“Kenapa terlambat datang!” Tanyaku pada Ani ( nama samaran ). Dia adalah seorang pelajar kelas 2 Tsanawiyah. Aku memberikannya pekerjaan part time setelah pulang dari sekolah. Biasanya datang menjelang sholat Ashar.
Aku memberikannya sebuah pekerjaan sekaligus kegiatan, agar dia mampu membiayai kebutuhanannya sebagai seorang gadis yang mulai tumbuh. Aku ingin mengajarkan padanya, bagaimana kita harus berusaha untuk mendapatkan imbalan tanpa harus dikasihani. Aku ingin dia mengerti arti sebuah “harga diri”
Harga diri untuk tidak meminta-minta kepada orang lain, harga diri kepada temannya di sekolah, karena punya penghasilan sendiri. Dia akan mampu membeli sepatu, baju maupun pulsa telpon yang sekarang menjadi kebutuhan utama setiap orang.
Pada jaman yang serba susah ini, anak-anak remaja banyak yang ingin berpenampilan “wah” seperti film sinetron yang mereka tonton setiap harinya. Bila orangtua tak mampu memenuhi “hasrat” mereka dalam berbusana, maka di khawatirkan mereka akan mencari jalan pintas. Misalnya : Mengencani laki-laki hidung belang! Gawat khan?!
“Habis, teman-teman di kelas yang dibicarakan hanya pacar…Sementara aku bagaimana? Khan malu nggak punya pacar!” Dengan ringannya dia berargumentasi untuk membenarkan dirinya memiliki seorang pacar.
“Untuk refreshing, khan enak ada yang diajak curhat! Ibuku bila diajak ngobrol selalu nggak boleh inilah, nggak boleh itulah. Ibuku kuno nggak ngerti jaman sekarang!” Ketika aku menanyakan mengapa dia melakukan pacaran, padahal dia adalah siswi sekolah yang berbasis Islam.
“Tahu sih tahu, tante! Tapi mau bagaimana lagi?” Aku juga ingin buktikan ke teman-temanku bahwa aku juga laku dilirik cowok!” Aku menanyakan padanya apakah dia tidak tahu hukum Islam, lawan jenis tidak boleh bekhalwat.
“Malah teman-teman banyak yang nggak suci lagi. Supaya pacarnya nggak nignggalin dirinya!?” Ha… aku terhenyak! Segitu parahnya saat ini. Bisa di bilang kota ini adalah kota yang kecil. Tapi… Astagfirullah! Aku tidak membayangkan begitu “dahsyatnya” kerusakan moral pada generasi penerus sekarang ini.
Aku merasa dilahirkan dari jaman “batu”, dan tidak bisa berucap apapun. Bibirku kelu. Otakku sepertinya “stuck”. Memori di kepala lenyap, angin yang menyentuh kulitku di sore itu serasa api yang membakar hatiku. Aku ingin berteriak! Marah! Aku ingin…
Aku tidak punya cukup stock kata-kata yang arif, akhirnya aku hanya…diam!
Untuk beberapa hari komunikasi dengan Ani agak tersendat. Aku tidak bisa memulai pembicaraan secara normal setelah tahu bagaiman karakter gadis ini.
Sebelumnya, aku mengenalnya sebagai gadis yang polos. Tapi karena kepolosan dan kekurangan wawasannya tentang apa arti hidup ini, maka dia mudah sekali untuk dipengaruhi lingkungannya.
Dia sebenarnya gadis yang baik. Ani adalah anak pertama di keluarganya. Di usia yang belum sekolah dia sudah bisa memasak nasi, sayur bening dan menjaga adiknya di ayunan.
Hidupnya penuh tuntutan yang berat. Keluarganya termasuk keluarga pra sejahtera. Sementara orangtuanya tidak memiliki “kamus” untuk menjarangkan kelahiran anak. Adik-adiknya dilahirkan dalam ururtan bilangan. Adiknya bertambah dua untuk masa setiap 3 tahun Aku juga kurang tahu berapa jumlah mereka bersaudara. Orangtuanya jarang keluar dari rumah untuk bersilaturrahim dengan tetangga. Malu katanya!
Ani dibesarkan dengan banyak beban tanpa pendidikan moral dan agama yang cukup. Jika hari minggu, dia seringkali bangun paling cepat jam 9 pagi. Itu pun tanpa sholat subuh.
“Aku kesiangan tante! Aku nggak sempat sholat!” Begitulah dia beralasan. Hari Minggu pagi, dia harus tetap datang ke rumahku. Aku ingin dia bangun lebih pagi dan bisa selalu mengajaknya berbincang-bincang secara terbuka. Dia tak segan berbicara apapun denganku.
Sejujurnya, aku mencemaskan anakku yang akan lulus sekolah dasar. Ada ketakutan dalam diriku. Aku takut dia mempunyai teman yang salah arah dan mempengaruhi pola pikir yang selama ini aku tanamkan sejak dini padanya. Kata orang sih, anak ABG akan lebih percaya pada teman dari orangtuanya sendiri.
Karena alasan itulah, aku selalu berusaha berbincang dari hati ke hati. Apapun kegiatan yang dilakukannya, aku harus mengetahuinya. Untuk urusan keluar rumah dan sholat, aku punya management sendiri.
Untuk semua kecemasan yang kadang datang menghampiriku, maka tidak ada yang dapat ku perbuat selain memperbanyak sujud pada-Nya.
Firman Allah dalam Al-Qur’an : “Jadikanlah sholat dan sabar sebagai pegangan hidupmu!”
Setiap ada kesempatan aku akan memintanya curhat tentang apapun yang dirasakannya. Kelihatannya anakku itu sangat percaya padaku. Aku selalu berdo’a kepada Allah semoga dia menjadi anak yang punya prinsip ke Islaman yang kuat. Amin!
Penanaman mental dan akidah memang harus dimulai dari kecil. Dalam kandungan pun kita harus memberikannya pelajaran. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya : Banyak sholat sunnah : Mengaji : Bersedekah dan lainnya. Setiap aktifitas yang akan kita lakukan haruslah kita komunikasikan pada anak yang masih kita kandung.
Begitu pun setelah lahir, bila memungkinkan banyaklah memutarkan kaset yang berisi pengajian. Tapi jangan lupa, orangtuanyalah faktor terpenting menjadi suri tauladan. Bagaiamana mau menyuruh anak sholat? Bila orangtuanya tidak sholat! Bagaimana mau menyuruh anaknya mengaji, sementara dia sendiri tidak tahu membaca Al-Qur’an. Jadilah orangtua yang dapat dijadikan teladan oleh anak-anak kita.
Setelah semua usaha telah kita lakukan, jangan lupa di dampingi sebuah do’a. Karena do’a adalah hal yang paling urgent dalam hidup ini. Do’a adalah kekuatan ibadah. Berdo’a kepada Allah, menandakan kita menyadari bahwa diri kita tak punya kemampuan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik.
Firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an : “Mintalah kepadaku, niscaya aku akan mengabulkannya!”
Jika kita sudah berikhtiar secara istiqomah dan berdo’a, untuk hasil akhirnya tentunya harus kita serahkan kepada pemilik alam semesta ini. Sesuai dengan rukun Iman yang keenam, iman kepada takdir baik dan takdir buruk yang ditentukan oleh-Nya.
Sengata, 11 maret 2009
Halimah ( Anggota FLP Cab. Sengata )
[email protected]