Bab 35
NAFAS KAPTEN KUMSIUS TERDENGAR SEPERTI lokomotif tua yang kelebihan beban. Setelah memacu kudanya sejauh lebih kurang 7 paal atau 10 kilometer, hingga mencapai Yogyakarta, Kumsius tiba di Benteng Vredeburg dan langsung menghadap Kolonel Von Jett yang sudah tiba terlebih dahulu dari Semarang. Dengan suara tersengal, Kumsius melaporkan tragedi yang baru saja dialaminya.
Demi mendengar laporan anak buahnya, Kolonel Von Jett segera memerintahkan Letnan Delatree untuk memimpin satu detasemen kavaleri untuk secepatnya membantu pasukan Belanda yang sedang disergap pemberontak di Pisangan. Dalam waktu singkat, Letnan Delatree pun berangkat bersama pasukan berkudanya meninggalkan debu musim panas yang beterbangan sepanjang jalan.
Kolonel Vont Jett sendiri memerintahkan agar Kapten Kumsius beristirahat di salah satu barak Benteng Vredeburg dan sesegera mungkin membuat laporan tentang kejadian yang baru saja dialami.
Tak sampai satu setengah jam kemudian, Letnan Delatree dan pasukannya tiba kembali. Sama seperti Kapten Kumsius, Letnan Delatree dengan nafas tersengal juga melaporkan bahwa musuh yang sekarang sudah mengenakan seragam pasukan Belanda tiba-tiba menyerangnya, sedangkan pasukan yang dipimpinnya benar-benar tidak siap menghadapi musuh yang disangka ‘teman sendiri’.
“Para pemberontak itu mengenakan seragam pasukan kita. Semua senjata kita juga sudah berada di tangan mereka. Dari jauh kami mengira jika mereka itu sisa-sisa dari pasukan Kapten Kumsius yang berhasil lolos dari penyergapan. Ternyata kami keliru. Mereka ternyata para pemberontak yang mengenakan seragam kita dan tiba-tiba saja menyerang dengan membabi-buta. Kita tidak siap!”
Kolonel Von Jett sungguh-sungguh geram. “Berapa anggota pasukanmu yang tersisa!”
“Begitu kami menyadari musuh, kami hanya bertempur sebentar dan segera menyelamatkan diri kembali ke sini. Korban di pihak kita tidak banyak, Kolonel. Mereka terlalu kuat dan jumlahnya pun banyak sekali…”
Von Jett mengangguk-angguk. Dia baru sadar jika Belanda sekarang tidak bisa menganggap remeh kekuatan pasukannya Diponegoro. Setelah menerima laporan dari Letnan Delatree, Von Jett segera bertemu dengan Residen Yogyakarta Anthonie Hendriks Smissaert, Asisten Residen Chevallier, dan juga Patih Dalem Danuredjo IV, untuk membahas perkembangan terakhir. []
Bab 36
GURAT KEGEMBIRAAN TERPANCAR JELAS DI wajah seluruh laskar Mulyo Sentiko yang dalam waktu seharian telah memetik sekaligus dua kemenangan gemilang: menghancurkan kolonel pimpinan Kapten Kumsius dan memukul mundur detasemen kavalerinya Letnan Delatree. Mulyo Sentiko yang juga mengenakan seragam pasukan Belanda lengkap dengan pedang panjangnya memimpin di depan barisan. Sedangkan seluruh laskarnya yang juga berseragam pasukan Belanda lengkap dengan topi dan atributnya, juga semua senjata yang bisa direbut, mengikutinya dari belakang. Dengan penuh kebanggaan, laskar ini terus bergerak menuju Gua Selarong.
Ba’da Asyar, ketika Pangeran Diponegoro, Kiai Modjo, Ustadz Taftayani, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bei, dan lainnya tengah berkumpul di Gua Kakung, di batas terluar wilayah Selarong sekira seratus meteran dari pelataran luas di bawah tangga menuju gua, dua orang prajurit jaga-Luthfi dan Manto-yang sedang berada di posnya tampak gugup. Mereka memicingkan mata, berusaha sekuat tenaga memperjelas penglihatannya, jauh melampaui hamparan sawah dan kebun di ujung jalan, tampak barisan panjang pasukan kavaleri dan infanteri Belanda tengah mendekati mereka dengan perlahan.
“Jahanam! Londo wis uedan![1] Siang-siang begini mereka mau menyerang kita!” jerit Luthfi. Laskar Selarong yang berasal dari Arab-Pekalongan ini kepalanya turun-naik seperti burung onta dengan sebelah mata ditutup dan dipayungi sebelah tangannya untuk memastikan apakah iring-iringan pasukan yang masih jauh itu sungguh-sungguh Belanda atau bukan.
“Kowe ojo kesusu[2]. Lihat dulu baik-baik…,” ujar Manto yang juga memicingkan matanya. Manto masih ragu apakah benar pasukan Belanda akan mendatangi Gua Selarong siang-siang begini. Dia masih ragu. Tapi semakin dekat, tampaknya apa yang dicemaskan Luthfi cukup beralasan juga. Apalagi dari kejauhan, seseorang dari ‘pasukan Belanda’ itu yang berada di paling depan tiba-tiba tampak memacu kudanya sendirian kencang-kencang mendatangi mereka. Kontan, keduanya bersiaga. Baru saja keduanya hendak melompat ke atas kuda, terdengar teriakan yang tidak asing di telinga mereka.
“Assalamu’alaikum! Ini saya, Mulyo Sentiko!”
Luthfi yang sudah berada di atas kuda hendak mengambil langkah seribu menahan tali kudanya. Sedangkan Manto yang masih berada di bawah menyambut kedatangan Mulyo Sentiko yang sore itu tampak gagah dengan seragam kavaleri Belandanya. Keduanya bernafas lega karena awalnya mereka menyangka jika pasukan Mulyo Sentiko adalah pasukan Belanda yang hendak menyerang mereka.
“Uedan kowe, dapat dari mana seragam kafir londo itu?”
Mulyo Sentiko terkekeh, “Pasukanku baru saja mengalahkan wong kafir itu. Ambrol mereka!”
Manto geleng-geleng kepala. Demikian pula dengan Luthfi.
“Alhamdulillah!” ujar Manto. Prajurit jaga itu kemudian menyuruh Luthfi yang sudah kadung berada di atas kuda menghantarkan Mulyo Sentiko dan pasukannya ke Gua Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Sebaiknya Paman terlebih dahulu masuk ke Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman yang lainnya. Dan pasukan yang lain mengikuti dari belakang…” Ujar Manto.
“Matur Nuwun…!” jawab Mulyo Sentiko yang kemudian langsung menggebrak kudanya mengikuti Luthfi yang telah berlari duluan.
Kedatangan Mulyo Sentiko dan anggota pasukannya yang mengenakan seragam Belanda dan membawa serta aneka persenjataan, serta uang yang cukup banyak, sangat menggembirakan seluruh laskar Diponegoro yang berada di sekitar Selarong. Mereka mengelu-elukan barisan laskar berseragam Belanda yang baru saja memenangkan pertempuran melawan kaum kafir itu.
Mengetahui kedatangan laskar dari Pisangan ini, Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya keluar dari gua dan menyambut Mulyo Sentiko dengan penuh haru.
“Insya Allah, kemenanganmu tadi merupakan awal dari kemenangan perjuangan kita untuk mengusir kaum kafir penjajah dari Bumi Mataram yang kita cintai ini.”
“Amien Ya Rabb al’amien… Terima kasih Kanjeng Gusti Pangeran…,” jawab Mulyo Sentiko. []
[1] (Bahasa Jawa kasar): “Jahanam! Belanda sudah gila!”
[2] (Bahasa Jawa kasar): “Kamu jangan terburu-buru” atau “Kamu jangan gegabah.”