Tak ada pilihan lain, kecuali harus segera pindah. Ali sudah mantap dengan keputusannya. Tak apalah harus repot, dua kali pindah kontrakan dalam sebulan, dari pada bertahan dalam ketidaknyamanan, bahkan rasa berdosa yang berkelanjutan.
Semua berawal dari obrolan dengan salah satu tetangga kontrakan, saat mereka sedang beristirahat usai kerja bakti di Minggu pagi. Ali yang baru dua minggu pindah merasa heran dengan listrik di kontrakan mereka yang tak pernah turun meski mereka memasak nasi menggunakan rice cooker dalam waktu yang bersamaan, sementara kulkas dan televisi tetap menyala. Bahkan, dalam waktu bersamaan pula, ada yang sedang menyeterika. Normalnya, menurut perhitungan Ali, daya listrik 900 VA tidak akan kuat menanggung pemakaian sebesar itu dalam waktu bersamaan. Seperti yang terjadi di tetangga mereka, seringkali turun ketika dua orang memasak nasi atau menyetrika dalam waktu yang bersamaan.
Apa yang Ali dengar sungguh sangat mengejutkan. Ada seseorang yang dengan sengaja menambahkan instalasi listrik di kontrakan mereka sehingga berapapun besar pemakaian, bukan saja listrik tak pernah turun tapi juga tagihan bulanan mereka tetap rendah. Astaghfirulloh!
Bukan omong kosong, apa yang dikatakan sang tetangga ternyata benar adanya. Sore harinya, Ali melihat ada beberapa kabel tambahan yang disembunyikan sedemikian rupa sehingga tak akan terlihat kecuali petugas PLN melakukan inspeksi secara mendetail. Selama ini Ali tak pernah tahu hingga sang tetangga menunjukan instalasi tambahan itu padanya.
Sebelum memutuskan untuk segera pindah, Ali berusaha mengingatkan ketiga tetangga kamar kontrakannya bahwa penambahan instalasi listrik secara ilegal, bukan saja sebuah pencurian tapi juga sangat berbahaya. Bila sampai ketahuan pihak PLN, listrik mereka terancam akan dicabut, dikenakan denda, diperkarakan hukum hingga dipenjara, atau malah mungkin ketiga-tiganya. Belum lagi bahaya kebakaran akibat pemasangan instalasi yang tidak benar dan melebihi batas maksimal pemakaian.
Sayang, usaha Ali untuk menyadarkan tetangganya berakhir sia-sia. Mereka merasa aman dan nyaman-nyaman saja. Bahkan sudah bertahun-tahun lamanya mereka menikmati semua ini tanpa pernah menyadari bahwa mereka telah mencuri. Bukan mereka yang melakukan, tapi sang pemilik kontrakanlah yang harus bertanggung jawab, karena dia yang menyuruh seseorang memasang instalasi tambahan, begitu mereka beralasan.
Gagal menyadarkan para tetangga, Ali mencoba mendatangi pemilik kontrakan. Hasilnya sebelas dua belas, tak jauh berbeda. Dengan santai, pemilik kontrakan mengatakan bahwa apa yang dia lakukan tidak seberapa dibandingkan dengan pencurian yang dilakukan oleh bos-bos di PLN sana. Menurutnya, korupsi yang mereka lakukan jauh lebih besar, jumlahnya sampai milyaran, sedangkan ia hanya mengambil sedikit keuntungan. Tidak gratis-gratis amat, setiap bulannya mereka tetap membayar tagihan.
Ali tak mau berdebat soal korupsi yang ( mungkin ) terjadi di tubuh PLN, seperti yang dikatakan pemilik kontrakan. Pertama, Ali – bahkan juga sang pemilik kontrakan – tidak memiliki bukti-bukti kuat tentang hal ini, kecuali sekedar prasangka atau mendengar berita di tivi saja. Kedua, kalaupun itu benar terjadi, haruskah kita melakukan hal yang sama dengan yang kita benci?
Apakah ada bedanya, ketika orang lain korupsi lalu kita membalasnya dengan mencuri? Berapapun jumlahnya, apapun alasannya jelas korupsi tidak bisa dibenarkan baik dari sudut pandang agama maupun negara. Ketika kemungkaran terjadi, hanya satu kewajiban kita yaitu mencegahnya, baik dengan tangan, lisan atau selemah-lemahnya dengan hati.
Kalau kita tidak mempunyai kekuatan ataupun kekuasaan untuk mencegah terjadinya kemungkaran – karena justru yang melakukan adalah mereka yang berkuasa – maka kita bisa mencegahnya dengan lisan. Sayang, berbagai aksi demonstrasi, unjuk rasa telah dilakukan, tetap saja korupsi terus terjadi bahkan semakin berkembang baik jumlah, pelaku maupun motif dan modus operasinya. Dan pilihan terakhir adalah kita mencegah dengan hati, bahwa kita tidak pernah ridho dengan kemungkaran itu, serta kita mendoakan agar para pelakunya segera sadar dan meninggalkan semua kemungkaran yang telah mereka lakukan. Bukan dengan cara ikut-ikutan korupsi. Kalau begitu caranya, apa bedanya kita dengan mereka, kecuali mungkin jumlah dan caranya saja.
Gagal membujuk tetangga, tak berhasil menyadarkan pemilik kontrakan, maka tak ada alasan lain untuk Ali tetap bertahan. Ia pindah dari kontrakan sebelumnya karena masalah air dan listrik yang tidak memadai sehingga beberapa peralatan elektroniknya sering rusak. Memamg dua masalah tersebut teratasi di kontrakan ini, tapi sayangnya listrik yang mereka gunakan tidak seratus persen halal.
Bagaimana bacaan Al Qurannya akan Allah terima bila lampu penerangan yang ia gunakan, listriknya ternyata mencuri. Bagaimana sholatnya akan Allah terima bila air yang ia gunakan untuk mandi dan berwudhu diambil dari dalam bumi menggunakan mesin, yang listriknya juga mencuri. Bagaimana ibadahnya akan Allah terima bila nasi yang ia makan, air yang ia minum dimasak menggunakan listrik, yang lagi-lagi mencuri. Astaghfirulloh!
Ali benar-benar menyesal pindah ke kontrakan ini. Mengapa ia tak meneliti sebelum dulu memutuskan pindah. Ah, semua sudah terlanjur. Yang terpenting adalah sekarang ia harus segera mencari kontrakan baru. Ia berharap tetangganya akan menyadari semua kesalahan ini. Kalaupun tidak sekarang, tapi suatu saat nanti. Juga pemilik kontrakan, kalaupun benar ada pejabat PLN yang korupsi seperti yang ia katakan, biarlah itu menjadi tanggung jawab mereka baik di dunia maupun akirat kelak. Jangan sampai kita membenci, tapi justru mengikuti langkahnya. Kalau mereka korupsi lalu kitapun mencuri, dimanakah beda antara kita dengan mereka?