17 Kali Menipu Allah dalam Sehari

AHLUS SUNNAH MENDUDUKKAN AKAL DAN WAHYU SECARA ADIL

Tatkala seseorang meminta segelas air kepada orang lain, lalu orang itu memberinya, tetapi ia malah menolak, maka disebut apakah orang seperti ini?

Dan ketika ia meminta air lagi kepada orang yang sama sampai berkali-kali, dan setiap kali orang itu memberikan air yang dimintanya, ia malah menolaknya, maka apakah boleh ia disebut sebagai orang gila, sombong, pendusta lagi mempermainkan?

Sah-sah saja julukan-julukan seperti itu atau yang semisalnya diberikan kepadanya… Jutaan umat Islam di seluruh penjuru dunia melaksanakan shalat, dan mereka semua membaca al-Fatihah yang merupakan salah satu rukun shalat yang tanpanya shalat tidak akan sah. Mereka membacanya tujuh belas kali dalam sehari semalam. Ini tidak termasuk yang dibaca dalam shalat-shalat sunat rawatib, yang jika dihitung jumlahnya mencapai lebih dari itu. Artinya, mereka berdoa sampai berkali-kali pada setiap kali membaca: “Kepada-Mu kami menyembah, dan kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).

Tetapi realitas berbicara lain. Lidah meng- ucapkan, “Hanya kepada-Mu kami beribadah.” Yakni, hanya kepada-Mu Kami tunduk dan hanya kepada-Mu kami patuh, mengikuti, berserah diri dan tunduk. Kami tidak takut, kecuali kepada-Mu, kami tidak berharap kecuali kepada-Mu, kami tidak tunduk kepada hukum selain hukum-Mu, dan kami tidak takut kepada seorang pun melainkan hanya kepada-Mu.

Tetapi realitas berbicara lain. Mereka tetap tunduk kepada manusia, bertepuk tangan buat mereka yang membuat sistem perundang-undangan yang diambil dari selain sistem perundang- undangan Allah. Mereka takut ketika ada seseorang yang mengancam akan memutuskan sumber rezeki atau nyawanya. Mereka mengangkat tuhan-tuhan selain Allah. Mereka tunduk, patuh, dan takut kepada tuhan-tuhan tersebut, melaksanakan perintahnya dan berserah diri kepadanya. Hawa nafsu dan ke-inginan, istri-istri, harta, pakaian, pangkat, dan seluruh perhiasan duniawi, adalah tuhan-tuhan mereka selain Allah. Namun demikian, mereka tetap mengucapkan lebih dari tujuh belas kali dalam sehari semalam: “Hanya kepada-Mu kami menyembah.

Mereka juga mengucapkan, “Dan hanya kepada- Mu kami memohon pertolongan.” Artinya: “Kami, wahai Rabb, jika terkena musibah, bencana, sangat membutuhkan-Mu, karena kami sangat lemah, kami tidak datang kepada seorang pun selain Engkau untuk menolong dan membebaskan bencana itu.”

Tetapi realitas berbicara lain. Jika tertimpa bencana atau kesulitan, mereka datang kepada sesama makhluk sebelum sang Khaliq. Mereka berkeyakinan bahwa makhluk tersebut memiliki kuasa untuk memberi manfaat atau mudharat, sementara mereka menganggap terlalu rendah untuk datang, berlindung, dan bersimpuh di hadapan Allah Subhaanahu wa ta’ala

Selanjutnya, mereka mengucapkan, “Tunjuk- kanlah kami ke Jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6).

Yaitu jalan yang dilalui oleh para salafus saleh, para pengikut anbiya’, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia hingga hari kiamat kelak. Tetapi realitas berbicara lain. Mereka tetap terus berbuat maksiat, seperti riba, zina, memandang sesuatu yang diharamkan oleh Allah, berdusta, ghibah, namimah ‘mengadu domba’ menipu, ke-dengkian yang memenuhi hati mereka dan rendah semangat, mempertuhankan dunia, dan tidak berpegang teguh pada agama, lalu hidayah seperti apa yang mereka kehendaki.

Apakah ini berarti bahwa jutaan umat Islam di seluruh penjuru dunia berdusta di hadapan Allah Subhaanahu wa ta’ala. dan menipu-Nya 17 kali dalam sehari semalam.

Keadaan mereka itu tidak beda dengan “orang gila” yang meminta air kepada kawan-nya dan ketika air itu diberikan ia malah menolaknya. Apakah itu merupakan kebiasaan yang mendarah daging sehingga memisahkan hubungan antara perkataan dan perbuatan? Ataukah itu kebiasaan berbohong yang menyelimuti kehidupan kita sehingga kita tidak dapat lagi membedakan antara berdusta kepada manusia dengan berdusta kepada Allah? Ataukah hal itu semacam suatu materi yang menutupi hati, semacam karat, yang membuta-kan mata hati manusia untuk dapat melihat yang hakiki dan menilik apa yang dikatakan dan yang dilakukannya? Ataukah itu merupakan kemaksiatan yang membutakan hati? Ataukah semuanya itu benar? Jika benar, maka ini adalah malapetaka besar yang menimpa umat ini.

Allah berfirman:

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash- Shaff: 3)”

Syekh Abdul Hamid al-Bilali, “Semua Pasti Ada Hikmahnya”

(Penerbit: Al Mahira, 2006)

Beri Komentar