Derita Mereka, Derita Kita Juga

Haru dan malu, begitu yang sering kurasa saat melihat tayangan ini. Astaghfirulloh, kami sekeluarga memang belum sepenuhnya bisa meninggalkan televisi. Kami baru bisa mengurangi dan memilah serta memilih tayangan mana yang layak kami tonton. Salah satunya adalah reality show ini. Sesuai dengan judulnya, tayangan ini mengangkat fakta betapa susahnya mendapatkan pertolongan yang tulus ikhlas di jaman sekarang. Tidak tahu secara pasti hari apa saja acara ini ditayangkan, tapi saat pulang kerja aku sering mendapati putriku sedang menonton acara ini sambil menunggu film kartun kesayangannya di stasiun tv lain dimulai.

Menyaksikan tayangan ini, mata dan hatiku semakin terbuka bahwa mendapatkan pertolongan di jaman sekarang tidaklah selalu mudah. Juga fakta bahwa kepedulian terhadap sesama sudah semakin menipis. Mereka, yang pada dasarnya mampu memberikan pertolongan terburu-buru curiga dengan orang yang datang menghiba. Atau, kalaupun ada yang ‘bersedia’ menolong, itu lantaran mereka menyadari ‘keuntungan’ yang akan segera didapatkan. Astaghfirulloh!

Awalnya aku mengira tayangan ini tak ada bedanya dengan sinetron atau tayangan lain yang menyebut dirinya reality show, tapi kenyataannya hanya rekayasa belaka. Atas alasan komersial, tayangan ini barangkali juga sudah ditambahi ‘bumbu-bumbu penyedap’ agar lebih menarik perhatian pemirsa yang bukan lain adalah pasar bagi para pemasang iklan yang mensponsori tayangan ini. Pertolongan yang diminta terkadang seperti mengada-ada. Begitupun orang yang akhirnya bersedia menolong, adalah mereka yang sebenarnya juga sedang membutuhkan pertolongan. Ah, lagi-lagi ini sebuah reka cerita. Tapi melihat keadaan sekitar, kecurigaan atas rekayasa tayangan ini perlahan berubah. Kenyataan menunjukkan bahwa kepedulian lebih sering dimiliki oleh orang-orang yang pernah atau sedang merasakan kesulitan, seperti yang sedang dihadapi si peminta tolong. Aku pernah beberapa kali mendapatkan buktinya.

Anto dan Dika –keduanya bukan nama sebenarnya– adalah dua di antara puluhan orang yang datang memberikan dukungan, doa dan bantuan saat kami tertatih menghadapi ujian. Bukan, bukan mengecilkan yang lainnya, tapi dari Anto dan Dika lah terbuka hatiku, kesadaranku bahwa kesulitan yang sedang kita hadapi bukan penghalang untuk kita membantu meringankan kesulitan orang lain. Anggapan bahwa ‘tak perlu’ peduli dengan kesulitan orang lain karena kitapun sedang dalam kesulitan, adalah sebuah kekeliruan.

Sudah dua minggu, anak kedua Dika dirawat secara intensif di ruang ICU karena selain lahir premature, si kecil juga mengalami gangguan pada jantungnya. Sedang Anto, keluarganya sedang diuji dengan hilangnya mobil yang baru setahun mereka beli. Dengan alasan kerja sama, mobil mereka dibawa kabur oleh teman baik Argo, adik Anto. Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun. Ujian yang sedang dihadapi Dika dan keluarganya baru kuketahui beberapa hari setelah ia datang menguatkan dan mengingatkan agar kami tetap sabar, tegar, ikhlas dan tabah. Sedang musibah keluarga Anto baru kuketahui justru dua bulan kemudian. Astaghfirulloh! Barangkali ini salah satu bukti kekurang pedulianku terhadap orang lain. Tapi yang jelas, saat mereka datang tak ada satu katapun dari mereka yang memberikan pertanda bahwa mereka juga sedang menghadapi ujian yang tak ringan. Bahkan, raut wajah mereka sama sekali tak menggambarkan kesedihan. Sama seperti yang lain, mereka datang untuk mengingatkan, menguatkan dan juga mendoakan. Subhanallah!

Anto dan Dika, mereka telah membuka mata dan hatiku, juga kesadaranku bahwa sesulit apapun kondisi yang sedang kita hadapi, bukanlah satu alasan untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain. Kalaupun tak ada harta yang bisa kita berikan, masih banyak cara untuk meringankan kesulitan mereka. Mendatangi mereka, mendengarkan keluhan mereka, ikut merasakan penderitaan mereka, berbagi pengalaman mengenai jalan keluar dari sebuah permasalahan, memberikan nasihat juga semangat, adalah hal yang seringkali dianggap kecil padahal sesungguhnya memberi manfaat yang besar bagi orang yang sedang mengalami kesulitan.

Tunjukan bahwa kita peduli pada mereka, kita merasakan kesulitan yang sedang mereka hadapi meskipun kenyataanya kita tak bisa berbuat lebih banyak karena kesulitan yang juga sedang kita hadapi. Ini lebih baik daripada karena sayang harta, kita pura-pura tak melihat kesulitan mereka. Atau lebih kejam lagi bila kita malah menikmati kesulitan orang lain layaknya sebuah tontonan yang mampu menguras air mata tapi tak jua menggerakan hati, kaki dan tangan kita untuk berbuat nyata meringankan beban mereka.

Sesungguhnya bila hati kita sehat, kita akan menyadari dan mengakui bahwa derita mereka adalah derita kita juga. Tak cukup melihat, tak hanya berucap, dan tak sekedar menitikan air mata. Tak hanya berhenti sampai di sana, tapi melakukan tindakan nyata untuk membantu kesulitan mereka semaksimal mungkin yang kita bisa.

Dika, Anto dan reality show ini semakin menyadarkanku, bahkan membuatku malu. Malu karena tak selalu aku bersegera melakukan sesuatu, memberikan bantuan setiap kali melihat kesulitan orang lain di depanku. Astaghfirulloh!

Terima kasih Dika, Anto dan siapapun yang berada dibalik tayangan ini. Kalian telah membuka kesadaranku, memberiku pelajaran, mengingatkanku bahwa kesulitan mereka semestinya kesulitanku juga, derita mereka seharusnya deritaku juga. Insya Allah.

abisabila.blogspot.com