Mungkin ada orang yang berpikir, bahwa hidup akan terasa indah apabila selalu bergandengan dengan kemudahan. Atau berburuk sangka bahwa kesusahan hanya merusak harmoni hidup di dunia saja. Jika pikiran ini digabungkan, maka semua orang akan menginginkan kemudahan sepanjang waktu dan tidak ingin sedikitpun merasakan penderitaan. Padahal setelah direnungkan sekali lagi, justru hidup menjadi timpang apabila hanya dengan mengecap satu cita rasa saja. Apa rasanya bila tiba-tiba lidah manusia hanya mampu menerjemahkan rasa manis saja? Atau pahit saja? Atau asin saja? atau kecut saja? Atau semua terasa tawar saja?
Jika lidah kehilangan fungsi terjemahnya atas manis, pahit, asin, kecut atau tawar maka harmonisasi hidup akan rusak. Untuk apalagi ada gula, jadam, garam, mangga muda atau air sumur? Tentu keanekaragaman nikmat Allah menjadi tidak bisa dijangkau dan disyukuri.
Akhirnya semua akan setuju bahwa lidah manusia dikatakan sempurna apabila semua cita rasa itu bisa diterjemahkan sesuai keadaannya. Itulah keajaiban milik Allah yang ditempelkan pada mulut manusia. Bahkan seorang juru masak, amat percaya pada keajaiban lidahnya. Boleh dikata, kesuksesan sebuah dapur restoran amat bergantung pada lidah seorang koki.
Tidak selamanya yang pahit di lidah berdampak buruk. Tidak pula semua yang manis di lidah selalu bermanfaat. Adakalanya tubuh menjadi kuat oleh sebab obat yang pahit melebihi pahitnya jadam. Ada kalanya pula tubuh menjadi rusak karena rasa manis yang berlebihan.
Kesempitan laksana jadam dan kemudahan laksana gula-gula. Kedua-duanya merupakan sunnatullah dalam hidup. Dia datang silih berganti. Tidak mungkin seluruh hidup berisi dengan kesulitan. Sama tidak mungkinnya seluruh kehidupan berisi dengan kemudahan. Hanya saja bobot kemudahan dan kesukaran yang dihadapi masing-masing berbeda-beda kadarnya. Allah telah menyesuaikannya untuk setiap orang. Bisa jadi, kesukaran hidup yang dialami seseorang belumlah tentu bisa ditanggung oleh yang lain. Atau mungkin saja, satu waktu seseorang tengah merasakan kemudahan hidup tetapi bagi orang lain itu hal yang biasa saja.
Kesulitan dan kemudahan akan terus terjadi berulang-ulang. Dalam susah ada mudahnya, dalam sempit ada lapangnya. Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan dan fikiran mencari jalan keluar. Dalam kesadaran yang paling jernih, kesukaran, kesulitan, kesempitan, marabahaya yang mengancam dan berbagai ragam pengalaman hidup yang pahit, dapat menyebabkan manusia bertambah cerdas menghadapi semuanya itu, dan dengan sendirinya menjadikan manusia itu sebagai pribadi yang dinamis.
Dengan cahaya iman, pengalaman yang pahit menjadi kekayaan jiwa yang tak ternilai. Ia akan jadi kenangan yang amat indah untuk membuat hidup lebih matang. Sehingga datang suatu waktu kita mengucapkan syukur yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya karena Allah telah berkenan mendatangkan kesulitan itu kepada kita pada masa yang lampau.
Dengan cahaya iman pula, pengalaman kelapangan dalam hidup menjadi khazanah jiwa dalam memupuk kesantuan. Ia akan jadi energi kuat untuk rela berbagi pada yang tengah ditimpa kesempitan. Maka kaya dan miskin tidak lagi dipandang hitam putih sebagai jurang yang memisah derajat sesama. Dengan pola interaksi ini, yang kuat merasa terpanggil melindungi yang lemah. Sementara yang lemah tidak akan putus asa dari rahmat Allah oleh sebab kesempitan hidupnya. Maka si miskin dan kaya, sama-sama mengucapkan syukur yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya karena Allah telah berkenan merekatkan hati mereka dalam persaudaraan. Makin yakinlah mereka bahwa, fainna ma’al ’ushri yusroo. Inna ma’al ’ushri yusroo. Allahu A’lam.
Ternyata, kesulitan itu mengantarkan kita pada keajaiban hidup!
Ciputat, akhir Nopember 2010.