Bola dan taruhan, bagai pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran, sulit dipisahkan. Setidaknya, ini yang Ahmad ( bukan nama sebenarnya ) amati terhadap teman-teman kerja dan juga tetangganya.
Tanpa ragu dan malu, mereka membicarakan taruhan, membuat kesepakatan dengan saling berjabat tangan seakan taruhan bukan saja halal tapi juga sangat dianjurkan. Astaghfirulloh, sangat menyedihkan! Dan yang tak pernah bisa Ahmad pahami, mereka yang kalah kerapkali memasang tampang yang mengundang belas kasihan. Aneh, bukankah sebelumnya sudah mereka niatkan, termasuk resiko kalah dalam taruhan?
Sebenarnya Ahmad sudah berusaha mengingatkan, tapi mereka selalu dan terlalu mempunyai banyak alasan. Salah satunya, untuk seru-seruan. What? Apa masih kurang dosa atas maksiat yang sudah mereka lakukan? Kasihan! Semoga mereka mendapatkan hidayah dan sadar bahwa taruhan yang mereka lakukan bukan saja bisa bikin sengsara di dunia tapi juga di akhirat, Ahmad mendoakan.
“Kamu taruhan juga ya?” tanya Ahmad pada Fulan.
“Nggak! Cuman kopi doang,” jawab Fulan linglung. Sejak kapan taruhan kopi dapat pengecualian? Mau kopi, mau roti, tetap saja taruhan itu haram. Bukan kopinya, bukan rotinya, tapi taruhannya yang diharamkan.
“Katanya pengen punya anak, kok masih suka taruhan?” Ahmad jadi geregetan.
“Lho, apa hubungannya taruhan sama punya anak? Aku dan istriku sama-sama sehat, nanti juga bakal punya anak!” jawab Fulan enteng.
Senyum di wajahnya justru semakin menambah kesan amnesianya. Bagaimana bisa dia menjamin pasti punya anak? Dia tentu lupa, meski hasil pemeriksaan medis menyebutkan dia dan istrinya sama-sama sehat, tapi kenyataannya sudah tiga tahun lebih berumah tangga belum juga ada tanda-tanda mereka akan segera dapat momongan. Pasti ada sesuatu dibalik semua ini, dan yang pertama terbantah adalah anggapannya sendiri, asal sehat maka pastilah punya anak.
Agak sulit memang menjelaskan, apalagi terhadap orang seperti Fulan yang plin plan. Ibadah jalan, tapi maksiat tak mau dia tinggalkan. Barangkali memang tidak terkait langsung antara taruhan dengan harapan punya anak, terutama bila sekedar sehat ( subur ) sebagai syarat untuk mempunyai anak, seperti yang ada dalam benak Fulan. Tapi Ahmad punya penjelasan, mengapa ia mengaitkan taruhan dengan tertundanya Fulan mempunyai momongan.
Dua minggu sebelumnya, Fulan curhat kepada Ahmad tentang keresahannya akibat belum juga dikaruniai momongan, padahal berbagai ikhtiar telah dia dan istrinya lakukan, mulai dari medis sampai ke alternatif, seperti pijat urut dan mengkonsumsi obat-obatan herbal. Bagaimanapun caranya, Fulan sangat mendambakan kehadiran seorang momongan, salah satunya agar ia merasa percaya diri ketika bergabung dengan rekan-rekan kerjanya yang rata-rata sudah berkeluarga dan telah dikaruniai anak.
Fulan mengaku, seringkali ia merasa minder, sedih bahkan terkadang sakit hati ketika rekan-rekan kerjanya asyik membicarakan anak masing-masing. Ia tahu bahwa mereka tak bermaksud untuk menyinggung apalagi menyakiti hatinya, tapi kenyataan bahwa obrolan mereka tentang anak, di telinganya terdengar seperti sebuah sindiran bahkan ejekan.
Agak bingung juga Ahmad memberikan nasihat waktu itu. Ahmad baru mengenal Fulan dua bulan. Tapi sebagai sahabat, Ahmad berusaha mengingatkan agar Fulan jangan pernah putus harapan. Teruslah berikhtiar, sertai dengan doa yang tulus dan tiada putus, juga tetaplah berbaik sangka bahwa belum dikaruniainya ia momongan hanya soal waktu semata dan Allah mempunyai rencana yang terbaik untuk mereka berdua, Fulan dan istrinya.
Ahmad menambahkan, sebelum memiliki momongan, nikmati saja masa-masa berdua. Jangan berhenti berharap, tapi juga jangan selalu memikirkan akan hal itu. Banyak hal yang bisa dilakukan. Jika hanya memikirkan soal momongan, dikhawatirkan Fulan jadi terlupa untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah anugerahkan. Momongan hanyalah satu dari sekian banyak nikmat, yang tentu tak ada manusia yang mampu menghitungnya.
Anak adalah anugerah sekaligus amanah. Kehadirannya bisa melengkapi kebahagiaan rumah tangga, namun juga bisa sebaliknya. Orang tua bisa masuk ke syurga lantaran anak, namun juga bisa masuk neraka juga karena anak. Semua tergantung bagaimana orang tua menyikapi kehadiran seorang anak. Sebagai anugerah jelas harus disyukuri, baik dengan ucapan apalagi perbuatan. Sebagai amanah, anak harus dijaga, diarahkan dan dididik dengan baik dan benar. Salah besar bila orang tua beranggapan anak adalah miliknya, sehingga mereka merasa bebas melakukan apa saja terhadap anak-anaknya.
Kembali kepada awal permasalahan, mengapa Ahmad mengaitkan taruhan yang dilakukan Fulan sebagai salah satu penyebab ia belum dikaruniai keturunan. Salah satunya karena Fulan belum bisa berlaku amanah bila dikaruniai anak sekarang. Ia boleh saja berdoa siang malam, ia bisa saja melakukan berbagai ikhtiar agar segera diberikan momongan, tapi tingkah laku dan perbuatannya di luar itu justru tak sejalan.
Bagaimana bisa dikatakan ia telah siap lahir batin mempunyai momongan, bila harta yang ia miliki ia gunakan untuk taruhan. Jangan salahkan bila Allah meragukan keinginannya. Rejeki berupa harta yang Allah titipkan saja tak bisa ia jaga, bagaimana jika Allah berikan anak, apakah ia mampu mempertanggungjawabkannya?
Harta di tangannya, semestinya sebagian ia simpan sebagai persiapan untuk menyambut kehadiran buah hatinya. Untuk persiapan biaya mulai dari kehamilan, kelahiran hingga pendidikan sang anak kelak. Sebagian lagi ia gunakan untuk bersedekah, bukankah sedekah itu selain membuat rejeki barokah juga membuka pintu rejeki lainnya, termasuk mempunyai keturunan.
“Masihkah kau ingin taruhan?” tanya Ahmad setelah menjelaskan panjang lebar.
“Jika tidak, akankah segera mendapat anak?” tawar Fulan.
“Wallohualam! Tapi setidaknya kamu tak membantah doa-doamu setiap hari. Mulut ke kanan, tapi kaki dan tanganmu bergerak ke kiri. Harus sejalan, antara hati, mulut juga tangan dan kaki. Semua bergerak dan mendekat kepada Allah, bukan berjalan masing-masing menuruti hawa nafsumu. Jika semua sudah mengarah pada satu tujuan yaitu Allah, bukan mustahil bila istrimu segera hamil.” Ahmad menasihati.
“Oh ya, kamu taruhan tapi kamu nda nonton pertandingannya. Kalau boleh tahu, apa kamu benar-benar suka dengan sepak bola?” Ahmad penasaran.
Yang ditanya hanya senyum-senyum saja. Ternyata, sama seperti kebanyakan yang lainnya, sepak bola hanya satu dari sekian alasan untuk dijadikan taruhan. Tak heran bila ada orang yang justru tidak peduli sama sekali dengan jalannya pertandingan, dukungan yang ia berikan bukan karena ia berada di pihak salah satu grup kesebelasan, tapi lebih kepada keberuntungan atau kemalangan yang akan ia dapatkan.
Anda melakukan taruhan? Saya berharap anda mantap menjawab; TIDAK! Tidak kemarin, sekarang dan selamanya, dengan cara apapun dan dengan alasan apapun.