Laki-laki sederhana itu bernama Hasan. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang mengesankan. Sopan, ramah dan hampir tak pernah membuat masalah. Meski cenderung pendiam, sebenarnya Hasan cukup terbuka untuk sebuah persahabatan. Kita hanya perlu sedikit lebih aktif mengajaknya bicara, maka hilanglah semua kesan cuek, sombong dan angkuh yang sempat disangkakan orang-orang padanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Hasan memang dikenal pendiam. Ia hanya berbicara seperlunya saja. Begitupun saat bercanda, dia akan hati-hati memilah dan memilih agar tidak menyinggung apalagi merugikan orang lain. Hampir tak ada catatan hitam di masyarakat tentang Hasan. Dia sosok yang santun dan taat beribadah. Satu-satunya yang dianggap minus sebagian tetangganya adalah jarangnya Hasan berada di tengah-tengah kaum bapak yang senang melewati malam libur dengan begadang bersama.
Kalau Hasan dibilang terlalu tertutup dengan para tetangganya, menurutku tidaklah sepenuhnya benar. Hasan tetap hadir bila ada musyawarah warga. Begitupun saat ada warga yang hajatan atau tertimpa musibah, Hasan juga hadir di tengah-tengah mereka. Hanya saja memang Hasan akan segera pulang begitu acara selesai. Hampir tidak pernah Hasan terlihat diantara mereka yang sedang bermain catur atau kartu remi, bahkan hanya sekedar melihat sekalipun. Hasan tidaklah menutup diri sama sekali, Hasan hanya berpegang pada prinsipnya, dan ia sudah siap bila prinsipnya itu tidak sama dan akhirnya ‘dipermasalahkan’ oleh sebagian tetangganya.
Tidak suka nongkrong, begadang, menghabiskan malam saat esok paginya libur seperti yang dilakukan kebanyakan kaum laki-laki di lingkungan tempat tinggalnya, terkadang menjadikan Hasan sebagai bahan gunjingan. Takut istri, sombong, kuper, sok alimlah, macam-macam pandangan orang. Tidak semua, tapi ada juga yang mengiyakannya. Dan, pandangan mereka yang demikian bukan sama sekali tidak disadari Hasan. Namun yang aku salut, Hasan tetap tenang. Ia merasa tak perlu marah, tak perlu emosi, juga tak perlu sakit hati. Setiap orang berhak menilai dirinya. Ia tak boleh dan juga tak mungkin memaksa semua orang berpihak kepadanya. Berbeda pandangan dan penilaian baginya adalah sesuatu yang wajar dan pasti. Yang terpenting baginya adalah prinsip hidup yang ia jalani itu benar dan tidak merugikan siapapun, maka biarkan saja orang bicara apa.
“ Biasa saja. Orang bisa mengatakan apa saja, tak mungkin dan tak bisa aku mengaturnya. Ketika kita berdiri di sini, sangat mungkin telihat berbeda oleh mereka yang berdiri di sana. Kita begini, mereka akan berkomentar. Kita begitu, mereka juga akan berkomentar. Bahkan, ketika kita tidak atau belum melakukan apapun, mereka tetap berkomentar “ Mantap Hasan memberikan jawaban ketika aku bertanya bagaimana caranya menyikapi omongan miring sebagian tetangga.
“ Satu lagi, mereka ada yang rajin memberikan komentar karena mereka sangka itu gratis alias tidak bayar “ Hasan menambahkan.
“ Gratis? Tidak bayar? Maksudnya? ” aku meminta penjelasan lebih padanya.
Hasan tersenyum santai.
“ Ya, gratis! Mereka tak perlu mengeluarkan hartanya untuk membiayai dan menanggung resiko dari apapun yang kita kerjakan, melakukan apa yang mereka katakan. Kita berhasil, mereka berkomentar dan tak perlu kehilangan apapun. Demikian pula bila kita gagal, mereka akan berkomentar dan tak perlu menanggung kerugian sedikitpun”
“ Berkomentar tak harus bayar. Itu kelihatannya, tapi tidak sebenarnya. Saat itu mereka memang tidak perlu membayar dengan apapun, berapapun. Tapi sebenarnya mereka akan membayar tunai semua omongan, semua tuduhan yang mereka katakan. Di akhirat kelak, mereka akan diminta pertanggungjawabannya, membayar semua omongannya bahkan mungkin ditambah bunga-bunga akibat dari omongannya.”
“ Kita tidak boleh menutup telinga sama sekali terhadap orang lain, tapi tidak juga kemudian mengikuti, menuruti semua perkatan mereka seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kita memiliki prinsip hidup, termasuk saat bergaul dengan tetangga. Bukan untuk sombong, cuek, angkuh atau menutup diri sama sekali, tapi kalau tidak bermanfaat dan tidak membawa kebaikan, tak perlulah kita terlibat, bergabung dengan mereka. Tak apalah menjadi bagian kecil dari masyarakat bila sebagian besar sudah menempatkan dunia dan nafsunya diatas hati dan akalnya “
“ Ini juga bukan perkara toleransi. Hidup bermasyarakat nyaris tidak mungkin tanpa perbedaan pendapat, juga kepentingan. Tapi bagaimanapun ada hal-hal yang tak bisa orang lain paksakan. Hak kita untuk menentukan, ikut atau tidak dengan kemauan mereka. Kita harus pandai memilah dan memilih mana yang perlu, mana yang baik dan mana yang sebaliknya”
Aku mulai memahami apa yang Hasan maksudkan. Memang benar bahwa mendengarkan orang lain memang perlu, tapi mengikuti apapun kata orang lain tidaklah selalu. Kita harus memiliki sebuah prinsip. Apa jadinya bila kita selalu dan terlalu mengikuti apa kata orang lain. Tentu kita akan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Apa yang Hasan katakan memang ada benarnya. Orang memang sering memberikan komentar atau sebuah penilaian yang terkadang tidak didasarkan pada kebenaran. Terkadang hanya menuruti prasangka belaka. Begitu mudah mereka berkomentar, salah satunya – mungkin – karena merasa tidak harus bayar, juga tak perlu menanggung resikonya. Kadang ada yang terlupa, bahwa tidak bayar itu di dunia, tapi di akhirat? Tak ada yang terlewatkan, termasuk setiap kata yang diucapkan.
Mari, kita lebih berhati-hati dalam menilai dan memberikan komentar. Jangan karena merasa gratis, kita bebas berkata dan berkomentar apa saja. Ingatlah di akhirat kelak kita akan mempertanggungjawabkannya, membayar semua omongan berikut bunga-bunganya.
http://abisabila.blogspot.com