Di pangkalan angkutan kota, Minggu petang.
Sepuluh menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, bus yang aku tumpangi dari Bekasi akhirnya menepi. Alhamdulillah, lega rasanya. Setidaknya setelah tiga jam duduk dalam bus yang penuh sesak, Insya Allah aku bisa sholat Maghrib di rumah.
Sesuai kesepakatan, turun dari bus aku langsung menuju warung kopi satu-satunya yang ada di pangkalan angkot tersebut. Bukan untuk memesan segelas kopi, bahkan masuk ke dalam warungpun tidak. Aku berdiri tak jauh dari warung kopi, menunggu keponakanku datang menjemput. Lima menit kemudian, dia baru datang. Dan saat menunggu inilah aku mendapati satu kenyataan yang memprihatinkan.
Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat tak kurang dari lima orang laki-laki berkerumun di bawah rindang pohon mangga. Di bawah kaki mereka, banyak potongan kertas kecil berserakan. Juga butiran permen kecil warna-warni. Apa yang sedang mereka lakukan, aku jadi penasaran.
Ketika dua orang dari mereka pergi —dengan muka yang terihat kesal— terlihat seorang laki-laki duduk dengan papan lotre yang sudah terjual lebih dari setengah tak jauh darinya. Di bagian atas papan lotre itu, tergantung beberapa bungkus rokok, mie instant, minuman suplemen bahkan juga sebuah handphone. Aku baru sadar kalau orang-orang yang tadi berkerumun itu sedang ramai-ramai membeli lotre. Astaghfirulloh!
***
Dua hari sebelumnya, usai makan siang di kantor.
Seorang rekan kerja —sebut saja Fulan— bercerita tentang gagasan yang diusulkan oleh salah satu anggota arisan keluarga yang baru ia ikuti.
“Sepertinya beberapa anggota mulai jenuh dengan arisan yang sudah berjalan selama belasan tahun. Itu terlihat dari kehadiran anggota yang semakin menurun meski arisan diadakan dua bulan sekali. Karena itulah, pengurus meminta pendapat kepada anggota bagaimana caranya agar para anggota kembali bersemangat untuk datang arisan. Seperti tujuan awal bahwa arisan ini sebenarnya hanya sampingan saja, utamanya adalah untuk mempererat silaturahim.” Fulan memulai ceritanya.
“Ada usulan dari salah satu anggota senior, agar para anggota kembali bersemangat maka selain arisan diadakan juga penjualan kupon berhadiah. Teknisnya adalah setiap anggota membeli satu buah kupon undian. Bagi yang beruntung akan mendapatkan hadiah berupa barang yang dibeli dengan uang hasil penjualan kupon,” ia menambahkan.
Perlu beberapa waktu untuk mencerna, sebelum aku menanggapi ceritanya.
“Selain arisan uang, ada juga arisan berupa barang, begitu maksudnya?”
“Bukan! Justru kalau itu sih tidak aku permasalahkan. Begini, dengan meminjam dana kas, pengurus akan membelikan sebuah barang. Harga barang tersebut akan dibagi dengan jumlah anggota arisan yang datang. Berapa hasilnya adalah nilai yang harus dibayar untuk mendapatkan satu kupon. Dengan demikian dana kas akan tertutup kembali. Dan bagi yang mendapatkan kupon dengan tanda khusus maka ia yang berhak membawa pulang barang.”
“Apa bedanya itu dengan membeli lotre?” Aku mulai paham dengan yang Fulan maksudkan.
“Aku juga berpendapat begitu!”
“Usulan ini disetujui?”
“Tidak. Memang awalnya aku ragu, tapi setelah ada satu anggota lain yang menyampaikan ketidak setujuannya, akhirnya aku berani mengatakan bahwa jika begitu teknisnya maka tak ada bedanya dengan taruhan. Aku memang tidak atau belum mempunyai ide untuk menyegarkan kembali semangat silaturahim anggota arisan, tapi jika arisan akan ditambahi dengan taruhan meskipun itu tidak disengaja atau tidak diniatkan, maka aku akan menjadi orang pertama yang tidak setuju.”
***
Iseng-iseng berhadiah, sering orang mengatakan. Barangkali mereka, orang-orang dalam cerita di atas berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah juga demikian. Iseng-iseng berhadiah. Tapi menurutku , seperti itu justru iseng-iseng bermaksiat. Bagaimana tidak, membeli lotre untuk mendapatkan hadiah adalah nyata-nyata sebuah perjudian. Kupon berhadiah atau apapun nama dan sebutannya, tetap saja itu taruhan.
Berbeda dengan arisan, meski diundi tapi ini tidak termasuk taruhan atau judi. Hati-hati sebab judi bukan semata dilihat dari cara melakukannya, tapi unsur yang terkandung di dalamnya. Meski melalui kegiatan yang diperbolehkan—baik oleh hukum negara maupun agama, bila di dalamnya terkandung unsur taruhan maka kegitan itu menjadi haram untuk dilakukan.
Pertandingan olah raga, lomba baca puisi ataupun peragaan busana muslim sekalipun, adalah kegiatan yang tidak melanggar—baik aturan agama maupun negara. Tapi menjadi haram ketika hadiah yang diperebutkan adalah hasil dari iuran, patungan atau sumbangan para peserta baik sebagian atau seluruhnya, secara langsung ataupun tidak.
Sebagian atau seluruhnya maksudnya adalah bahwa bila untuk bisa mengikuti sebuah perlombaan, setiap peserta diwajibkan membayar uang pendaftaran, dimana dari uang pendaftaran tersebut digunakan sebagian atau seluruhnya untuk hadiah atau membeli barang sebagai hadiah.
Akan berbeda ceritanya bila hadiah disediakan oleh pihak panitia baik atas dananya sendiri atau bantuan dari para sponsor tanpa mengambil sedikitpun dari uang pendaftaran calon peserta. Kalaupun mereka harus bayar, mungkin untuk keperluan kostum ataupun konsumsi yang tentu saja akan didapatkan oleh seluruh peserta baik mereka menjadi juara atau tidak.
Setan tidak akan pernah berhenti menggiring manusia ke jalan yang sesat. Jika melalui togel, judi dadu ataupun kartu orang langsung sadar bahwa itu sebuah judi yang dilarang – baik oleh agama maupun negara – maka setan tak pernah kehabisan cara untuk terus menyesatkan manusia. Salah satunya dengan menyamarkan perjudian dalam berbagai kegiatan. Manusia ditipu dengan berbagai bentuk hadiah yang bisa didapatkan dengan cara yang mudah dan harga yang murah. Jika kita tidak teliti maka kita akan terjebak pada perjudian sementara kita terus mengira apa yang kita lakukan adalah halal. Nauzubillah!
Yang patut diwaspadai jaman sekarang adalah banyaknya tawaran menggiurkan, hadiah jutaan rupiah hanya cukup dengan mengirimkan sms. Mereka —penyelenggara kuis— bisa saja beralasan bahwa hadiah yang diadakan adalah murni disediakan oleh mereka dan para sponsor, tapi bisakah mereka memberi penjelasan dengan transparan mengenai biaya yang dikenakan untuk mengirim satu sms. Ketika biaya satu kali pengiriman sms sekitar seratus rupiah bahkan banyak operator yang bersaing dengan layanan sms gratis, mengapa mereka mengenakan biaya sms hingga ribuan rupiah? Kemanakah dan untuk apakah kelebihan dari biaya normal itu digunakan?
Juga hadiah dari promosi produk-produk tertentu. Ketika harga produk selama masa promosi atau tidak adalah sama, maka kita bisa percaya bahwa hadiah yang mereka siapkan adalah menjadi tanggungan pihak produsen sebagai salah satu resiko dalam rangka meningkatkan omset penjualan. Toh ketika omset penjualan mereka meningkat mereka akan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Tapi bila harga sebelum dan selama promosi berbeda ( lebih tinggi ketika masa promosi ) maka berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin selisih harga itu yang digunakan sebagai hadiah. Mereka ingin mempromosikan produk mereka dengan menarik minat konsumen melalui berbagai hadiah, tapi mereka tidak mau mengeluarkan modal. Bahkan celakanya, disadari atau tidak, konsumen yang membeli produk dengan harga ‘khusus’ tersebut telah turut serta dalam ‘iuran’ taruhan.
Dengan segala tipu dayanya, setan telah menjadikan judi dan taruhan kini bukan lagi hanya berupa nomor togel ataupun dadu dan kartu. Berbagai bentuk pertandingan, perlombaan bahkan promosi telah disisipi taruhan.Maka, sudah menjadi kewajiban kita untuk berhati-hati dan waspada. Jangan sampai iseng-iseng berhadiah tapi sebenarnya iseng-iseng bermaksiat.