Jangan Asal Membulatkan

SEPI. Untuk ukuran mall, suasana supermarket siang itu termasuk sepi. Hanya ada puluhan pengunjung yang terlihat santai dan lebih leluasa memilih barang-barang kebutuhannya. Aku yang pada dasarnya jarang berbelanja, lebih senang mendatangi pusat perbelanjaan tidak di awal bulan, saat umumnya orang-orang baru gajian. Sangat tidak mengenakan, berdesak-desakan, terjebak dalam antrian yang panjang hanya untuk membeli sedikit barang kebutuhan.

Selesai memilih barang-barang yang kami perlukan, aku gandeng putriku mencari kasir yang paling sedikit antriannya. Alhamdulillah, di antara kasir yang rata-rata hanya melayani dua sampai tiga pembeli, satu diantaranya ada yang hanya melayani seorang pembeli. Saat kami datang, sang kasir baru saja menyerahkan uang kembalian kepada wanita setengah baya yang belanjaannya sedikit lebih banyak dari yang kami beli. Alhamdulillah, tak sampai lima menit aku sudah bisa meninggalkan tempat yang dengan segala daya tariknya bisa menghabiskan gaji sebulan dalam satu kali kunjungan, aku membatin.

Dengan cekatan sang kasir menghitung harga barang-barang yang kami ambil.

“Seratus delapan puluh delapan ribu sembilan ratus rupiah, Pak” kata sang kasir semenit kemudian sambil tangannya mengarah ke layar komputer di depannya, menunjukan jumlah harga yang harus kubayar.

Jumlahnya tak jauh dari perhitungan kasarku. Aku menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan yang sudah kusiapkan sejak awal.

“Maaf, Pak. Yang seratus rupiah boleh kita sumbangkan untuk PMI?”

“Ya, silahkan!” jawabku serta merta.

“Terima kasih! Jadi jumlah seluruhnya seratus delapan sembilan ribu rupiah. Uangnya dua ratus ribu, ya Pak?” sang kasir memastikan. Aku menjawabnya dengan anggukan.

Tak sampai semenit, sang kasir sudah menyerahkan uang kembalian beserta struk belanja.

“Terima kasih sudah berbelanja di hy***mart, selamat siang!” kata sang kasir sopan. Tak lupa ia berikan sebuah senyuman yang kubalas juga dengan senyum dan anggukan.

Aku memang jarang berbelanja di supermarket, tapi lebih jarang lagi bertemu dengan kasir seperti yang baru saja kutemui.

Bukan dari penampilannya, bukan pula dari keramahannya. Sesungguhnya, penampilan dan keramahan yang ia tunjukan sudah lazim untuk seorang kasir di manapun. Kecuali satu hal, ia meminta izin terlebih dahulu untuk uang seratus rupiah yang akan disumbangkan untuk kegiatan sosial. Nyaris bisa dipastikan, tanpa diminta persetujuanpun, aku atau pengunjung lainnya tidak akan menolak. Namun demikian, sang kasir sadar betul bahwa meminta ijin jauh lebih baik dan lebih benar dilihat dari sudut pandang manapun.

Apa yang sang kasir lakukan –meminta ijin sebelum menggenapkan jumlah harga yang harus kubayar– adalah baru sekali ini kudapati. Biasanya, di tempat-tempat lain, selain uang, sang kasir akan memberikan sebutir permen bersama struk belanja. Bukan sebagai bonus, tapi sebagai pengganti uang receh yang entah bagaimana mereka tidak memilikinya, padahal mereka mengklaim tokonya adalah serba ada. Tanpa basa-basi, tanpa perlu meminta persetujuan, sebagaimana para pembeli juga enggan meminta penjelasan, penggantian uang receh dengan sebutir permen seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan.

Jika kasir di beberapa supermarket memberikan sebutir permen untuk menggenapkan jumlah harga yang harus dibayar karena tak memiliki stock recehan, jumlahnya masihlah terbilang masuk akal. Tidak melebihi kelipatan seratus diatas harga yang sesungguhnya. Sebagai contoh, harga Rp. 925,00 akan dibulatkan menjadi Rp. 1.000,00. Jika kita membayar dengan uang Rp. 5.000,00 maka kita akan mendapat kembalian Rp. 4.000,00 plus sebutir permen untuk pengganti uang yang Rp. 75,00. Masuk akal, dan nyaris tidak ada yang akan mempermasalahkan meskipun sang kasir tak pernah meminta persetujuan. Tapi, sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh kasir-kasir tempat pembayaran listrik online yang pernah aku datangi.

Maaf, tidak bermaksud menyudutkan satu pihak, tapi menyebutkan secara langsung menurutku lebih baik daripada menimbulkan banyak penafsiran. Ini bukan fitnah, aku dan orang lain banyak yang mengalaminya. Aku juga tidak bermaksud menyama ratakan, tapi sayangnya dari beberapa loket yang pernah kudatangi, semua menunjukan hal yang sama. Mereka membulatkan jumlah tagihan terlalu jauh, bukan pada kelipatan seratus di atasnya, tapi pada kellipatan seribu di atasnya.

Contoh nyatanya, jumlah tagihan listrik plus biaya administrasi yang tercantum di struk adalah Rp. 129.290,00 tapi kenapa sang kasir mengatakan jumlah yang harus kubayar sebesar seratus tiga puluh ribu rupiah. Aku tahu, tak mungkin di jaman sekarang membayar atau memberi uang kembalian dengan uang puluhan rupiah. Pecahan dua puluh lima, lima puluh sudah lama menghilang. Tapi apakah harus sejauh itu angka dibulatkan? Bukankah masih ada angka ratusan yang terdekat, atau jika pecahan ratusan juga sudah jarang, masih ada pecahan lima ratus rupiah?

Kenapa angka Rp. 129.290,00 dibulatkan menjadi Rp. 130.000,00 ? Bukankah lebih dekat menjadi Rp. 129.300,00 atau Rp. 129.500,00? Kalau dibulatkan menjadi Rp. 129.000,00 nyaris tidak mungkin, bagaimanapun mereka tak mau menanggung rugi. Anehnya, jika pelanggan atau pembeli tidak boleh membayar kurang bahkan seratus rupiah sekalipun, mengapa mereka berpikir pelanggan atau pembeli rela membayar lebih, jauh dari yang seharusnya. Sungguh tidak adil.

Ini bukan masalah pelit atau terlalu perhitungan. Juga bukan persoalan pribadi. Aku sering mendengar keluhan yang sama akan hal ini. Dan sekali lagi mohon maaf, tidak bermaksud untuk menyudutkan dan menyamaratakan, aku percaya masih banyak kasir-kasir yang jujur. Aku hanya bermaksud untuk mengingatkan, terutama diri sendiri, bahwa apapun usaha yang kita jalani, janganlah sampai merugikan orang lain, jangan mendzolimi orang lain, mengambil hak mereka dengan semena-mena.

Jangan melihat jumlahnya, tapi perhitungkan akibatnya. Jangan beranggapan hanya sekian rupiah, tapi pertimbangkan apakah orang lain mengikhlaskannya. Walaupun seratus rupiah, efeknya bisa sangat besar, tergantung bagaimana cara mendapatkan dan untuk apa uang itu digunakan.

Bisa dimaklumi bahwa keberadaan uang pecahan seratus rupiah dari hari kehari semakin langka dan bahkan hampir tak pernah dipakai untuk transaksi jual beli. Apalagi pecahan dua puluh lima atau lima puluh rupiah, anak kecil jaman sekarangpun tak mau jika diberi uang saku recehan seperti itu. Tapi, bukan menjadi satu alasan untuk melakukan pembulatan sesuka hati, tanpa memberitahukan atau meminta persetujuan.

Jika memang benar-benar tak ada recehan, setidaknya komunikasikan terlebih dahulu sebelum membulatkan atau kalaupun mau dibulatkan, tidaklah terlalu jauh padahal masih ada pembulatan yang lebih masuk akal dan tidak terlalu memberatkan salah satu pihak. Intinya adalah sampaikan, komunikasikan dan buat persetujuan. Jangan mengambil keputusan sepihak yang justru merugikan pihak lain. Ingat, sekecil apapun hak orang lain kita langgar, jika mereka tidak mengikhlaskan, maka menjadi kewajiban kita untuk mempertanggungjawabkan, sampai kelak di hari pengadilan.

Sekali lagi mohon maaf bila ada pihak yang berkeberatan disebutkan di sini. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran bersama bahwa masih ada cara yang lebih baik dan benar tanpa membuat orang lain merasa haknya diambil paksa. Sampaikan, komunikasikan dan capailah kesepakatan. Mintalah izin sebelum melakukan, seperti yang dicontohkan sang kasir di atas.

http://www.abisabila.com