung uang sedang nomor PIN belum kumasukan. Tapi logikaku kali ini keliru, satu masalah terjadi pada ATM di depanku. Mesin benar-benar mengeluarkan uang melalui lacinya. Pecahan uang seratus ribuan dengan warna merahnya yang khas terlihat di sana. Spontan, aku mengambil uang tersebut meskipun aku belum mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Uang siapakah ini? aku membatin.
Dalam waktu yang sangat singkat -dalam hitungan detik- setan hadir dan membisikan sesuatu padaku.
"Cepat ambil uang itu, itu rejekimu!" Bisik setan di telinga kiriku.
"Kenapa ragu? Bukankah Allah berjanji akan memberikan rejeki dari arah yang tidak terduga? Inilah janji Nya, ambillah! Kamu tidak bersalah, itu kesalahan mesin dan tidak ada yang akan menuntutmu. Lumayan, dua ratus ribu bisa kamu belikan pakaian atau jajanan untuk anak dan istrimu. Kalau kamu masih ragu, cek saja saldo tabunganmu, pasti tidak berkurang!" Setan terus membujuk agar aku segera memasukan dua lembar seratus ribuan itu ke kantongku.
"Tidak, ini bukan uangku! Aku tidak berniat mengambil uang sejumlah ini. Aku belum memasukan angka yang ingin kuambil, bahkan aku juga belum memasukan nomor PIN. Jadi jelas, ini bukan uangku!" hati kecilku menolak.
"Aku tidak berhak atas uang ini, akan aku serahkan uang ini kepada yang berhak. Tapi, siapakah yang berhak atas uang ini? Siapa dan kemanakah orang yang tadi antri di depanku?" Aku menjadi ragu.
"Siapa lagi yang berhak atas uang itu, kalau bukan kamu!" Setan tak mau kalah.
"Kamu tidak tahu dan tidak kenal siapa yang mengambil uang sebelummu. Jika kamu tinggalkan uang itu di sini, maka orang di belakangmu yang akan mengambilnya. Jika kamu serahkan uang itu kepada petugas kemananan, bukan tidak mungkin juga akan masuk ke kantongnya. Dan jika kamu serahkan ke pusat informasi untuk diumumkan, akan ada puluhan bahkan mungkin ratusan yang mengaku kehilangan, tapi apa buktinya kalau benar salah satu dari mereka yang benar-benar kehilangan?" setan pantang menyerah.
Aku semakin ragu. Kulihat orang-orang di belakangku. Seperti perdebatan dalam hatiku, merekapun terpecah menjadi dua. Mengambilnya, menganggap ini sebuah rejeki atau menyerahkan kepada petugas kemananan atau bagian informasi untuk diumumkan.
Masih dalam kebimbangan, aku pegang ‘uang tak bertuan’ itu dengan tangan kiri, sedang tangan kananku memencet tombol-tombol di mesin ATM untuk memasukan nomor PIN dan memilih sejumlah uang yang ingin kutarik. Aku berharap, siapapun orangnya yang antri di depanku tadi segera menyadari bahwa uang yang diambilnya masih tertinggal dua ratus ribu. Meski aku sendiri tidak selalu menghitung uang yang baru saja kutarik di ATM, namun kali ini aku berharap orang itu akan menghitungnya dan segera kembali untuk mengambil kekurangannya, sebelum aku berubah pikiran, termakan bujukan setan.
Setelah aku memilih sejumlah uang yang ingin kutarik, mesin ATM kembali mengeluarkan suara–sama seperti ketika aku baru memasukan kartu tadi dan seperti umumnya ketika mesin sedang menyiapkan uang yang kita ambil. Aku ambil uang yang baru saja keluar di laci dengan tangan kananku, sedang tangan kiriku masih memegang dua lembar uang yang entah siapa pemiliknya.
Tiba-tiba, dengan tergopoh-gopoh datang seorang pemuda menghampiriku. Dari pakaian yang ia kenakan, aku seperti pernah melihat sebelumnya, tapi tak ingat di mana. Juga dari teman perempuan yang berjalan di belakangnya, aku semakin yakin bahwa aku pernah melihat mereka sebelumnya. Ya, pemuda itu yang tadi antri di depanku, dan perempuan itu yang tadi berdiri di sampingnya.
"Maaf, Pak. Sebelumnya saya mohon maaf, saya hanya mau tanya," Pemuda itu terlihat ragu-ragu. Aku masih pada posisiku, tak beranjak dari depan mesin ATM. Mereka yang antri di belakangku juga melihat ke arah pemuda yang baru datang.
"Tadi saya mengambil uang dua juta rupiah, tapi saya tak sempat menghitungnya lagi. Pas saya hitung di bawah, saya baru sadar kalau uangnya kurang dua ratus ribu. Maaf, apa mungkin uang tersebut masih tertinggal di mesin ATM. Maaf, sekali lagi maaf. Saya hanya bertanya, sebab kalau tidak salah Bapak yang tadi antri di belakang saya," Pemuda itu semakin gugup. Dia terlihat salah tingkah, antara cemas dan juga takut, ia khawatir pertanyaannya akan menyinggung perasaanku.
"Dua ratus ribu?" Aku kembali mengamati pemuda di depanku. Benar bahwa dia yang tadi berdiri di depanku, dan uang yang ada di tangan kiriku sangat mungkin adalah miliknya. Jumlahnya sesuai, dua ratus ribu.
"Iya pak, betul dua ratus ribu. Maaf, apa Bapak tahu?" jawabnya bersemangat.
"Ya, ini uangnya," Aku menunjukan tangan kiriku yang masih memegang dua lembar ratusan ribu itu.
"Yang saya pegang dengan tangan kanan ini uang saya. Tapi yang saya pegang dengan tangan kiri, saya tidak tahu punya siapa. Pas saya baru memasukan kartu, tiba-tiba uang ini keluar. Saya tidak memperhatikan siapa dan kemana orang yang mengambil uang sebelum saya. Untung anda segera datang, dan saya masih ingat bahwa anda memang yang tadi antri di depan saya. Ini uang anda, silahkan."
"Terima kasih, Pak. Terima kasih," Pemuda itu menerima uang yang kusodorkan. Rasa lega terlihat jelas di wajahnya.
"Sama-sama," Jawabku tak kalah lega.
"Sekali lagi terima kasih, Pak. Bapak telah menolong teman saya," kali ini sang gadis turut mengucapkan terima kasih padaku.
"Sama-sama. Kalianlah yang sebenarnya menolong saya," jawabku sambil tersenyum. Kulihat mereka bingung, mengapa saya katakan kalau merekalah yang menolong saya, bukankah saya yang telah menyelamatkan uang mereka?
"Kalau kalian terlambat datang, barangkali uang itu sudah tidak akan kalian temukan. Sejak awal, setan sudah menggoda saya untuk mengambil uang itu. Saya sudah berusaha mengabaikan bujukannya, tapi setan tak mudah menyerah. Dengan segala alasan, ia tetap membujukku untuk mengambil uang itu. Astaghfirulloh, hampir saja saya tergoda, mengambil yang bukan hak saya. Karena itu, sayalah yang berterima kasih. Kedatangan kalian telah menyelamatkan saya dari perangkap setan."
Setelah kujelaskan, akhirnya mereka mengerti apa yang kumaksudkan. Kamipun berpisah. Mereka turun ke lantai dasar, sedang saya tetap di lantai dua untuk membeli beberapa barang yang saya butuhkan.
***
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau telah menyelamatkan aku dari memakan harta yang bukan hakku. Seandainya tidak Engkau hadirkan mereka segera, barangkali aku dan keluargaku akan memakan harta yang haram. Akan masuk bara neraka ke dalam perut keluargaku. Nauzubillah!
Aku teringat satu pesan bijak seorang guru. Janganlah mengambil barang yang kau temukan di jalan, seandainya kau tak bisa berlaku amanah. Ketahuilah bahwa setan akan menggodamu hingga kau merasa bahwa barang yang kau temukan adalah memang rejeki yang Allah berikan, lalu kau menggunakannya seolah itu hakmu, padahal ada orang lain yang tanpa setahumu sedang kebingungan mencari barangnya yang hilang.
Astaghfirulloh, astaghfirulloh! Ampuni aku ya Allah. Ampuni aku yang sempat berfikir bahwa uang itu adalah rejeki yang Kau berikan padaku.