Berkali-kali lelaki itu mengucap syukur. Mulutnya tak henti-henti mengagungkan Allah SWT. Sesekali ia membenahi kopiah putih setengah lusuh yang selalu menempel di kepalanya. Di usianya yang 70 tahun itu, ia terlihat makin khusyu. Berjalan dengan penuh tawadhu tidak banyak bicara kecuali mengagungkan Allah SWT.
Abah Parni, lelaki shaleh lanjut usia itu tinggal di Desa Cibingbin, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sebuah desa terpencil yang letaknya kurang lebih 35 km arah Timur Kota Kuningan, Jawa Barat. Posisinya persis di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sekitar dua kilometer ke arah timur dari desanya sudah masuk Kecamatan Banjarharja, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Untuk menuju ke sana kita harus melalui gunung dengan jalanan khas mendaki. Di kanan kiri ada tebing tinggi dan jurang yang dalam serta penuh tikungan tajam.
Usai sholat subuh di Musholla Bani Syahir, kami terlibat pembicaraan hangat. Saat itu saya memang sedang mudik lebaran 1428 H. Lelaki yang juga teman akrab almarhum ayah saya ini raut wajahnya bersih bercahaya menyiratkan kegemarannya berwudhu dan shalat tahajud.
Masa mudanya sempat dilanda gundah dan gelisah. Pasalnya, teman-temannya waktu itu banyak yang jadi PNS, pegawai A, pegawai B, sedang dia hanyalah pedagang kecil dan buruh tani. Ia pun sempat mengkhawatirkan masa depan diri dan keluarganya. Namun dari sinilah cerita itu bermula. Kegundahan itu disiasatinya dengan banyak bersedekah.
Keberuntungan Susul Menyusul Abah Parni punya pohon mangga di depan rumahnya yang hasilnya ia jual ke pasar. Setiap kali musim mangga, ia undang tetangga-tetangganya untuk menikmati hasil pohonnya itu bersama-sama. Ia yakin bahwa Allah SWT Maha Kaya dan akan mengganti dengan yang lebih baik.
Bertahun-tahun ia lazimkan kebiasaan baik itu. Keberuntungan pun susul menyusul menghampirinya. Makin lama makin banyak tetangganya yang memberinya lebih besar dari apa yang dia beri. “Abah, kamarin saya baru saja panen. Ini untuk Abah karena Abah pernah memberi saya buah saat benar-benar membutuhkan, ” ujarnya menirukan ucapan tetangganya yang memberinya sekarung pepaya. Subhanallah Bukan hanya itu, dagangannya pun makin bersinar. “Setiap kali saya dapat untung langsung saya sedekahkan dan sisanya ditabung dalam bentuk emas, ” ungkapnya. Bertani masih ia jalani, namun sedikit demi sedikit ia mulai mampu membeli sawah. “Allah benar-benar Maha Kaya hingga memampukan saya untuk membeli sawah, ” tuturnya.
Hingga akhirnya ia dan isterinya dimampukan memenuhi panggilan Allah SWT menunaikan ibadah haji di Makkah Al-Mukarromah. “Subhanallah, kalau ingat nikmat-nikmat itu saya jadi menangis, ” lanjut pria berjanggut tipis itu.
Berkah itu Bertambahnya Kebaikan Kisah di atas menunjukkan betapa berkahnya kehidupan Abah Parni. Seorang lelaki sederhana yang tinggal di perbatasan dengan segala keterbatasannya ternyata begitu diperhatikan oleh Allah SWT. Kegelisahannya terbayar dengan kemurahan hati, kegundahannya sirna, kekhawatiran hidupnya berganti dengan nikmat Allah SWT.
Benarlah perumpamaan yang Allah sampaikan dalam surat Al-Baqarah ayat 265, “Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiramnya maka embun (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Pohon mangga Abah Parni adalah bukti keberkahan itu. Ia telah memberi banyak manfaat bagi orang lain karena pemilikinya seorang lelaki shaleh yang beriman kepada Allah SWT. Sumber keberkahan itu hanyalah dari Allah SWT. Dia tidak memberinya kepada sembarang manusia kecuali hanya orang beriman dan bertaqwa saja. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ” (QS. Al-A’raaf: 96).
Seorang ulama mengatakan salah satu ciri keberkahan pada sesuatu adalah ziyadatul khair atau bertambahnya kebaikan. Ilmu yang dianugerahi Allah SWT menjadi berkah jika menambah kebaikan dalam hidup. Harta yang dititipkan Allah SWT menjadi berkah saat kepedulian pribadi maupun sosialnya meningkat. Harta itu tidak membuatnya kikir dan takut miskin, justru membuatnya begitu dermawan dan menebar manfaat bagi banyak orang. Keluarganya diliputi kasih sayang dan mengalirkan energi kasih sayang itu bagi sekelilingnya.
Ketika pintu-pintu langit dibuka oleh Allah SWT berupa bertambahnya harta yang dititipkan, maka seorang muzakki akan makin shaleh dengan zakatnya. Seorang mustahik makin shaleh karena zakat yang diterimanya dan program pemberdayaan yang diikutinya. Dan yang paling penting adalah seorang amil zakat makin meningkat ketakwaannya kepada Allah SWT, makin menjaga waktu-waktu ibadahnya, makin baik akhlaknya, makin menjauh dari maksiat dan makin sering ia bertaubat.
Seandainya negeri ini dipenuhi jutaan Abah Parni, orang shaleh yang penuh sedekah, niscaya keberkahan Allah semakin melimpah ruah. Berkah dalam waktu, berkah dalam harta, berkah dalam keluarga, bahkan berkah dalam negara.
Terakhir Abah Parni berpesan sebuah ungkapan berbahasa Sunda, “Nu Medit Teu Mahi-Mahi, Nu Jembar Teu Kurang-Kurang. ” (Orang kikir takkan pernah cukup, orang dermawan takkan pernah kekurangan). Ya, benar sekali Abah.