Surat cinta, barangkali ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebagian ( besar ) dari kita mungkin pernah mengirim atau menerima surat yang berisi kata-kata indah, ungkapan perasaan. Tapi pernahkah anda bayangkan bahwa suatu saat, di usianya yang masih belia, tiba-tiba anak kita mendapat atau berkirim surat cinta kepada teman sekelasnya? Terus terang, aku belum pernah membayangkan itu terjadi pada anakku. Tapi, apa yang diucapkan putri tunggalku malam itu sungguh benar-benar membuatku terkejut. Ia, putriku yang baru berusia 10 tahun dan duduk di kelas lima SD, mendapatkan sebuah surat dari teman sekelasnya.
Adalah si fulan, yang ‘nekad’ memberikan surat cinta pada putriku beberapa hari yang lalu. Tak tanggung-tanggung, dalam surat itu tertulis pula bahwa dia cinta mati dengan putriku.
Subhanallah! Astaghfirulloh! Aku gugup, aku bingung, kata mana yang lebih tepat kuucapkan saat itu.
Subhanallah, sungguh besar anugerah Mu ya Allah, bahkan anak yang belum bisa ( maaf ) membersihkan kotoran dari hidungnya sendiri bisa merasakan dan mengatakan cinta. Alangkah bahagianya mendengar putriku disukai teman sekelasnya. Tentu jika pilihannya adalah daripada dibenci teman-temannya. Tapi, bila cinta yang dimaksudkan adalah cinta seperti yang dirasakan orang dewasa, astaghfirulloh! rasanya ini terlalu cepat dari yang semestinya. Apalagi ada kata-kata cinta mati segala, sebuah jebakan syetan berkedok cinta. Satu kata ‘gombal’ yang seringkali membuat seseorang dengan sadar dan rela berbuat mungkar. Nauzubillah!
Anak kelas lima SD bilang cinta mati kepada putriku? Rasanya bagai dalam mimpi. Tapi sejauh ini aku percaya dengan kejujuran dan keluguan putriku. Tak harus kubaca sendiri, karena surat itu sudah dibuang oleh putriku sesaat setelah tahu isinya. Aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak menjadikan ini seolah masalah yang gawat meskipun juga bukan masalah sepele. Aku berusaha membuka kesempatan untuk berdialog yang luas dan dekat dengannya. Aku mencoba memposisikan diri seperti yang dia inginkan. Seperti teman sekolahnya, teman bermainnya, teman mengajinya, juga teman curhatnya, seperti yang pernah dia dapatkan dari almarhum ibunya.
Dari hasil dialog kami malam itu, aku cukup lega karena ternyata sejauh ini surat itu tidak membawa dampak negatif pada putriku. Sama seperti ucapan iseng teman-teman lainnya, surat itupun tak masuk ke hatinya. Satu pesan kutekankan padanya bahwa belajar jauh lebih penting untuk anak sekolah dan seusianya. Disukai atau dicintai teman-temannya adalah sesuatu yang harus disyukuri, dibanding dibenci dan dimusuhi. Tapi tentunya bukan cinta seperti yang diartikan, diucapkan atau dilakukan oleh orang dewasa. Belajar dan belajar, itu saja yang harus dipikirkannya. Ada begitu banyak cinta yang – insya Allah – akan dia dapatkan dariku, sepeninggal ibunya.
Belum hilang rasa terkejutku, seorang teman mengabarkan bahwa putra pertamanya yang kini duduk di kelas dua SMP mendapatkan surat cinta dari anak kelas lima SD. Yang lebih mengejutkan lagi, kedua orang tua anak ini bersahabat. Mereka sahabatku juga. Astaghfirulloh! Mengapa kabar mengejutkan ini terjadi dalam waktu yang berdekatan. Rasanya seperti sebuah drama. Ini bukan kebetulan, ada sebuah pelajaran besar yang harus diambil dari kejadian ini. Ini peringatan, perhatian yang Allah berikan kepada para orang tua, termasuk aku tentunya.
Bocah belia bicara cinta layaknya orang dewasa? Bagaimana ini bisa terjadi? Lingkungan. Lingkunganlah yang kerapkali menjadikan anak dewasa sebelum masanya. Juga kesalahan orang tua yang menganggap bahwa pendidikan anak adalah tugas dan tanggung jawab sekolah. Kesalahan mereka yang merasa telah sempurna menjalankan kewajiban setelah cukup memberi makan, pakaian, hiburan dan juga mainan. Juga orang tua yang menganggap televisi adalah teman terbaik untuk anak-anaknya, film dan sinetron adalah bimbingan terbaik bagi anak-anaknya, mainan dan media hiburan berteknologi canggih adalah hadiah terbaik bagi anak-anaknya.
Dengan dalih menyiapkan masa depan, sebagian orang tua menjadi lupa – atau mungkin melupakan -bahwa pendidikan anak dimulai dari dalam rumah, dan orang tualah guru pertama mereka. Dan meski anak sudah sekolah, pendidikan dan pengawasan orang tua di rumah harus terus dijalankan. Sayang, tanpa merasa khawatir akan mental dan moral sang anak, sebagian orang tua dengan sadar dan rela meninggalkan anak-anak belia mereka di rumah, bersama televisi dan seperangkat alat hiburan lainnya. Atau jika mereka terlalu kecil untuk sendiri, dititipkan kepada tetangga yang terkadang memiliki masalah sendiri dalam menjaga dan mendidik anak-anaknya.
Satu yang sering dijadikan tolak ukur para orang tua adalah nilai pelajaran dan raport sekolah. Bila bagus hasilnya, maka tenang dan puaslah hati mereka. Tidak salah namun juga tidak sepenuhnya benar. Nilai ulangan yang bagus, raport yang bagus tidaklah bisa dijadikan jaminan bahwa akhlak sang anak juga sebagus nilai pelajaran di sekolahnya. Tidak bisa dijadikan jaminan bahwa mental dan moral sang anak masihlah sehat seperti pertama mereka tinggalkan atau titipkan.
Tayangan sinetron di televisi, film-film di vcd atau dvd yang kerap mereka nikmati secara bebas ketika para orang tua sedang berkutat dengan pekerjaannya di kantor adalah bom waktu yang mengancam keselamatan mental dan moral anak-anak. Sayang, ada orang tua – entah karena terpaksa atau dengan suka rela – yang menganggap televisi, vcd atau dvd bisa dijaikan solusi untuk menghalangi sang anak keluar rumah. Tapi, apa yang dilihat sang anak, bagaimana efeknya, tidak semua orang tua memperhatikan atau menghawatirkan.
Belum lagi pergaulan di lingkungan tempat tinggal yang seringkali tak lagi menunjukan rasa malu apalagi takut untuk mengungkapkan perasaan cinta, bahkan melakukan perbuatan yang mengatas namakan cinta. Anak kecil melihat orang dewasa berpacaran adalah hal yang biasa. Orang dewasa bermesraan di depan anak kecil, tak lagi risih apalagi menganggap itu sebuah dosa. Dan salah satu efek yang terakhir kudengar adalah bahwa anakku mendapat surat cinta dari teman sekelasnya. Juga anak lelaki temanku yang mendapat surat cinta dari anak temanku lainnya, yang bukan saja masih duduk di kelas lima SD, tapi juga dia seorang anak perempuan. Astaghfirulloh, betapa mengerikan membayangkan masa depan mereka bila kita – para orang tua – terlalu dan selalu sibuk dengan persiapan masa depan sang anak, tetapi lupa bahwa kelalaian kita justru telah merusak sang anak bahkan dari masa sekarang.
Cinta adalah anugerah yang Allah berikan kepada makhluknya dengan pemahaman dan tingkatan yang berbeda. Cinta bagi hewan berbeda dengan cinta bagi manusia. Cinta dimata anak belia berbeda dengan cinta dimata orang dewasa, itu semestinya. Namun syetan telah menggoda sedemikian rupa sehingga kemudian terjadi seorang anak belia membicarakan cinta layaknya orang dewasa. Juga ada orang dewasa yang kehilangan kendali – layaknya anak belia yang belum bisa membedakan mana hitam dan mana putih – juga atas nama dan karena cinta.
Banyak hal besar dan menakjubkan berawal dari adanya rasa cinta. Juga banyak kehancuran, kebinasaan yang menghinakan, bermula dari cinta yang disalah arti dan gunakan. Cinta terindah adalah cinta yang dilakukan karena Allah, dengan mengingat Allah dan bertujuan meraih keridhoan Allah. Cinta yang seperti ini akan tepat kapan diungkapkan, kepada siapa dan dengan cara seperti apa karena agama telah mengaturnya dengan begitu indah, begitu sempurna.
Apa yang terjadi dengan anak-anak pada cerita di atas bukanlah synopsis sebuah sinetron yang barangkali setiap hari anda nikmati. Ini terjadi di dunia nyata. Syetan telah sukses membawa kehidupan sinetron dalam kehidupan nyata anak-anak. Sayangnya – dan sudah menjadi tabiat syetan – hanya keburukanlah yang mereka tularkan. Dan kejadian ini bukan saja harus menjadi perhatian kami, tapi juga peringatan bagi semua orang tua, bahwa anak-anak kita yang masih belia – juga yang sudah menginjak masa remaja – sangatlah perlu untuk terus kita pantau pergaulan dan pendidikannya. Jangan akrabkan mereka dengan kehidupan di layar kaca, tapi malah asing dengan keluarga di dunia nyata. Jika mereka – dalam sinetron – terhina karena cinta, itu hanya peran. Diluar sinetron mereka mungkin baik-baik saja. Tapi, bila ada anak atau anggota keluarga kita yang hancur dan terhina karena cinta – yang disalah arti dan gunakan -, bukan saja sekarang akan terlihat akibatnya, tapi juga hingga akhirat akan menanggung balasannya. Astaghfirulloh! Nauzubillah!
Mari kita lindungi keluarga kita, lingkungan kita dan generasi penerus kita dari perangkap syetan yang berkedok cinta. Ini bukan karena sebuah kepanikan, tapi ini sebuah kenyataan. Pikiran kanak-kanak mereka sudah teracuni hal-hal yang sebenarnya berawal dari kelalaian, kecerobohan atau ketidak pedulian orang-orang disekitarnya. Mari lindungi anak-anak kita, berikan perhatian lebih pada kesehatan dan keselamatan moral serta mental mereka. Jangan matikan fitrah mereka akan rasa cinta, tapi bimbing, arahkan, dan kendalikan.
http://abisabila.blogspot.com