Syukur di Ahad Sore

Mereka sama-sama menangis sambil tertawa yang tertahan sebagai luapan emosi kebahagiaan dan ketidakpercayaan atas apa yang mereka terima dalam beberapa bulan terakhir. Air mata pria itu mengalir seolah tak mau kering. Tetapi bukan isak yang terdengar dari tenggorokan mengiringi air hangat meleleh dari pelupuk mata. Begitu juga isterinya. Bahkan mereka sama-sama tersenyum lebar sambil berucap,”Subhaanallaah wal hamdulillaah”.

Pria itu masih ingat betul saat putrinya mengeluh cape pindah-pindah kontrakan. Padahal waktu itu usianya masih belum genap enam tahun. Usia yang belum sepenuhnya memahami persoalan hidup, bagaimana harus menyiasati hidup, hari ini makan apa dan esok makan apa. Usia di mana mereka hanya tahu kebahagiaan dan bermain, tertawa, canda dan segala yang menyenangkan. Maka ungkapannya membuatnya tercekat dan hampir saja tak kuasa menahan perih air mata meleleh. Maka ingatan itu melesat kembali di benaknya sore itu.

”Bisa jadi, ini berkat do’a-do’a para tetangga dan orang yang kita kenal”, kata pria itu di sela tangis riang di Ahad sore. Sehari setelah kepindahannya yang kesembilan.

”Berkat ridha orang tua dan kasih sayang Allah atas usahamu suamiku”, begitu isterinya menimpali.

Satu lagi segmen kehidupan tengah mereka nikmati. Pria itu tidak ingin menyatakan dengan pongah, bahwa apa yang telah diperoleh dalam sisa hidupnya ini adalah buah dari keikhlasannya selama ini. Ia tidak berani. Menurutnya, biarlah Allah yang menilai dengan Maha Batin dan Zahir-Nya. Sedangkan orang-orang sekeliling yang mengenalnya, hanya mampu menangkap yang kasat mata atau zahirnya saja. Ia hanya menjalani hidup sebagaimana sunnatullah fil kaun berjalan. Adakalanya pahit dan sedih. Lain waktu terasa manis dan menyenangkan. Pada akhirnya, kerelaan atas apa yang dirasakan menjadi sesuatu yang mengantarkan kebahagiaan di belakang hari, menurutnya adalah alamiah. Sedikit atau banyak, akhirnya kembali berpulang pada masing-masing takaran hidup dan persepsi setiap orang.

Begitulah kesadaran itu dibangunkan isterinya. Ia tidak pernah berpikir seperti apa yang dipikirkan ibu dari anak-anaknya itu dan merasakan seperti apa yang dirasakannya sendiri. Tetapi ia memvibrasi pikiran dan perasannya kepadanya sore itu. Ia tafakkur dan berucap syukur. Masya Allah, akhirnya ia sampai pada kesimpulan, bahwa isterinya tengah membuka mata hatinya akan hal sederhana yang menjadi pembuktian atas kemurahan Allah.

”Mas, enam bulan lalu kamu dapat rizki. Untuk ukuran kita adalah angka yang besar. Cukup untuk menutupi beberapa kebutuhan pokok kita dan anak-anak. Tapi, kamu tidak membelanjakannya untuk saya, anak-anak bahkan untuk dirimu sendiri”.

Ia merasa belum tuntas isterinya berkata-kata. Kelihatannya, wanita yang dinikahinya saat masih semester tujuh di bangku kuliah itu tidak kuasa melanjutkan karena campur aduk perasaan yang berkecamuk. Ia paham. Bahkan ia bisa meneruskan kata-kata isterinya yang tercekat di tenggorokannya.

Ingatannya melayang ke belakang. Saat rekeningnya terisi hampir sepuluh jutaan sebagai tunjangan profesi. Ia dan isterinya ”berdamai” untuk apa uang itu akan digunakan. Sampai kemudian hati mereka berdua plong. Uang itu seluruhnya dialokasikan untuk memperbaiki kondisi lantai rumah orang tua suaminya dan beberapa bagian yang perlu diperbaiki. Maka, jadilah rumah orang tuanya nyaman dengan lantai keramik. Kamar mandi yang layak dan tak lagi khawatir saat hujan karena bocor.

Pria itu tak kuasa menahan haru telah diberi kesempatan oleh Allah untuk melakukannya. Lebih bersyukur lagi dengan sikap isteri yang menerima dan menghormati niat tulusnya. Sikap yang patut dipuji dan disyukuri yang menyuburkan rasa cintanya.

Bagi sedikit orang, uang sepuluh juta belumlah apa-apa. Mungkin hanya untuk sekedar membeli beberapa pasang sepatu, beberapa lembar dasi, jaket atau membeli tiket liburan. Tetapi bagi kebanyakan orang seperti keluarga pria itu, uang sejumlah itu jarang-jarang dipegang. Maka ketika rezeki itu Allah titipkan, ia tidak mendongak ke atas karena hanya akan menimbulkan perasaan tidak pernah cukup. Ia lebih memilih melihat ke bawah karena akan merasa ridha dan bersyukur.

”Sekarang kita sudah punya tempat bernaung sendiri, Ayah. Enam bulan lalu kita memberi orang tua keramik. Tapi Allah ganti dengan memberi kita dua kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi… Ya Rabb, syukur pada-Mu ya Rahmaan ya Rahiim”.

Hening.

Pria itu tersentak halus. Benarkah karena itu? Kalau iya, ia tak pernah berpikiran demikian. Ia hanya ingin membahagiakan orang yang telah mengantarkannya seperti ini di usia tuanya. Bahkan itu belumlah sebanding dengan pengorbanan ayah ibunya yang panjang. Atas hidup-mati saat mengerang melahirkan. Atas air susunya. Atas perhatiannya. Atas kekhawatirannya. Atas tekad bulat menanggung beban susah menyekolahkan. Dan atas semuanya.

Air matanya makin tak kering. Tapi makin nikmat vibrasi rasa syukur dan rasa hangat yang dialirkan isterinya.

Pria itu memandangi langit-langit kamar tempat bercengkrama dalam haru biru. Memang belum seluruh rumahnya rapi. Tapi sudah nyaman ditinggali sesuai ukuran dan kemampuan yang Allah beri pada mereka. Tinggal di rumah yang dibangun dengan cucur keringat, do’a harapan dan penghasilan sendiri, memang sungguh jauh berbeda dari rasa hidup berpindah-pindah. Kata-kata putrinya empat tahun lalu telah terhapus dan tidak lagi membekas. Pria itu juga tak ingin putrinya tahu bahwa kata-katanya saat pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain sempat menjadi pergulatan batin ayahnya.

”Ya, Bunda. Atas semua ini semoga menjadi lautan keberkahan untuk keluarga. Tapi …”.

”Tapi, apa?”

”Saya kok yakin, bahwa rumah ini kelak akan sanggup saya berikan kepada orang tua untuk siapalah dari adik saya yang akan menempati. Saya yakin, Allah akan memberikan kemampuan lebih besar dari hari ini kepada kita. Kita bisa bikin rumah lagi meskipun entah kapan saya tidak tahu. Dan dengan cara bagaimana mewujudkannya juga tidak tahu”.

”Benarkah?”

”Itu harapan dan keyakinan saya. Hanya keinginan untuk kita bisa berbagi dengan saudara yang tidak diberi kesempatan belajar seperti saya. Andaikan tidak terwujud pun, saya tidak menyesal. Semoga ini niat baik”.

”Kamu selalu begitu. Selalu memikirkan orang lain. Semoga bisa terwujud. Tapi, biarkan kita tumpahkan dulu rasa syukur kita apa yang sekarang kita miliki. Besok seiring waktu, keadaan berjalan tanpa sedikit pun kita ketahui. Masa depan adalah hal pasti yang kepastiannya hanya ada di genggaman-Nya”.

Pria itu percaya, setiap orang akan merasa bahagia dengan segala karunia dari Sang Pencipta. Tapi apakah setiap orang mampu bersyukur atas karunia itu, ia tidak bisa mengukurnya. Bahkan setiap orang kadang punya cara sendiri-sendiri bagaimana ia bersyukur. Artinya setiap orang mungkin sangat mengerti tentang gembira saat mendapat berkah, tetapi tidak seragam dalam memahami cara bersyukur yang benar kepada-Nya. Pria itu bersyukur bisa membangun rumah sederhana karena rizki-Nya. Ia bersyukur tidak lagi pindah-pinda kontrakan. Ia bersyukur atas isteri yang setia dan mengerti kehendak tulus hatinya. Sungguh hal itu kekayaan yang luar biasa menurutnya.

====

Hal yang patut disadari, bahwa semua orang tidak bisa menghindar dari status ”mengontrak”. Seberapapun besar atau kecil rumah yang dihuninya, mewah ataukah sederhana tampilannya, bahwa semua kita pada dasarnya adalah ngontrak di dunia ini. Entah sampai kapan hanya Allah yang Maha Tahu. Setiap hari jatah kontrakan hidup setiap orang berkurang. Terus berkurang hingga sampai waktunya pindah lagi dari kontrakan di dunia untuk mendiami kontrakan di barzakh.

Bila ingat hal itu, sebenarnya angan-angan ingin memiliki ”istana” dunia yang indah dan membanggakan untuk didiami menjadi surut. Toh pada akhirnya akan ditinggalkan juga. Tetapi, hidup terkatung-katung dan nomaden terus juga menghabiskan ongkos. Dua-duanya juga butuh ongkos. Kalau begitu, titik perhatiannya sebenarnya bukan istana atau rumah sederhana, tetapi hakikat kontrak di dunia untuk kontrakan di kuburan. Tentu lebih terasa nyaman apabila siapapun, tidak memiliki kendala ngontrak di dunia untuk memikirkan kontarkan di kuburan.

Hidup memang makin terasa berat bagi orang di sini, ringan bagi separuh yang lain atau biasa saja bagi sebagian tertentu. Semua orang merasakan hal itu meskipun dengan takarannya masing-masing. Setiap orang memerankan beban hidup yang telah tertulis skenarionya sejak sebelum dilahirkan. Dalam setiap babaknya selalu ada pasang surut, tawa dan air mata yang membutuhkan kearifan dalam melakonkannya. Jika tidak, maka hidup seolah sebagai beban dan sekedar menunggu mati saja. Padahal semua tahu, mati dan masuk liang kubur di zaman kini harus punya uang juga.

Mungkin tidak semua tahu jika mengubur jenazah di pekuburan Jakarta ada kelas-kelasnya. Kelas ekonomi antara lima ratus sampai tujuh ratus lima puluh ribu. Kelas yang agak bagus antara sejuta dan seterusnya. Juga ada istilah diperpanjang seperti SIM atau KTP atau SKKB. Jika tidak, bisa jadi kuburan hilang dan telah ditempati jenazah lain. Lah, ternyata mati saja ”ngontrak”, apalagi hidup.

===

Sore itu menjadi begitu indah dan bahagia. Rimbunnya pohon di samping rumah meneduhkan suasana. Kicau burung Cici Cemplir yang khas menambah semarak suasana hati. Pria itu melongok ke jendela. Beberapa ekor Cemplir sedang berebutan mematuk serangga atau ulat kecil. Terbang dan hinggap dari satu dahan ke dahan yang lain memungut rezeki yang dipersiapkan untuk mereka. Gampang sekali rizki mereka dapatkan. Terbang dengan tembolok yang kempis lalu pulang dengan tembolok yang penuh sesak. Begitu setiap hari. Simpel sekali rizkinya.

Rumahnya juga simpel. Cemplir hanya membutuhkan daun pohon dan menjahitnya menjadi sarang di pohon mana yang ia suka dan cocok. Atau kadang dianyam dari rerumputan dan serat tumbuhan menjadi berbentuk bola kecil tanpa perjanjian mengontrak. Hidupnya seolah tanpa masalah. Kecuali jika tangan-tangan manusia yang usil mengganggu dan menangkapnya di malam hari. Padahal kehadiran kicau Cemplir benar-benar harmoni alam. Seperti suasana di samping rumahnya di Ahad sore itu.

Dalam hati pria itu berujar, ”Syukur pada-Mu ya Allah, sekarang kami bisa berteduh di bawah atap rumah pemberian-Mu yang kami bangun sendiri. Semoga keberkahan mengiringi kesederhanannya. Aamiin”.

Depok, September 2010.

[email protected]