Kemarin malam (Kamis dinihari pagi), saya berkesempatan lagi “menyolati” bulan. Beruntung sekali, saya berteman dengan orang-orang yang masih menaruh minat menegakkan sunnah Rasul ketika gerhana terjadi. Sejak sore hari, beberapa sms masuk ke HP saya mengingatkan “dini hari nanti, gerhana bulan total. Jangan lupa, solat gerhana, khutbah, berdo’a dan sedekah”. Beruntung, saya sedikit tahu dari kitab-kitab fiqih bahwa saat gerhana terjadi ada kaifiah menyikapinya. Lebih beruntung, bergaul rapat dengan komunitas yang selalu menginstruksikan agar melaksanakan shalat gerhana sesuai tuntunan Rasulullah shallaaahu ‘alayhi wa sallam.
Dengan tidak bermaksud mengecilkan, sholat gerhana termasuk sunnah yang sering terlewatkan oleh mayoritas muslimin. Saya berani bertaruh, tidak ada antusiasme sebesar tradisi nisyfu Sya’ban, maulid, Isr’a wal Mi’raj, nujuh bulan atau haul dan peringatan kematian. Padahal, Rasulullah shallaaahu ‘alayhi wa sallam sangat tegas mengajarkan ummatnya soal gerhana. Maka tidaklah mengherankan, meskipun berita tentang akan terjadi gerhana bulan total kemarin itu tersebar luas di media, ummat terkesan adem ayem saja. Begitu juga halnya imbauan untuk melakukan solat gerhana.
Memang, ibadah bersifat sangat pribadi dan bukan untuk dibangga-banggakan. Tetapi mengajak dan mengingatkan sesama muslim, “Ini loh, ada sunnah Nabi yang perlu dihidupkan. Sunnah yang jarang-jarang bisa dilaksanakan karena harus menunggu gerhana dulu”, harus pula dipahami sebagai seruan amar ma’ruf. Begitulah, menegakkan sunnah ada yang ringan, sedang dan berat. Sholat gerhana, rasanya memang tidak seringan menebarkan salam.
Biasanya, para ilmuan, astronom, ahli hisab atau pemerhati gejala alam tidak akan melewatkan momentum gerhana. Sejak mula detik pertama gerhana terjadi, dicatat dan diamati sampai gerhana berakhir. Apa hasilnya dari pengamatan itu? Mereka bisa memprediksi kapan gerhana akan terjadi kembali. Dan biasanya, seperti gerhana bulan total kemarin malam itu, prediksi itu akurat. Artinya, gejala alam seperti gerhana bulan atau matahari, bisa diprediksi kapan terjadi. Dan berulangkali prediksi itu tepat. Kita lihat saja, menurut para ahli, gerhana bulan akan terjadi lagi pada 11 Desember 2011 nanti. Kita tunggu.
Ketepatan dan akurasi soal kapan terjadi gerhana memang memungkinkan. Sebab peredaran matahari dan bulan ternyata bisa dihitung. Posisi matahari dan bulan sudah bisa ditentukan dengan perhitungan (hisab) dari waktu ke waktu. Apalagi dibantu dengan teknologi maju seperti sekarang.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (terjemah QS. Yunus [10] : 5)
Gerhana bulan itu terjadi saat purnama. Ia bisa dihisab dan sudah pasti bisa diru’yat jika cuaca cerah. Artinya, gerhana bulan yang pasti bisa diru’yat itu, sebelumnya sudah dihitung lebih dulu oleh metode hisab. Di sini, seolah tidak ada pertentangan soal hisab dan ru’yat. Pertentangan keduanya baru hangat lagi saat penentuan awal bulan, baik untuk 1 Ramadhan atau 1 Syawwal. Saya berpikir, jika perhitungan hisab dalam kasus gerhana itu akurat, mengapa hisab sering diperdebatkan saat penentuan awal bulan? Allahu a’lam. Ah, bisa jadi karena saya bukan sama sekali ahli bidang itu.
Pada masa Nabi, gerhana dan solat gerhana itu karena spontanitas. Saat ada gerhana, spontan nabi mengajak para sahabat untuk melaksanakan solat gerhana. Lha sekarang, saya kira solat gerhana itu bisa direncanakan. Mengapa? Karena dengan hisab dan teknologi, perhitungan mengenai matahari dan bulan dan kapan terjadi gerhana, sudah diprediksi sebelumnya. Mudah bukan? Di satu sisi, dengan kemajuan teknologi ini, sebenarnya kita dimanjakan untuk melaksanakan sunnah. Tapi rupanya kemudahan itu belum disadari merata kehadirannya. Yang terasa tidak elok, adalah sikap yang seolah meremehkan, “Ah …, itu kan hanya sunnah. Masih banyak sunnah-sunnah yang lain kok”. Kok?
Menyaksikan gerhana bagi seorang muslim, bukan sebatas menyaksikan keajaiban alam semesta sebagaimana layaknya kekaguman para saintis. Tetapi bagaimana kemudian ketakjuban itu diarahkan pada ke-Maha Agungan Allah atas segala ciptaan-Nya. Dia yang Menciptakan. Dia Yang Memelihara. Dia Yang Mengatur. Dan Dia pula Yang Menghancurkan. Wajarlah jika kemudian Rasulullah mengajarkan ummatnya bagaimana cara yang hanif saat mereka disapa gerhana. Maka solat gerhana, memanjatkan doa dan banyak bersedekah, merupakan kombinasi dari ketakjuban atas Kuasa-Nya, rasa takut, tunduk dan patuh serta rasa syukur yang membuncah. Sungguh, sunnah Rasululah itu indah dan manusiawi.
Jika saintis sebatas kagum, lain halnya dengan si otak tahyul. Oleh mereka gerhana dihubung-hubungkan dengan misitisisme irasional. Konon saat gerhana, gelap adalah keadaan di mana matahari atau bulan sedang ditelan raksasa. Supaya raksasa itu gagal menelan benda langit itu, dipukullah lesung, alu, perabot rumah, kaleng rombeng untuk menimbulkan suasana gaduh dan bising. Karena suasana gaduh dan bising itulah, sang raksasa terganggu dan memuntahkan kembali matahari atau bulan yang berada di mulut raksasa. Selamatlah bulan atau matahari. Dan dunia terang kembali setelah beberapa waktu diselimuti gelap.
Aroma mistik gerhana juga merambah ke atas ranjang. Entah siapa yang memulai, sepasang suami isteri berpantang melakukan hubungan badan saat ada gerhana. Mereka khawatir jika terjadi pembuahan karena hubungan itu, wajah anak mereka kelak akan dwi warna; separuh cemong, separuhnya lagi cerah bercahaya. Tak pelak, wanita-wanita hamil pun blingsatan masuk ke kolong bale-bale sebab khawatir bayinya kelak separuh hitam separuh putih.
Masyarakat Indian percaya, Naga lah yang menelan bulan atau matahari itu. Maka mereka melakukan ritual berendam di air sebatas leher agar sang Naga gagal menelan bulan dan matahari itu.
Masyarakat negeri Sakura percaya, saat gerhana dan gelap menyelimuti, racun tengah disebar di atas muka bumi. Maka mereka segera menutup rapat-rapat sumur-sumur dan sumber air mereka agar tak tercemar oleh racun itu. Demikian pula masyarakat Eropa, masyarakat yang dikenal rasional itu tidak luput dari balutan tayahul saat gerhana terjadi.
Pada masa Nabi, bau-bau tahayul dan mistis saat gerhana juga sudah tercium. Beberapa riwayat menyebutkan, satu kali terjadi gerhana matahari berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah shallaahu ‘aliyhi wa sallam; Ibrahim pada sekitar tahun ke-10 H. Masyarakat ribut dan menghubung-hubungkan kejadian gerhana disebabkan karena putra Nabi wafat. Berita ini sampai ke telinga Nabi dan segera beliau meluruskan sisa-sisa kepercayaan jahiliyah itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dinyatakan, telah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi berdiri, khawatir terjadi kiamat, terus berangkat ke masjid, lantas Nabi berdiri, ruku’ dan sujud yang lama, tidak pernah sebelumnya aku melihat seperti itu, Dan Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda kebesaran Allah dan yang Dia kirimkan ini bukanlah karena kematian atau hidupnya seseorang, namun dengannya Allah hendak menakuti hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu jika kamu melhat gerhana itu, maka segeralah kamu menyebut nama-Nya, berdo’a kepada-Nya, dan mohon ampun kepada-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).
Demikian pula yang dilaporkan Ibnu Abbas. Sesaat masyarakat ribut menghubung-hubungkan kematian Ibrahim dengan penomena gerhana, Rasulullah segera bertindak membersihkan pikiran tahayul dari isi kepala dan hati mereka. Ibnu Abbas melaporkan:
“Kemudian Nabi berdiri, lalu memberikan khutbah kepada hadirin dan memuji kepada Allah dengan semestinya. Lalu katanya,” Matahari dan bulan adalah dua macam tanda dari sekian banyak ayat-ayat Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan bukanlah karena mati atau hidupnya sesorang. Karena itu, jika kamu melihatnya, segeralah mengerjakan shalat”. (HR. Syaikhani).
Sekali seumur hidup, jangan sampai lengah. Masa, sekali pun belum pernah ikutan solat gerhana?
Solat gerhana itu hanya dua rokaat. Setiap rokaat dua kali baca Al-Fatihah, dua kali baca surah, dua kali ruku dan dua kali sujud. Pada rokaat pertama setelah imam membaca Al-Fatihah dan surah yang dizaharkan, dilanjutkan dengan ruku. Menurut sunnah, rukunya panjang. Sehabis bangun dari ruku (i’tidal) seraya imam mengucap sami’aAllaahu liman hamidah, imam kembali membaca Al-Fatihah kemudian membaca surah lagi. Lalu ruku sekali lagi, i’tidal dan kemudian sujud dua kali. Kaifiyah ini diulangi pada rokaat yang kedua. Lalu salam. Dan mendengarkan khutbah.
Mendirikan solat gerhana bukan berarti menyembah matahari atau bulan seperti yang dituduhkan orang-orang usil dan dengki dengan lurusnya syari’at Islam. Sudah bukan rahasia lagi, banyak orang menuduh kaum muslimin tengah menyembah Ka’bah atau Hajar Aswad saat mereka berhaji. Keliru. Sama kelirunya ketika melihat kita berdiri melaksanakan solat sunnah gerhana, mereka tuduh sedang mengagungkan dan mempertuhankan matahari dan bulan. Nehi. Al-Qur’an menyatakan, haram hukumnya manusia menyembah bulan dan matahari, tetapi kita tengah mengagungkan yang menciptakan matahari dan bulan itu.
Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (terjemah QS. Fushilat [41] : 37)
Begitulah urgensi gerhana dan respons sunnah atasnya. Melalui penomena gerhana, sunnah tengah mendidik kita meneguhkan tiga pilar pokok; pilar aqidah dengan menjernihkan iman bahwa gerhana itu hanya satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidak ada hubungannya dengan kematian dan kelahiran seseorang. Ini kita dapatkan dari melaksanakan takbir dan berdo’a saat gerhana terjadi. Kedua pilar ibadah, dengan mendirikan dua rokaat solat sunnah gerhana. Para ulama sepakat, bahwa solat gerhana itu sunnah mu’akkadah. Dan ketiga pilar mu’amalah dengan membudayakan sedekah.
Dengan begitu, bukankah solat gerhana itu sayang untuk dilewatkan? Semog Allah semakin memperteguh iman kita dengan phenomena gerhana. Aamiin. Allahu a’lam.
Ciputat, Juni 2011.