… whether it is in fact more difficult to live by God-given rules than by the man-imposed and alienating patterns and norms of behaviour that are the basis of today’s way of life, can only be discovered if one tries it for oneself…
Lampu penyebarangan jalan baru saja berubah menjadi hijau. Tram no 7 yang dari kejahuan mulai mendekat dan dinginnya udara akhir musim gugur serta hembusan angin malam yang mengigit benar-benar memaksa kaki-kakiku untuk bergegas. Sekejab kemudian aku sudah tiba di depan bangunan besar berpintu kaca. Bangunan ini dulunya adalah rumah sakit tua yang setelah direnovasi sekarang disulap menjadi salah satu bangunan terindah di sebuah kampus ternama di negeri batu cadas ini.
Sesaat kemudian, tepatnya pukul 17.30, kami bertujuh sudah duduk mengeliling meja kayu berbentuk empat persegi panjang. Acara Jum’at sore seperti ini adalah acara yang paling kurindukan bilamana aku kembali ke negeri batu cadas ini. Sore ini agak spesial, karena ada bror (kami biasa menyapa satu sama lain dengan ‘bror’ yang artinya ‘brother’) yang baru saja datang dari Indonesia membawa energen rasa jahe. Harum bahu jahe dari energen yang baru saja diseduh dan jeruk ‘clementin’ yang kulitnya halus orange (dan rasanya yang begitu khas) menjadikan suasana sore itu agak berbeda dari biasanya. Aku selalu berfikir, minimal ada dua hal yang indah di musim gugur, pertama mozaik daun-daun yang berubah-ubah warnanya sebelum akhirnya jatuh ke bumi dan yang kedua tentunya jeruk clementin yang hanya singgah di negeri batu cadas ini pada saat musim gugur.
Pembicara sore ini adalah bror Rozaq (bukan nama sebenarnya, namun kisah yang dia tuturkan adalah kisah nyata, pengalam pribadi). Bror Rozaq, walaupun usianya jauh lebih muda dariku, badannya jauh lebih besar dariku. Kulihat sepintas dia agak, kata orang Inggris agak nervous…“bila ada yang benar segala sesuatunya” , aduh apa ya, … “semua yang benar adalah”, waduh kok lupa ya… Akhirnya setelah mencoba berulang-ulang, bror Rozaq membuka tausiyahnya dengan mengatakan seperti yang dikatakan oleh ustad-ustad di tanah air ‘segala sesuatu yang benar datangnya dari Allah, dan bila ada kealpaan datangnya dari gue sendiri’.
“Sore ini gue ingin sharing pengalaman gue, Alhamdulillah, dengan izin dan pertolongan Allah, gue sudah tiga setengah tahun menjalankan puasa sunnah senin-kamis” begitu bror Rozak bertutur. “Jadi summer (musim panas) tahun ini dan tahun kemarin ‘lu juga puasa?”, selidik seorang bror yang merasa kurang yakin. Kumiringkan posisi dudukku, agar aku bisa menatap bror Rozaq yang duduk di pojok, agar aku bisa lebih konsentrasi. “Bener, gue puasa, walaupun ketika itu puasanya 20-21 jam padahal pagi gue harus naik turun tangga menggantar koran dan selebaran promosi”, kata bror Rozaq dengan wajah penuh kejujuran. Aku masih sulit membayangkan bagaimana berpuasa sambil mengantar koran ke gedung-gedung berlantai yang tanpa lift. Dulu aku pernah setahun loper koran, tapi saat ini pas musim dingin, sehingga setelah ngantar koran jam 4 sampai jam 6 pagi aku masih bisa mengguk air karena waktu subuh belum masuk. “Lha kalau pass summer dibulan Juni dan Juli ‘kan jam 2.30 pagi sudah masuk waktu fajar (subuh)”, fikiranku berkelana mencoba membayangkan mengantar koran di dekat vasaplatsen yang gedungnya bertingkat 6 tanpa lift.
Bayanganku mengantar koran di musim panas terpotong ketika bror Rozak meneruskan “Tahu nggak, sebenarnya kebiasaan puasa gue ini bermula saat gue menbaca sebuah komik, di situ tertulis apa-apa yang bisa kamu lakukan, maka lakukanlah dan yang tidak bisa kamu lakukan tinggalkanlah” tutur Rozaq. “Kok kelihatannya pesimis ya” celetuk salah seorang bror yang selalu paling bersemangat diantara kami. “Iya, awalnya memang begitu, namun kata-kata tersebut gue ubah sedikit, berusahalah melakukan urusan-urusan yang bisa kamu lakukan, selebihnya mintalah dan serahkanlah urusan-urusan tersebut kepada Allah” begitu pembelaan bror Rozaq. Sekarang bror Rozaq, benar-benar telah jadi magnet bagi perhatianku. Bror Rozaq yang semula terkesan biasa-bisanya saja ilmu agamanya, sekarang aku merasa ‘kerdil’ baik secara fisik (ukuran badan tentunya) maupun secara capaian ruhiyah dan kematangan spiritual. Makanya jangan men-judge sebuah buku dari cover-nya, demikian kata-kata bijak.
Seorang bror berdiri untuk mendidihkan air karena air di termos mulai menyusut, bukan karena termosnya bocor, namun energen jahe memang mampu menghangatkan udara malam yang semakin dingin. Malam ini kampus sudah sepi, dua orang professor yang tadi diskusi di ruang seberang, baru saja melambaikan tangan sambil tersenyum dan berujar “ha trevliq helg” yang artinya dalam bahasa Jawa ”have a nice weekend”. Jum’at ini sebagian besar orang-orang hanya bekerja setengah hari atau bahkan libur karena besok tanggal 31 Oktober adalah hari pertama dari serangkaian hari yang orang-orang disini menyebutnya sebagai alla helgon dags, hari-hari dimana mereka mengingat arwah orang-orang yang telah meninggal. Ada bermaca-macam kegiatan pada alla helgon dags ini mulai dari para orang tua menyalakan lilin di samping nisan kuburan keluarga mereka hingga muda-mudi yang berpesta dengan atribut-atribut dan pakaian yang serem-serem.
“Ane banyak merasakan manfaatnya dengan berpuasa sunnah senin-kamis, manfaat tsb ane bagi dalam tiga macam : fisik, fikiran dan hati”, ujar bror Rozaq secara lebih serius. Bror Rozak menyampaikan bahwa saat ini dia sedang berusaha mengubah ‘gue’ menjadi ‘ane’. Energen jahe dan jeruk clementin yang semula jadi pusat perhatian, perlahan ditinggalkan, semua bror merapikan duduknya dan menatap serius ke arah bror Rozaq. “Terus terang gue sekarang menjadi lebih sehat, Alhamdulillah, hampir tidak pernah sakit, dan rajin berolah raga termasuk jogging. Dulu gue, paling benci dengan yang namanya jogging, karena gue (bror ini masih sering terpeleset nyebut gue bukan ane) pikir jogging itu kagak menarik, tidak seperti sepak bola misalnya. Sekarang ane seneng jogging walaupun terkadang ane merasa seandainya berat gue bisa dituruni beberapa kg saja, ane merasa akan lebih enak joggingnya” bror Rozaq terus berceloteh. “Don’t worry bror tentang berat badan”, celetuk seorang bror (yang maaf memang agak lebih gemuk) yang duduk persis bersebrangan dengan posisi dudukku. Aku baru pertama kali bertemu dengan bror yang agak gemuk ini, namun Subhan’Allah, semangatnnya sungguh luar biasa.
“Gue entah gimana sulit sekali berkonsentrasi dalam waktu yang lama, namun, Alhamdulillah, sekarang rasanya ane fikirannya jadi lebih jernih, walaupun belajar tidak terlalu lama, namun yang tertangkap juga banyak” bror Rozaq buru-buru meneruskan agar suasana yang kurang nyaman terkait soal berat badan tadi tidak berlanjut. “Betul juga” cetusku ”terkadang pas fikiran bersih dan hati jernih, kita mudah sekali menyelesaikan soal dan hitungan karena kita bisa segera menemukan ‘main-idea nya’ namun tidak jarang berjam-jam kita melototi tulisan dan angka-angka pada kertas, tidak membawa kita kemana-mana”.
“Nah sekarang soal pengaruh puasa terhadap suasana hati, yang satu ini memang sulit diungkapkan, kayaknya tuh yang tahu hanya kita dengan Allah – Sang Pencipta”, kali ini bror Rozaq mengucapkan dengan perlahan dan suara yang lebih ditekankan. “Pokoknya hati terasa tenang, damai dan tidak gelisah” kata bror Rozaq. Dia melanjutkan, tapi sekarang gue lagi nyoba nih, agar tidak semua yang tersirat dalam benak ane langsung ane munculkan dalam bentuk perbuatan atau tindakan. Gue lagi nyoba bagaimana yang tersirat tadi, bisa diolah di dalam fikiran ane dulu dan diendapkan di dalam hati, sebelum muncul sebagi suatu perbuatan atau tindakan”, terang bror Rozaq dengan lebih sistematis. ”Oh mungkin apa yang bror ini maksudkan adalah orang yang terbiasa berpuasa lebih mudah menggendalikan dorongan-dorongan yang ada di dalam benak kita”, aku berusaha menebak apa yang dimaksudkan oleh perkataan bror Rozaq tadi.
“Dan juga, apa tuh bror, bahwa ada hadist Nabi yang mengantakan Aku seperti persangkaan hambaku…”, tutur bror Rozaq tidak begitu yakin. “Oh, maksudmu hadist Qudsi yang mengatakan ; sesungguhnya Allah berfirman : “Aku seperti persangkaan hambaKu kepadaKu…”, ujar bror yang tinggalnya sekamar dengan bror Rozaq. “Nah itu dia, karenanya, sekarang gue berusaha menahan emosi dan kalaupun terpaksa marah gue tidak lagi mengatakan ‘rasain lu, entar gue do’ain jatuh miskin’ namun gue ganti dengan ‘rasain lu, entar gue do’ain biar jadi kaya”, begitu bror Rozaq menyampaikan dengan bersemangat, Semua bror tertawa, dan semua membayangkan betapa indahnya dunia ini bila manusia tidak mudah emosi dan kalaupun terpaksa marah yang keluar adalah kata-kata yang baik.
“Det är klockan kvart i octa (maksudnya sekarang jam 8 kurang ¼) ”, ujar bror yang paling muda diantara kami mengingatkan. Bror yang paling muda ini yang membuka pengajian sore ini maka bror ini juga yang menutup. ”Subhanakallahumma wabihamdika ashadu ala ilaha illa anta astagfiruka wa atubu ilaika”, demikian ujar kami sama-sama menutup forum kajian ini. Sekarang malaikat yang berada di atas langit negeri batu cadas tidak lagi melihat spot cahaya di negeri ini. Seorang bror dari Malaysia pernah mengatakan malaikat melihat permukaan bumi dalam suasana gelap gulita, namun diantara suasana gelap tadi ada banyak spot-spot (titik-titik) cahaya. Malaikat melihat spot-spot cahaya seperti nelayan yang melaut di dini hari melihat bintang-bintang di langit yang gelap. Tiap spot cahaya di muka bumi tadi berasal dari satu lingkaran (liqo’) dimana berkumpul orang-orang yang mengingat dan menyebut nama Allah (…tak terasa ada sungai kecil mulai mengalir dari kedua bola mataku ketika tombol-tombol keyboad Sonny-VAIO-tua-ku mulai mengetik berkumpul orang-orang yang mengingat dan menyebut nama Allah…(ya Allah, jadikanlah kami orang yang selalu mengingatMu dimanapun kami berada termasuk di negeri batu cadas ini…).
Aku semakin merapatkan jaketku, karena udara semakin dingin. Aku berjalan sendiri, memecah sunyi malam, kakiku menapaki bumi Allah yang penuh daun-daun dari pohon yang berguguran sementara ingatanku mengembara dan tertancap pada sebuah tulisan bror yang bernama A. Von Denffer dalam bukunya “A Day with The Prophet (suatu hari bersama Rasulullah)” . Buku yang bersampul pemadangan perputaran suasana dalam satu hari mulai fajar menyingsing hingga malam menyelimuti, adalah kumpulan hadist-hadist pilihan yang menggambarkan bagaimana apa-apa yang dilakukan Rasulullah SAW (semoga selawat dan salam tercurah kepadan beliau, kelurga dan para sahabat) mulai dari bangkit dari tidur hingga saat akan tidur.
Dalam pengantar buku tersebut bror von Denffer menulis ”…For many reason this may seem to be too difficult task. To live by the sunna would certainly make a difference: but whether it is in fact more difficult to live by God-given rules than by the man-imposed and alienating patterns and norms of behaviour that are the basis of today’s way of life, can only be discovered if one tries it for oneself… Think about it and ask yourself whether it has simply been too difficult, or whether by the grace of Allah, you have benefited from it”.
Jazakallahu khairan bror Rozaq, atas sharing pengalamanmu berpuasa senin-kamis selama 3,5 tahun terakhir bahkan ketika musim panas yang lama puasanya 20-21 jam pun engkau tetap istiqomah. Pengalamanmu berpuasa sunnah senin-kamis membenarkan apa yang ditulis bror van Denffer diatas yang dalam bahasa kita artinya kurang lebih “hidup berdasar sunnah Nabi akan membuat hal yang berbeda, namun apakah kenyataanya hidup berdasarkan aturan Allah dan sunnah Nabi tadi lebih sulit dibandingkan hidup menurut aturan manusia, hanya bisa dijawab apabila seseorang coba melakukannya…. Tanyalah kepada dirimu sendiri apakah pola hidup (menurut aturan Allah dan sunnah Nabi) tsb lebih sulit atau dengan izin Allah, engkau mendapat banyak manfaat dari pola hidup ( yang menurut aturan Allah dan sunnah Nabi) tersebut”.
Wallahu’alam bishowab…
Negeri batu cadas, första dag på alla helgons dag
[email protected]