Ade, bocah laki-laki yang masih duduk di kelas tiga SD, pulang sekolah dengan wajah ceria. Ia ingin segera sampai di rumah dan menunjukan nilai ulangannya kepada sang Bunda.
“ Bunda…Bunda! Lihat, Ade dapat nilai sepuluh!” teriak sang bocah di depan pintu.
Mendengar teriakan Ade, Bunda yang sedang memasak di dapur segera keluar dan mendapati sang anak sedang melepas tali sepatunya.
“ Ade dapat nilai sepuluh? Alhamdulillah, pinter sekali anak Bunda !” puji Bunda tak kalah gembira. “ Pelajaran apa, coba Bunda lihat!”
“ Budi pekerti, Bunda. Nih! “ Ade menyodorkan selembar kertas ulangan. Ada nilai sepuluh tertera di sana.
“ Mm… anak Bunda memang pinter! “ Bunda memuji sekali lagi. “ Hari ini Bunda bikin masakan kesukaan Ade. Bunda terusin dulu masaknya ya, sebentar lagi selesai. Sekarang Ade taruh sepatunya di rak, terus ganti baju. Nanti kalau sudah matang, kita makan bersama !”
“ Gak mau ah! Bunda saja yang rapihin sepatunya, Ade mau jajan dulu!”
Bunda tak sempat membujuk, karena sang bocah sudah lebih dulu kabur ke warung. Dengan sabar Bunda merapihkan sepatu dan tas sekolah yang ditinggal begitu saja di depan pintu.
Lima menit kemudian.
“ Bunda, sudah selesai belum masaknya? Ade lapar nih!”
“ Sebentar lagi sayang. Kebetulan Bunda kehabisan garam, tolong belikan garam di warung ya sayang! “
“ Bunda gimana sih, Ade sudah lapar nih! Masaknya lama banget! “ rajuk sang bocah.
“ Sebentar lagi selesai kok sayang. Sekarang tolong Bunda belikan garam dulu ya?”
“ Ngga’ mau, ah! Bunda beli saja sendiri. Ade mau nonton tivi!”
“ Ade… Bunda minta tolong, sebentar saja. Kalau Bunda tinggal, takut nanti masakannya gosong “
“Ngga’ mau ya ngga’ mau! Bunda nda denger ya?!”
***
Apa pendapat anda setelah membaca penggalan cerita di atas? Ironis sekali! Di atas kertas sang bocah bisa menunjukan prestasinya dengan mendapatkan nilai sepuluh untuk pelajaran budi pekerti, tapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Ia bukan saja tidak hormat kepada orang tua, tapi juga tidak mau membantu bahkan membantah dengan suara keras, meski berkali-kali sang Bunda sudah meminta tolong padanya.
Cerdas di atas kertas, tapi culas di atas pentas. Hal ini pula yang terlihat pada beberapa pemimpin negeri ini. Berderet title tersemat di depan dan di belakang nama mereka, namun berderet pula kasus yang melibatkan namanya. Satu per satu, nama mereka muncul dalam berita. Bukan karena prestasi setelah terpilih menjadi wakil rakyat, tapi justru sebaliknya. Menjadi wakil rakyat hanyalah kedok untuk memuluskan aksinya, penjahat berlabel pejabat. Berbagai tindak kejahatan dan tingkah laku buruk bukan lagi berita baru, dan pelakunya adalah mereka yang notabene orang-orang berprestasi cemerlang di bidang pendidikan.
Begitupun dengan orang-orang yang terlibat langsung dengan dunia pendidikan, ternyata budi pekerti yang diajarkan belum betul-betul mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Belum lama kita dicengangkan dengan berita tentang contek masal yang konon dilakukan oleh para siswa sekolah dasar atas perintah – setidaknya diketahui – guru yang sedang mengawasi pelaksanan ujian.
Ini sungguh mengejutkan, memalukan sekaligus memilukan. Sang murid yang melaporkan kejadian ini bersikeras bahwa apa yang ia ceritakan adalah benar, sedang sang guru – tentu saja – sebaliknya. Pihak sekolah membantah telah terjadi contek masal dalam ujian. Tak mungkin mereka membiarkan ini terjadi, apalagi sampai menyuruh anak didiknya memberikan contekan kepada teman-temannya. Entahlah, siapa yang benar dalam hal ini. Tapi ketika dua pihak memberikan keterangan yang bertolak belakang terhadap satu permasalahan, sudah bisa dipastikan bahwa salah satu dari mereka berdusta. Ini bukti nyata bahwa kejujuran, keluhuran budi pekerti sudah tidak lebih dari sekedar mata pelajaran, yang diterapkan atau tidak dalam kehidupan sehari-hari, sudah kurang mendapat perhatian lagi.
Kisah tentang Ade yang semaunya sendiri, tidak menghormati dan tidak mau menolong orang lain bahkan berani membantah orang tua –mungkin juga kepada gurunya – adalah bukti nyata, bahwa moral bangsa ini perlu segera dibenahi. Barangkali apa yang dilakukan oleh Ade karena sedikit banyak dipengaruhi oleh usianya yang masih belia. Dengan didikan orang tua di rumah, juga guru di sekolah, maka perilaku seperti Ade ini masih bisa diluruskan. Tapi bagaimana ketika mereka – para pemimpin – yang semestinya memberikan contoh dan tauladan justru menjadi ancaman, musuh yang tega melakukan berbagai kejahatan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.
Jangan ditanya soal pendidikan. Mereka adalah orang-orang terdidik, lulusan sekolah terbaik bahkan ada yang mendapatkan title dari sekolah di luar negeri. Jangan sangka mereka bukan orang-orang terpelajar, gelar mereka berjejer di depan dan di belakang nama mereka. Tapi apa yang bisa dibanggakan setelah menduduki kursi, yang ternyata ada yang mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara. Apakah korupsi, berjudi, berzina, memakai dan mengedarkan narkoba pantas dijadikan kebanggaan? Sungguh memalukan dan sekaligus memilukan. Prestasi mereka ternyata hanya di atas kertas, tapi di lapangan nilai mereka nol besar, bahkan minus.
‘Jika saja’ yang diberitakan itu benar, pihak sekolah – dalam hal ini para guru – yang seharusnya mendidik dan mencontohkan kejujuran, keluhuran budi pekerti terhadap anak didiknya, justru membiarkan kecurangan terjadi di depan mata. Mereka tentu tidak lupa bahwa ada satu mata pelajaran bernama budi pekerti yang mereka berikan, tapi mereka terlupa bahwa semestinya merekalah orang pertama yang mempraktekkan, mencontohkan kepada anak-anak didiknya. Sejauh ini pihak sekolah memang masih membantah laporan salah satu muridnya, tapi rasanya sang murid tak cukup berani untuk membuat cerita dusta, apalagi menyangkut pihak-pihak yang kehormatannya harus ia junjung tinggi.
Di negeri ini kejujuran seakan menjadi sesuatu yang mahal, yang karena mahalnya maka tidak semua orang memilikinya. Juga keluhuran budi pekerti menjadi sesuatu yang kuno, yang karena saking kunonya maka banyak orang yang merasa tak perlu lagi memakainya.
STOP! Hentikan anggapan bahwa kejujuran adalah barang mahal, sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya. Jangan pernah beranggapan bahwa budi pekerti sudah kuno, tidak relevan lagi dengan kehidupan modern. Jangan biarkan keluhuran budi pekerti hanya sebatas dipelajari tapi tak tak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
STOP! Jangan buang tenaga dengan saling menuding siapa yang paling bertanggung jawab terhadap merosotnya nilai-nilai budi pekerti di masyarakat. Setiap kita, apapun posisinya dan profesinya mempunyai kewajiban yang sama untuk menjaga dan menjalankan luhurnya budi pekerti dalam setiap sendi kehidupan. Sebagai orang tua, kita bertanggungjawab terhadap pendidikan anak-anak di rumah, karena bagian para guru adalah ketika mereka masih ada di lingkungn sekolah. Jangan buang waktu percuma, menunggu orang lain tanpa kita sendiri melakukan perbaikan.
Mari kita benahi dari diri kita, keluarga kita, lingkungan sekitar dan dari sekarang. Ketika generasi penerus sudah kita bekali dan kita biasakan untuk mempraktekan nilai luhur budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari, mudah-mudahan kelak mereka akan menjadi para pemimpin yang bukan saja berprestasi di atas kertas tapi juga berprestasi di atas pentas kehidupan. Dan jangka panjangnya, bukan saja sukses di dunia tapi juga selamat di akhirat. Amin.
catatan: Ade bukanlah nama sebenarnya.
http://abisabila.blogspot.com