Nyai Rohimah adalah nenek yang patut dijadikan cermin. Cermin hidup bagi yang muda dan yang tua. Cermin ketaatan dan ketulusan menghamba pada Yang Maha Hidup dalam totalitas hidupnya.
Nyai Rohimah melahirkan tiga belas keturunan dari rahimnya. Sebagai wanita jadul, rahimnya sangat kokoh untuk ukuran melahirkan tiga belas anak dengan hanya ditolong dukun kampung, tanpa obat medis, tanpa imunisasi dan tanpa peralatan seperti sekarang. Anak terakhirnya; Husnul, sekelas dengan saya waktu SD. Selepas lulus dari sebuah Universitas di Jakarta, Husnul diangkat sebagai PNS sebagai guru SD di daerah Bekasi.
Ah, itu biasa. Di mana takzimnya?
Di usianya yang menginjak lebih dari delapan puluhan, Nyai Rohimah masih setia ke masjid. Dengan langkahnya yang semakin nampak letih, ia masih menyimpan energi mengejar shalat berjamaah saban Maghrib, Isya dan Shubuh. Bagi saya yang baru tiga puluh delapanan, keletihannya sangat kontras dengan langkah saya yang cepat.
Jarak dari rumahnya ke masjid ada lebih kurang tujuh ratus meter. Jarak sepanjang itu setia ditapakinya. Nyai Rohimah seperti tidak mengenal cuaca. Meskipun hujan mengguyur, jiwanya tetap tegar melangkah.
“Nyai baru berenti ke masjid, kalo sudah mati”, begitu satu waktu ia ungkapkan pada almarhum adiknya sewaktu masih bersama-sama.
Dan, sampailah saya saat melihatnya pada kondisi yang paling rapuh atas takdir ketuaannya. Nyai Rohimah harus merangkak menaiki dua puluh anak tangga untuk sampai pada lantai dua masjid dan bersimpuh menyembah-Nya.
Ya Rabb, ia seperti bayi yang tengah belajar merangkak di atas satu demi satu anak tangga masjid. Itu artinya dalam satu senja waktu Maghrib, satu malam waktu Isya dan satu pagi buta waktu Shubuh, paling tidak ia harus tiga kali merangkak untuk sampai di barisan jamaah. Berapa kali ia merangkak seminggu, sebulan, setahun dan sepanjang usia tuanya?
Amboi, malu rasanya melihat kegigihannya di hadapan Tuhan. Mungkin saja tangga-tangga masjid itu bertasbih saat ia merangkak. Bisa saja dinding-dinding rumah Tuhan itu beristighfar untuk ketulusannya. Bukan mustahil pula setiap lembar lantai masjid mendo’a untuknya setiap kali dahinya menempel dan menciumnya dalam sujud. Mungkin saja bangunan masjid itu senantiasa tersenyum menyambut kehadirannya dan mencatatnya sebagai orang yang hatinya tergantung di mihrabnya.
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ‘ibadah kepada Rabbnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’, dan seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, serta seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri hingga kedua matanya basah karena menangis." (HR. Imam al-Bukhari dalam sahihnya no. 620)
”Seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid”, adalah pengecualian untuk Nyai Rohimah. Ia bukan laki-laki, tetapi lewat kasat mata, hatinya telah terpaut pada masjid. Mungkin keterpautannya melebihi para lelaki kebanyakan di kampung saya.
Menyaksikan Nyai Rohimah merangkak di tangga masjid, membayangkan saya empat sampai lima puluh tahun ke depan jika sampai usia hitungan itu. Mengingat demikianlah Allah mentakdirkan kejadian manusia. Sesudah lahir ke dunia, dengan berangsur tubuh menjadi kuat dan dapat berjalan, dan akal pun berkembang, sampai dewasa, sampai di puncak kemegahan umur.
Kemudian itu berangsur menurun, berangsurlah tua. Berangsur badan lemah dan fikiran mulai pula lemah, tenaga mulai berkurang, sehingga mulai rontok gigi, rambut hitam berganti dengan uban, kulit yang tegang menjadi kendor, telinga pun berangsur kurang pendengarannya, dan mulailah pelupa.
Dan kalau umur itu masih panjang juga mulailah padam kekuatan akal itu sama sekali, sehingga kembali seperti kanak-kanak, sudah minta belas kasihan anak dan cucu. Malahan ada yang sampai pikun tidak tahu apa-apa lagi. Inilah yang dinamai "Ardzalil `umur"; tua nyanyuk. Sehingga tersebut di dalam salah satu doa yang diajarkan Nabi s.a.w. agar kita memohon juga kepada Tuhan jangan sampai dikembalikan kepada umur sangat tua (Al-harami) dan pikun itu.
Menjadi tua adalah pasti, menjadi pikun juga mungkin, tetapi mungkinkah menjadi seperti Nyai Rohimah, yang rela merangkak seperti bayi di usia tuanya di tangga masjid untuk tetap bisa mengejar shalat berjamaah?
Menjadi pikun itu menakutkan dan seorang kekasih Allah; Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam, bahkan berlindung pada Tuhannya dari keadaan seperti itu. Kalau manusia istimewa saja berlindung, bagaimana kita?
Pernahkah membayangan kita berdiri di depan cermin kepikunan? Saat di mana jiwa tidak bisa membedakan rasa malu dan kewajaran, saat tidak menyadari berpakaian atau telanjang, saat tidak lagi tahu beda antara kenyang dan lapar, saat tak lagi mengerti mana yang boleh dan yang tidak dan …. begitu banyak.
Hati saya begitu melonjak girang saat menemukan penafsiran Ibnu Abbas soal ardzalil ‘umur, kata Ibnu Abbas, "Asal saja dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya, meskipun dia telah tua sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun masih tetap dituliskan amal shalihnya sebagaimana di waktu mudany. Tidaklah dia akan dianggap berdosa atas perbuatannya di waktu akalnya tak ada lagi itu. Oleh sebab dia beriman dan taat kepada Allah di masa mudanya.”
Nyai Rohimah bukan hanya lekat hatinya dengan masjid, tetapi juga ”Pahlawan” Al-Qur’an. Hampir semua wanita di atas generasi saya di kampung saya, bisa membaca Al-Qur’an dari lidahnya. Di sela kesibukannya mengasuh banyak anak, siangnya bekerja di sawah, malamnya, Nyai Rohimah masih menyempatkan waktunya mengajar mengaji. Boleh dikata, wanita-wanita generasi di bawah Nyai Rohimah melek Al-Qur’an karena jasanya.
Diriwayatkan juga dari lbnu Abbas dan lkrimah; "Barangsiapa yang mengumpulkan al-Qur’an tidaklah akan dikembalikan kepada ardzalil ‘umur. Kepada tua pikun, Insya Allah!" Allahu a’lam.
Ya Rabb, betapa mulia orang yang memelihara iman dan ketaatannya sejak muda. Di usia tuanyapun, ia tetap taat, meskipun ia harus merangkak mendatangi-Mu. Jadikanlah kami seperti mereka.
Ya Rabb, kami berlindung kepada-Mu dari ardzalil ’umur dan jatuh dalam kepikunan. Aamiin.
Ciputat, Desember 2010.