Bab 31
JARAK DARI TEGALREDJO KE DEKSO yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo[1] memang tidak begitu jauh. Namun juga tidak bisa dibilang dekat. Apalagi rombongan Pangeran Diponegoro selalu menghindari jalan besar. Rombongan ini selalu memilih lewat jalan-jalan kecil, jalan setapak, bahkan harus menembus rapatnya belukar hutan, pematang sawah, pinggir kali dan jurang, dan yang lainnya hanya dengan mengandalkan cahaya bulan. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan keberadaan mereka dari intaian mata-mata Belanda dan Danuredjo.
Sebab itu, setelah beberapa kali berhenti untuk beristirahat, sholat, dan juga makan, rombongan ini baru tiba di Dekso menjelang tengah malam. Setelah melepas anak-anak, para emban, dan beberapa lainnya yang bukan kombatan, rombongan kembali berjalan menerabas hutan menuju selatan. Sesuai dengan arahan Mangkubumi dan Susuhunan Pakubuwono VI, mereka akan menuju wilayah Gua Selarong yang sangat strategis.
Perjalanan dari Dekso ke Selarong juga tidak mudah. Mereka harus menyeberangi Kali Progo yang di musim panas seperti bulan Juli ini airnya surut sehingga bisa dilalui, walau tetap harus berhati-hati karena bebatuannya licin dan banyak ular. Mereka juga harus menyeberangi beberapa kali kecil seperti Kali Konteng dan lainnya.
Mendekati Gua Selarong yang berada di wilayah Bantul, hari sudah menjelang pagi walau matahari belum menampakkan wajahnya. Beberapa dari anggota rombongan tampak kelelahan dan mengantuk, bahkan ada yang sampai tertidur di atas kudanya, namun tidak demikian dengan Pangeran Diponegoro, Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya. Mereka sudah terbiasa di dalam hidupnya menyedikitkan tidur dan memperbanyak sholat sunnah, zikir, dan ibadah lainnya.
Adzan subuh bergema tepat ketika mereka memasuki batas Desa Selarong di mana Ki Guntur Wisesa dan banyak laskarnya sudah menunggu di kedua sisi jalan.
“Ahlan wa sahlan, Kanjeng Pangeran!” sambut Ki Guntur Wisesa ketika menyambut kedatangan Pangeran Diponegoro dan yang lainnya. Kedua pasukan bertemu dan saling berangkulan. Beberapa di antara mereka sampai menetaskan airmata haru. Persaudaraan di dalam Islam memang sedemikian indah. Walau banyak yang tidak saling mengenal, namun ukhuwah Islamiyah yang tlah tertanam di dalam dada mereka membuat semuanya merasa sebagai satu bangunan yang kokoh, yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
“Kanjeng Pangeran, subuh telah tiba. Mari kita ke masjid terlebih dahulu,” ajak Ki Guntur Wisesa yang segera membawa pasukan besar itu ke sebuah masjid sederhana yang tidak begitu jauh dari gerbang desa. Walau masjid kecil, tapi halaman rumputnya luas sehingga sebagian pasukan bisa turut mengikuti sholat subuh berjamaah di halaman tersebut.
“Kanjeng Pangeran dan yang lainnya silakan sholat terlebih dahulu. Kami akan berjaga-jaga di sini bergantian,” ujar Ki Guntur.
Setelah menunaikan sholat, semuanya berjalan beriringan menuju Gua Selarong yang berada di ketinggian bukit, dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Para senopati dan ulama pendekar sendiri berkumpul untuk melakukan musyawarah mengenai pelaksanaan strategi pertahanan dan penyerangan melawan pasukan kafir Belanda dan para murtadin lainnya yang menjadi kaki tangan penjajah. []
Bab 32
ORANG-ORANG KAMPUNG BERLARIAN MENYAMBUT datangnya barisan panjang laskar Pangeran Diponegoro di Selarong. Mereka, tua dan muda, berteriak-teriak kegirangan.
“Kanjeng Pangeran Diponegoro datang! Kanjeng Pangeran Diponegoro datang!”
Pagi-pagi buta itu, di mana hawa masih terasa dingin mengigit tulang, kaum perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua, bergegas keluar dari rumahnya dan berdiri di pinggir jalan. Takbir berulang-ulang diteriakkan memenuhi langit. Dari atas Kiai Gentayu, kuda hitam dengan ‘kaus kaki’ putih di keempat kakinya, Pangeran Diponegoro dengan mengenakan jubah dan sorban serba putih terus menebar senyum dan membalas takbir dengan tak kalah semangat. Pangeran Bei dan Mangkubumi, disertai Senopati Ki Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan Ki Singalodra, berkuda di sekeliling Diponegoro.
Di bagian belakang rombongan, tak kurang sekira limaratus meter dari keberadaan Pangeran Diponegoro di depan, terlihat di kejauhan satu pasukan besar dipimpin dua lelaki yang mengenakan jubah dan sorban putih, sebagaimana Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi pakai. Pasukan besar itu mengibarkan satu panji berwarna hitam.
“Siapa mereka?” ujar Abdullah pelan. Lelaki yang menjabat sebagai kepala regu yang bertugas mengamankan bagian paling belakang barisan Diponegoro, bersama sepuluh anak buahnya, langsung berbalik arah dan menunggu mereka. Sedangkan pasukan yang lain melanjutkan perjalanan ke Gua Selarong dengan perlahan.
Abdullah menghela kudanya perlahan, diikuti anak buahnya. Mereka berjalan berlawanan arah dengan rombongan Diponegoro untuk menyambut kedatangan pasukan besar yang masih terlihat di kejauhan sedang memasuki gerbang desa dengan sikap waspada. Ketika jarak di antara mereka sudah sekira seratusan meter, Abdullah menarik nafas lega. Dari jauh dia sudah mengenali dua lelaki berjubah dan bersorban di depan pasukan besar.
“Kanjeng Kiai Modjo dan Kiai Ghazali…,” desisnya gembira.
Kiai Ghazali adalah anak dari Kiai Modjo. Mereka berdua telah menyusul Diponegoro ke Selarong membawa serta pasukan Boelkiyo, pasukan khusus yang mendapat gemblengan dari Kiai Modjo dan ulama pendekar lainnya di Surakarta.
“Topo, cepat kau lapor pada Kanjeng Pangeran bahwa Kiai Modjo dan pasukannya sudah menyusul kita di Selarong!” ujar Abdullah.
Sutopo, salah seorang laskar dari Sambiredjo segera memacu kudanya melewati rombongan pasukan dari samping jalan menuju ke bagian depan di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada. Sedangkan Abdullah dan beberapa anak buahnya tetap menunggu laskar Kiai Modjo yang menurut kabar memang sudah berangkat dari Surakarta kemarin siang, sebelum terjadi penyerangan Belanda ke Tegalredjo.
Pasukan besar itu kian dekat. Abdullah benar. Panji hitam yang dilihatnya sekarang sudah menampakkan tulisan syahadatain di bagian tengahnya yang dibuat dari sulaman benang emas sehingga tulisan arab itu bercahaya ditimpa sinar mentari pagi yang baru saja muncul di ufuk timur. Sosok Kiai Modjo dan Kiai Ghazali pun sudah tampak jelas. Dia segera menyongsong ke depan.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh! Ahlan wa sahlan Kiai!” ujar Abdullah lantang seraya menggebrak kudanya mendekati Kiai Modjo dan Kiai Ghazali.
Kiai Modjo tersenyum. Ulama besar dari daerah Modjo di Surakarta itu membalas salam dari Abdullah. [] (Bersambung)
[1] Progo adalah nama sebuah sungai besar di sebelah barat Yogyakarta yang berhulu di Puncak Gunung Merapi di utara Yogya dan bermuara di Pantai Selatan. Kulon Progo berarti “sebelah barat Kali Progo”.