Satu jam sebelum memberangkatkan pasukannya, Bouwensch terlebih dahulu mengirim satu regu perintis dengan kawalan pasukan bersenjata yang bertugas mengamankan akses jalan menuju Selarong. Menurut sejumlah mata-mata, pergerakan laskar dan simpatisan pemberontak sangat luar biasa. Hanya dalam radius yang sangat sempit, semua akses jalan yang berdekatan dengan Vredeburg dan Kraton sudah banyak yang dirusak atau dipasang jebakan dan blokade, berupa lubang-lubang atau pengrusakan jalan yang disengaja, pohon-pohon besar yang ditumbangkan dan batangnya dibiarkan melintang menutupi jalan, pemampatan aliran air hingga air meluber ke jalan tanah membuat jalan menjadi becek bahkan gembur, penimbunan jalan oleh batu-batu kali, dan sebagainya. Pasukan perintis bertugas menyingkirkan semua itu agar pergerakan pasukan penyerang yang di antaranya membawa kereta meriam yang berat yang ditarik kuda bisa lebih lancar.
Tentu saja hal ini membuat lambat pergerakan pasukan Belanda. Laskar Diponegoro yang hanya terdiri dari pasukan berkuda dan berjalan kaki-kavaleri dan infanteri-jauh lebih cepat ketimbang pasukan Belanda. Sebab itu, ketika pasukan Diponegoro telah tiba di Sendangsari dan membuat perkemahan di tengah rerimbunan hutan di sepanjang tepian Kali Progo, Kapten Bouwensch dan pasukannya baru beranjak beberapa kilometer dari Vredeburg.
Wilayah Selarong sendiri sudah benar-benar bersih dari laskar dan juga lelaki dewasa. Yang tinggal di desa itu cuma perempuan dan anak-anak. Semua lelaki yang sudah dianggap besar sengaja diperintahkan meninggalkan desa untuk sementara waktu. Ini dilakukan untuk menghindarkan mereka dari sasaran kemarahan Belanda yang dipastikan gagal menemukan Diponegoro dan laskarnya.
Tanpa diketahui siapa pun, sebagian anggota laskar perempuan di bawah komando Raden Ayu Retnaningsih tetap tinggal di Selarong dan berpura-pura menjadi warga sekitar. Mereka diperintahkan menggali informasi tentang kekuatan pasukan Kapten Bouwensch, dan juga memberi rasa aman kepada penduduk asli Selarong.
Seperti halnya Trisat Kenya atau Bregada Langen Kesuma, laskar puteri Diponegoro juga memiliki kecakapan tempur terlatih dan olah kanuragan yang tinggi, sehingga srikandi-srikandi ini, walau diluarnya tampak lemah gemulai, namun menyimpan kekuatan dan keberanian yang dahsyat.
Lewat tengah malam, pasukan Kapten Bouwensch telah tiba di perbatasan terluar Desa Selarong. Mereka tidak langsung masuk, namun mengirim pasukan pelopor terlebih dahulu, yang terdiri dari tiga regu pasukan infanteri bersenjatakan senapan flintlock[1] dan pedang, dan mengikuti pasukan itu dari belakang. Pasukan pelopor terdiri dari gabungan pasukan Eropa dan Legiun Mangkunegaran yang semuanya berkuda serta dilengkapi pedang serta karaben Musketon.
Situasi di sekitar Gua Selarong sangat sepi. Pasukan Bouwensch dengan amat leluasa masuk dan menyisir seluruh bagian tanpa menemukan seorang laskar pun. Sadarlah Bouwensch jika pergerakan pasukannya sudah tercium oleh pasukan Diponegoro. Walau geram, dia mengakui jika pasukan mata-mata Diponegoro kali ini ternyata lebih lihai dibanding Belanda.
Setelah setengah jam menyisir wilayah itu tanpa hasil, Kapten Bouwensch memutuskan untuk kembali ke Vredeburg dan tidak mempertahankan Selarong. Diajuga tidak memerintahkan pasukannya untuk menyisir di luar wilayah Selarong, sesuatu yang amat berbahaya karena sikap permusuhan rakyat pribumi terhadap Belanda semakin memuncak disebabkan pemberontakan Diponegoro dan para pangeran lainnya ini. Namun Bouwensch juga menilai, dengan menyingkirnya para pemberontak dari pasukannya, maka itu berarti kekuatan pemberontak masih lemah.
Kepergian pasukan Bouwensch dari Selarong diikuti oleh pandangan mata ratusan perempuan pribumi dan anak-anak, yang di antaranya anggota laskar puteri Diponegoro. Mereka lega, strategi menahan diri mereka berhasil. Belanda akan mengira mereka masih lemah. Dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk memperkuat pasukan dan mengepung Yogyakarta nantinya. []
Bab 40
INGIN SEKALI SESUNGGUHNYA KI SINGALODRA membunuh sebanyak-banyaknya pasukan Belanda. Dia yakin, dia mampu melakukan itu. Tapi karena Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya memilih untuk menggunakan taktik menghindar sementara, dia mau tidak mau harus patuh dan taat dengan keputusan syuro itu.
Lewat tengah malam, Ki Singalodra dikejutkan oleh suara derap kaki kuda yang kian lama kian mendekat ke arah perkemahan mereka di tepian Kali Progo dekat dengan wilayah Sendangsari. Lelaki yang tengah tertidur di bawah pohon di luar arena perkemahan itu segera bangkit dan berdiri untuk melihat siapa yang datang malam-malam begini. Penglihatannya yang tajam menangkap tiga penunggang kuda perempuan yang tengah memacu kudanya menuju perkemahan.
Pasukan telik sandi Laskar Puteri!
Ki Singalodra melompat keluar dari rerimbunan semak dan melambaikan tangannya kepada tiga laskar puteri penunggang kuda tersebut.
“Tahan! Tahan! Aku Singalodra! Ada kabar penting rupanya.”
Ketiga penunggang tersebut menarik tali kekang kudanya dan berhenti hanya dalam jarak dua meter dari tempat Ki Singalodra berdiri. Mereka memberi salam yang segera dijawab oleh Ki Singalodra.
“Ki Singalodra, kami utusan dari Raden Ayu Retnaningsih untuk menyampaikan kabar terbaru dari Selarong…”
“Ya. Saya tahu.”
“Bisakah kami diantar menemui Kanjeng Pangeran Diponegoro?”
Ki Singalodra menganggukkan kepalanya. “Sebentar,” katanya. Kemudian lelaki itu mengeluarkan suara burung gagak dan dari rerimbunan semak keluar seekor kuda hitam yang berjalan perlahan menghampiri tuannya. Ki Singalodra pun segera melompat ke punggung kudanya itu.
“Mari ikut saya!”
Ki Singalodra berjalan di depan, diikuti ketiga laskar perempuan yang menyelipkan keris dan trisula di pinggangnya. Mereka berempat tidak dapat memacu kudanya kencang-kencang karena jalan tanah yang sempit dengan banyak suluran akar pohon di bawahnya. Beberapa kali mereka bahkan harus menundukkan kepala dan merendahkan badannya agar tidak terkena cabang dan batang pohon di hutan ini yang menjalar ke mana-mana. Tidak sampai setengah jam kemudian, hamparan rumput hijau yang tidak terlalu luas membentang di depan mereka. Di bawah sorot cahaya rembulan yang agak redup, hamparan rumput itu tampak sarat dengan misteri. Di ujung hamparan rumput tersebut, terlihat tenda-tenda pasukan Diponegoro yang disamarkan vegetasi sekitarnya. (Bersambung)
[1] Senapan Flintlock merupakan senjata api laras panjang yang harus diisi kembali dengan bubuk mesiu setiap melepas 12 kali tembakan. Kelemahan jenis senjata ini adalah bubuk mesiu yang dimasukkan harus benar-benar kering. Sebab itu, jika musim hujan, senapan ini sering tidak berfungsi karena bubuk mesiu menjadi lembab.