“Itu tenda Kanjeng Pangeran,” ujar Ki Singalodra dengan menunjukkan tangan kirinya ke arah sebuah tenda yang tidak berbeda dengan tenda yang lainnya, hanya saja terdapat pohon jati yang meranggas di dekatnya. Ki Singalodra kemudian menuntun kuda hitamnya menyusuri jalan setapak di antara hamparan rumput tersebut menuju tenda tersebut.
“Assalamu’alaikum, Ki…”
Tiba-tiba Pangeran Mangkubumi sudah muncul di depan mereka, bagaikan muncul begitu saja dari dalam bumi.
Dengan sedikit terkejut, Ki Singalodra menjawab salam itu, “…eh Kanjeng Pangeran Mangkubumi… Wa’alaikumusalam…“
“Siapa yang mengikutimu itu, Ki?”
Ki Singalodra turun dari kudanya dan menjelaskan jika ketiga penunggang kuda dibelakangnya adalah laskar puteri utusan isteri Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnanningsih, yang hendak menyampaikan kabar terbaru dari Selarong.
“Mereka akan menyampaikan pesan terbaru dari Selarong kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro…”
Mangkubumi berjalan mendekati ketiga penunggang kuda perempuan tersebut dan berhenti dua meter dihadapan mereka. Paman dari Diponegoro tersebut kemudian berdiam diri sejenak. Entah apa yang tengah dilakukannya. Setelah itu dia menganggukkan kepalanya dan mempersilakan Ki Singalodra dan ketiga penunggang perempuan tersebut berjalan kembali. Mangkubumi bahkan mengiringi tamu-tamunya itu berjalan menuju tenda Pangeran Diponegoro, yang ternyata bukan seperti yang ditunjukkan Ki Singalodra, namun lebih ke dalam, hanya berjarak sepuluh meter dari tepi Kali Progo.
Pangeran Diponegoro sendiri ternyata tidak berada di dalam tendanya. Ketika para tamunya sudah tiba di depan tenda, Sang Pangeran ternyata muncul dari balik pepohonan yang rapat dari arah kali. Mangkubumi dan yang lainnya mengucapkan salam yang segera dijawab dengan hangat oleh Diponegoro.
“Wahai laskar puteri, apa yang hendak kalian sampaikan padaku?”
Seorang dari ketiga laskar itu menjawab, “Kami ingin menyampaikan jika saat ini seluruh rakyat Mataram di Selarong dalam keadaan sehat wal-afiat…”
“Alhamdulillah ya Rabb…,” ujar Diponegoro.
“Kapten Bouwensch dan pasukannya memang datang dan melakukan penyisiran. Selain di sekitar wilayah gua juga di beberapa rumah penduduk secara acak. Setelah tidak menemukan apa yang dicari, mereka kemudian mengancam penduduk agar tidak ikut-ikutan mendukung perjuangan kita. Setelah itu mereka pergi kembali ke Vredeburg…”
Pangeran Diponegoro mendengarkan dengan penuh seksama. Wajahnya menunduk menekuri lantai rumput yang dilapisi dedaunan kering dan kain lebar yang terlihat sudah lusuh. Dia kemudian berkata dengan pelan, “Bagaimana dengan rakyat di sana. Apakah mereka disakiti atau rumahnya dibakar?”
“Tidak Kanjeng Pangeran. Belanda tidak melakukan pembakaran. Mereka hanya datang dan mengancam kami semua. Mereka juga sempat berusaha mempengaruhi kami jika pemberontakan ini hanyalah alat Kanjeng Pangeran agar bisa menguasai Kraton Ngayogyarakarta Hadiningrat…”
Diponegoro mengucap istighfar. Dia sudah mendengar hal itu sebelumnya. Belanda memang menggunakan segala cara untuk menghancurkan perjuangannya. Diponegoro sama sekali tidak marah. Dia menyadari jika apa yang diperjuangkannya adalah apa yang juga diperjuangkan para nabi Allah dan Rasul-Nya, dari Adam, Musa, Nuh, Ibrahim, Isa, hingga Muhammad Shalallahu wa’allaihi salam. Perjuangan menegakkan ketauhidan merupakan jalan sepi dan sunyi, sangat jauh dari hingar-bingar duniawi.
“Apakah pasukan kafir itu sudah pergi seluruhnya dari Selarong?”
“Betul Kanjeng Pangeran. Mereka tidak lama di Selarong dan kembali secepatnya ke benteng mereka. Laskar kami sudah mengikuti mereka sampai beberapa paal dari batas terluar desa.”
“Paman…,” ujar Diponegoro kepada Mangkubumi.
“Ya, Pangeran.”
“Insya Allah, selarong malam ini sudah aman kembali. Apakah sekarang juga kita kembali atau bagaimana menurut Paman?”
Mangkubumi terdiam sesaat. Kemudian dia menjawab, “Sebaiknya kita mengadakan musyawarah terlebih dahulu, Pangeran.”
Diponegoro menganggukkan kepalanya. “Baiklah jika demikian, Paman. Tolong panggil Kiai Modjo, paman Ngabehi, Ki Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya ke sini.”
“Baik, Pangeran.”
Mangkubumi segera meninggalkan tenda dan memanggil sejumlah sesepuh yang biasanya menggelar syuro terlebih dahulu sebelum memutuskan pergerakan pasukan. Pangeran Diponegoro kemudian kembali bertanya pada salah seorang laskar puteri yang masih duduk bersimpuh di hadapannya.
“Siapa nama kalian dan darimana asal kalian?”
Masing-masing dari ketiga laskar puteri tersebut menyebutkan namanya, yaitu Arum, Asih, dan Retnowati. Mereka dari Wonosari, Krapyak, dan Kedu.
“Jika kalian lelah, kalian bisa istirahat terlebih dahulu di tenda keputerian tidak jauh dari sini. Ki Singalodra bisa mengantarkan kalian.”
“Terima kasih Kanjeng Pangeran. Alhamdulillah, kami tidak lelah. Kami akan segera kembali ke Selarong. Adakah pesan atau perintah Kanjeng Pangeran kepada kami semua di sana?”
“Ya. Tolong sampaikan kepada rakyat Mataram yang ada di Selarong, agar mereka tidak perlu takut. Takutlah hanya kepada Allah subhana wa ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya. Kita semua akan segera kembali ke sana dan akan terus berjuang hingga agama Allah ini tegak. Sampaikan juga rasa terima kasihku karena kesetiaan mereka dengan perjuangan ini. Mungkin itu saja.”
Ketiga laskar puteri tersebut kemudian pamit dan keluar dari tendanya. Pangeran Diponegoro memerintahkan agar Ki Singalodra mengawal ketiga tamu itu hingga ke batas Sendangsari.
Bersamaan dengan pulangnya ketiga tamu itu, para sesepuh seperti Kiai Modjo, Pangeran Bei, dan yang lainnya terlihat berjalan mendekati tenda Diponegoro. Mereka segera menggelar musyawarah kecil dan akhirnya sepakat jika malam itu juga seluruh pasukan akan kembali ke Selarong.
“Insya Allah, kita akan sampai jauh sebelum ayam jantan berkokok,” ujar Pangeran Diponegoro. Yang lain mengaminkan. []
Bab 41
KOLONE KAPTEN BOUWENSCH TIBA KEMBALI di Benteng Vredeburg saat hari masih gelap. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, Bouwensch langsung melaporkan semuanya kepada Kolonel Von Jett yang masih saja berada di ruangan kerjanya. Dengan wajah mengantuk, Kolonel Von Jett mendengarkan semua laporan kapten yang bertanggungjawab atas keamanan di seluruh wilayah Karesidenan Ngayogyakarta Hadiningrat itu.
“Kami sengaja tidak menduduki Selarong karena tidak ada urgensinya. Dan dengan kejadian ini, kami berkesimpulan jika pasukan pemberontak belumlah cukup kuat untuk melakukan ancaman langsung ke Yogya. Mereka masih dalam tahap menghimpun kekuatan dan belum mencapai situasi yang cukup untuk berhadapan dengan kita di sini.”
“Ya, ya, bisa jadi itu memang benar,” ujar Kolonel Von Jett. “Namun kamu juga tidak boleh lengah dengan keberadaan mereka. Ingat, mereka sudah berani menghadang kita di Pisangan dan merebut semua senjata kita di sana…”
“Saya kira mereka itu nekat saja. Dan keberuntungan saat itu kebetulan berada di pihak mereka, Kolonel.”
“Mungkin saja demikian…”
“Bagaimana dengan perjalananmu, pergi dan pulang?”
“Aman, Kolonel. Pasukan perintis kita sudah menyingkirkan semua blokade dan rintangan yang mereka buat untuk menghalangi jalan kita. Jalur dari sini ke Selarong sudah aman.”
“Apakah kamu menempatkan pasukanmu di sepanjang jalan itu?”
“Tidak.”
Tiba-tiba Kolonel Von Jett tertawa. Sebentar. Kemudian terdiam dengan tatapan mata yang tajam ke arah Bouwensch. Kapten Bouwensch yang berdiri di hadapannya bingung.
“Kapten! Sudah berapa lama Anda mengamankan karesidenan ini!”
“Siap, Kolonel! Sudah…”
Belum selesai Bouwensch menjawab, Von Jett menukas, “…Anda tidak menempatkan pasukan Anda di sepanjang jalur ke Selarong. Hanya menyingkirkan semua rintangan yang ada. Bagaimana Anda bisa meyakinkanku jika jalur itu sudah aman sekarang! Pemberontak itu bisa saja setiap waktu kembali memblokade dan membuat rintangan-rintangan di jalan itu dengan bebas. Kapten, Anda benar-benar memalukan dengan jawaban itu!”
Bouwensch menyadari kesilapannya. Dia benar-benar tidak bermaksud meyakinkan keamanan jalur itu selamanya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah salah omong. Dan Kolonel Von Jett sudah menelannya mentah-menatah. Tapi bagaimana pun dia harus membela diri.
“Siap, Kolonel! Saya memang salah dengan kalimat itu. Saya hanya ingin menegaskan jika selama perjalanan, pergi dan pulang, jalur itu sudah kami bersihkan. Itu saja…”
Von Jett duduk dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Anda memang salah Kapten. Tapi sudahlah. Pemberontak memang sudah ada di mana-mana. Sekarang kamu istirahatkan pasukan dan bekerjalah kembali seperti biasa. Dan untuk kamu, jangan jauh-jauh dari benteng ini.”
“Siap, Kolonel! Terimakasih!”
Bouwensch pun menghormat dan balik badan, langsung keluar dari ruangan Kolonel Von Jett. [] (Bersambung)