Sudah tengah malam. Udara dingin bukan main. Hujan rintik-rintik mulai turun. Menurut ramalan BMG (ramalan yang kayak begini ini tidak haram lho), curah hujan di bulan Januari sampai Februari ini sangat tinggi, di atas rata-rata. Kupacu motorku agar segera bisa tiba di rumah. Jalanan hampir sepenuhnya sepi. Siapa yang masih doyan keluyuran tengah malam begini? Tapi aku men-syukuri saja tugas pulang malam begini. Toh situasi masih bisa lebih buruk. Ban motorku pecah, misalnya. Tapi sekarang semuanya lancar. Allah memberiku motor yang sehat, kondisi tubuh yang baik, dan pekerjaan yang halal. Apalagi yang kurang? Jaketku pun tebal.
Gerbang kompleks segera kulewati. Tiba di jalan di depan Masjid, kukurangi kecepatan. Tampak sesosok tubuh berjalan perlahan-lahan. Tangannya memegang tongkat, meraba-raba medan di depannya. Tak ada makhluk hidup lain di jalan itu, kecuali kucing-kucing yang kedinginan, merapat dekat tong sampah. Jalanan kompleks yang setiap pagi ramai dengan mobil mulus, malam ini senyap.
Kuhentikan motor tepat di sampingnya, tak salah lagi, kukenal baik pria ini.
”Papa Ridho, ikut!” Ajakku antusias.
”Eh, Abi ya?” tanyanya.
Luar biasa. Meski tuna netra, namun pendengarannya memiliki tingkat presisi yang tajam. Dengan mudah ia mengenaliku hanya dari suara sapaanku.
”Kok baru pulang, malam-malam begini?” tanyaku, ketika ia sudah duduk nyaman di boncengan motorku.
”Memang biasanya juga jam segini, Abi,” katanya, ”Abi sendiri baru pulang nih?”
”Ya, sekali-sekali lembur,” jawabku sambil tersenyum. Jadi beliau ini biasa pulang malam? Aku baru tahu. Kalau aku, sekali-sekali saja pulang malamnya, dan sudah merasa menjadi pahlawan.
Oya, kebanyakan tetanggaku memang memanggilku Abi. Terutama mereka yang menyekolahkan anaknya di rumahku. Aku – tepatnya istriku – memang membuka TK. Kami memanfaatkan garasi yang lebih sering kosong. Papa Ridho (dalam bahasa Arab mungkin dipanggil Abu Ridho ya?) menyekolahkan Ridho – anaknya – di sekolah kami yang kecil namun asri. Ridho dan teman-teman TK-nya memanggilku Abi, sebagaimana mereka memanggil istriku yang menjadi kepala sekolah dengan sebutan Umi. Panggilan ini menular. Para orang tua pun akhirnya ikut-ikutan memanggilku Abi. Termasuk papa Ridho dan mama Ridho yang juga tuna netra.
”Sudah beberapa hari ini sepi nih Bi,” ujar Papa Ridho, ”Mungkin karena hujan ya?” ia melanjutkan sendiri.
”Memangnya Papa Ridho biasa mangkal di mana?” Tanyaku.
”Yaa keliling-keliling kompleks aja Abi. Siapa tahu ada yang manggil. Kadang-kadang juga ada yang nelpon ke HP, minta dipijit. Ini biasanya yang udah langganan …”
Kami melewati pintu keluar kompleks, memasuki daerah perkampungan. Ketika melewati rumahku, sengaja aku tak berhenti.
”Lho, rumah Abi bukannya udah kelewat?” tanyanya ragu, ”Saya turun di sini aja!”
”Gak usah lah, tanggung, biar saya anter.”
”Eh, makasih ya bii ..”
Kami berhenti di jalan setapak yang becek, di depan rumahnya.
* * * * *
Seingatku, hampir setiap Ashar, saat aku berkesempatan sholat Ashar di Musholla pinggir kompleks, aku bertemu Papa Ridho. Beliau selalu berjalan hati-hati. Apalagi setiap kali hendak memasuki gerbang Musholla. Tak boleh meleset jika tak ingin masuk selokan. Ia selalu meletakkan sendal di tempat yang sama. Tentu untuk memudahkan mencarinya lagi. Pernah suatu ketika anakku berbaik hati merapikan letak sandal-sandal. Seusai sholat, Papa Ridho kebingungan mencari-cari sendalnya.
Ia akrab dengan Ustadz Idang, marbot sekaligus muadzin sekaligus Imam di Musholla tersebut. Pernah aku mendapati Papa Ridho sedang meralat hapalan surat Ar Rahman Ustadz Idang. Aku benar-benar dibuat heran! Subhanallah!
Sekarang aku baru menyadari, bahwa singgahnya ia untuk sholat Ashar adalah mengawali aktifitasnya untuk mencari rizki. Suatu yang cara yang ideal untuk mengawali hari mencari rizki. Semangatnya untuk memakmurkan Masjid mengingatkanku pada sahabat nabi, Abdullah bin Ummu Maktum.
Semangatnya mencari rizki agaknya seiring dengan semangatnya untuk mandiri.
Berbulan-bulan yang lalu, saat baru pertama kali mendaftar di sekolah kami, sempat ada ’konflik’ kecil antara TU sekolah dengan Papa Ridho. Ceritanya, sebagaimana kebijakan pihak sekolah, beberapa orang tua yang kami anggap kurang mampu, kami bebaskan biaya sekolahnya. Ridho termasuk kategori ini. Jadi berita baik ini kami sampaikan secara baik-baik pula ke Mama Ridho. Mama Ridho menjawab dengan singkat bahwa ia akan ”Tanya dulu ke bapaknya ya …”
Esoknya, Mama Ridho kembali dengan membawa berita bahwa Papa Ridho keberatan dengan pembebasan uang sekolah ini. ”Kita masih sanggup kok,” katanya.
Kami terpana.
Di tengah negeri yang memiliki begitu banyak anggota dewan yang sudah kaya namun masih minta dimanjakan dengan berbagai fasilitas, ternyata ada pasangan tuna netra yang begitu menjaga harga diri. Kami kaget, tapi tidak menyerah. Kami pun rapat. Aku menyarankan istriku untuk menawarkan kembali, tapi kali ini disertai dengan penjelasan bahwa bukan hanya Ridho yang mendapatkan fasilitas tersebut.
Setelah disampaikan, berhari-hari tidak ada jawaban. Namun akhirnya Mama Ridho tiba dengan penjelasan bahwa ”Bapaknya sudah mau, tapi separo aja ya …”
Aneh, lucu, dan entah apa lagi. Kok ada beasiswa minta didiscount begitu. Kami geleng-geleng kepala.
Di sekolah kami, para orang tua kami biasakan untuk menabung setiap hari. Tujuannya, agar setiap bulannya kami mudah menagih SPP, yaitu cukup dengan memotong uang tabungan. Bagi orang kecil dengan profesi tukang pijit keliling, tukang cuci, tukang becak, tukang ojek, yang penghasilannya harian, cara ini efektif untuk menjaga cash flow sekolah kecil kami. Para orang tua ini pun umumnya rajin menabung.
”Kalau dipegang di rumah, takut kepake!” Demikian alasan mereka.
Nah, Papa Ridho termasuk mereka yang rajin tersebut. Walau dikenai biaya sekolah hanya separuhnya, ia termasuk rajin menabung. Tabungannya malah bisa untuk membayar SPP berbulan-bulan. Setelah kami selidiki, ternyata Papa Ridho dan orang tua lainnya sengaja menabung banyak-banyak untuk persiapan masuk SD.
”Katanya sih sudah gratis, tapi buku-bukunya kan bayar!” kata mereka. Rupanya mereka juga sudah melakukan riset kecil-kecilan.
sabruljamil.multiply.com