Bukan Itu Yang Kumau

“Kami berteman cukup lama. Bahkan, kedekatan kami sudah seperti saudara”

Rasanya, kita –saya dan anda– memiliki pendapat yang sama, sebuah nilai plus bagi mereka yang bisa melakukan, menjaga persahabatan layaknya saudara.

Kami selalu berbagi. Apa yang aku rasa, diapun merasakannya. Begitupun sebaliknya

Kembali kitapun sepakat, bahwa kita ingin menjalani persahabatan seperti mereka. Bersama, berbagi dalam suka maupun duka.

Tapi akankah anda tetap ingin seperti mereka, setelah mereka menjelaskan ‘berbagi rasa’ yang mereka maksudkan? Sepertinya yang akan terjadi justru sebaliknya.

Bagaimana mungkin kita ingin seperti mereka, bila kebersamaan mereka ternyata dalam ‘segala’ hal, di luar yang kita bayangkan.

Kami pulang lewat tengah malam. ‘Alhamdulillah’ rejekiku sedang lancar, giliranku mentraktir teman-teman. Tapi payah, baru beberapa gelas mereka sudah mabuk! Tidak seperti minggu kemarin, waktu si xx yang bayarin, sampai habis lima gelas mereka masih bisa joget-joget dengan penyanyi yang seksi-seksi itu!

Astaghfirulloh! Inilah kebersamaan yang mereka maksudkan. Jika salah satu dari mereka mendapatkan rejeki, bersama mereka nikmati di tempat hiburan, mabuk-mabukan dan memuaskan nafsu bejat mereka. Naudzubillah!

**

Manusia adalah makhluk sosial, saya tahu itu. Saya menyadari bahwa saya tak bisa hidup sendiri. Saya butuh keluarga, tetangga, sahabat, kerebat, pasangan dan juga teman. Tapi teman seperti apa yang saya inginkan? Tentu saja bukan teman seperti itu yang saya mau.

Saya menginginkan teman yang ada saat suka maupun duka, bukan teman yang ada hanya saat suka tapi menghilang ketika duka melanda. Saya menginginkan teman yang merasa saling membutuhkan, bukan teman yang hadir saat dia butuh dan berlalu saat saya membutuhkannya. Saya menginginkan teman yang berani meluruskan bila saya keliru. Mengingatkan ketika saya lupa, melarang ketika saya salah melangkah, bukan membiarkan saya tersesat atau bahkan mengajak untuk bermaksiat. Dan, sayapun ingin menjadi yang seperti itu untuk teman-teman saya. Bukan seia sekata, seiring sejalan dalam ‘segala hal’, termasuk bermaksiat kepada Allah SWT.

Tak ingin karena alasan persahabatan, muncul rasa tak enak hati untuk mengingatkan teman yang terlena tipu daya dunia. Jangan karena alasan kedekatan, lalu tak berani melarang teman yang mulai menyimpang jalan. Jangan karena alasan kebersamaan, kemanapun dan apapun yang mereka inginkan, kitapun meng iya kan. Kemanapun mereka pergi, kita ikuti. Di manapun mereka berada, di situpun kita ada. Tak peduli bermaksiat sekalipun, asalkan tetap bersama-sama. Bukan, bukan teman seperti itu yang kumau.

Manusia tidaklah sempurna, pernah lupa, pernah khilaf dan mempunyai berbagai kekurangan lainnya. Sayapun mengakui hal itu. Barangkali apa yang saya harapkan dari seorang teman terlalu berlebihan, terutama bila dibandingkan dengan apa yang bisa saya lakukan dan berikan. Bukan bermaksud untuk mencari keuntungan, tapi memilah dan memilih teman adalah sebuah keharusan. Berapa banyak fakta di lapangan, orang-orang jauh dari agama, dari keluarga karena salah memilih teman dan pergaulan. Banyak orang-orang terjerumus ke lembah dosa bermula dari rasa setia kawan dan solidaritas yang membabi buta.

Sudah semestinya bahwa sebagai saudara, tetangga, sahabat, kerabat, pasangan maupun sebagai teman, kita saling mengingatkan, menguatkan dan mendoakan. Karena kita tak luput dari khilaf dan lupa, tak lepas dari salah dan dosa, maka kita butuh untuk diingatkan. Karena kita lemah, karena ada kekurangan dibalik kelebihan yang kita miliki, maka kita butuh dukungan dan juga bantuan. Karena iman di dada sering naik turun, karena hati kita sering berubah tak pasti, maka kita perlu saling mendoakan.

Ya Allah, aku mohon dekatkanlah aku dengan segala sesuatu yang bisa mendekatkanku kepada Mu. Termasuk orang-orang yang dekat dengan Mu. Dan jauhkanlah aku dari segala sesuatu yang bisa menjauhkanku dari Mu. Termasuk orang-orang yang jauh dari Mu. Amin, Ya Rabb.

http://abisabila.blogspot.com