Bab 3
SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA sudah duduk bersila di ruangan agak besar berdinding bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki bambu yang mengikat dengan saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan. Keempat orang itu merupakan bagian dari pasukan telik sandi yang sengaja dikirim Diponegoro ke daerah-daerah musuh untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.
Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di kejauhan, lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai meneriakkan nasib rakyat pribumi yang terus-menerus menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-anteknya.
Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono IV. Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-yang menganjurkan agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya. Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya berada di ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas. Jalan dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda. Walau berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada di selatan Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro untuk tafakur .
Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh rumah penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok untuk dijadikan markas komando dalam kacamata militer.
Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran Diponegoro akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.
Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus pengawal raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu Ageng tidak hanya memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-dasar kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan senjata, manajemen pasukan, dan lain sebagainya.
Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang lain sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sandi terpilih untuk memantau perkembangan di luar sana.
Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para telik sandinya. Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga membentuk unit kontra intelijen yang mengawasi dan mengecek semua informasi yang diterima dari bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya, walau pun jumlahnya tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat mereka dengan kitab suci al-Qur’an di atas kepala.
Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak terbuka. Deritnya terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang pertama memasuki ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para senopati. Salam pun ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk melingkar di tengah ruangan, diterangi temaram satu-satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat wuwungan.
Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.
“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya langsung ke pokok pertemuan.
Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus orang kepercayaan Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan. Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.
Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil duduk bersila, Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan suaranya. Terdengar seperti orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.
“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan tegas jika mereka akan bergabung dengan kita….”
Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga mengucapkan hamdallah tanda syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa tahun lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap penjuru negeri untuk menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.
Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat, Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali, untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.
Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro pun menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.
“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon Progo, dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.”
Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik. Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”
“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman. Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para senopati dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,” ujar Diponegoro.
“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali kepada Suromenggolo.
“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang sedang hamil tua bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di Desa Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia sendiri yang kemudian memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali yang deras. Tidak ada yang berani menolongnya karena Danurejo dan pasukannya melarang semua orang yang ada di situ untuk menolong mereka….”
“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di sana.
“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai terdengar bergemeletuk saking marahnya.
“Teruskan Kisanak…,” ujar Ustadz Taftayani. (Bersambung)
[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II atau yang lebih populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas mendukung Belanda.