Bab 24
DENTUMAN MERIAM BELANDA TERDENGAR KERAS hingga ke dalam Puri Tegalredjo. Disusul bunyi tembakan yang begitu ramai bersahut-sahutan. Suara itu kian lama kian nyaring, menandakan pasukan Belanda semakin dekat. Semua laskar bersiap dengan senjata di tangan. Ada yang menjaga bagian luar dinding puri, ada yang berjaga di dalam. Pintu gerbang utama sendiri dijaga seratusan laskar bersenjatakan pedang dan beberapa pucuk senapan, dipimpin langsung Senopati Joyo Nenggolo.
Di sekitar kompleks Puri Tegalredjo, ratusan warga desa dengan senjata seadanya juga turut berjaga-jaga. Bahkan di antara mereka ada yang menyongsong pasukan Belanda yang datang dari utara, timur, dan selatan. Mereka menyambut musuh dengan begitu bernafsu bagai menyambut datangnya gadis jelita untuk dipinang. Teriakan-teriakan penyemangat dan takbir membahana di angkasa. Rakyat yang setiap hari akrab dengan cangkul dan sawah, hari itu berlarian menjemput pasukan Belanda tanpa rasa takut sedikit pun dengan senjata seadanya di tangan. Kecintaan mereka kepada Pangeran Diponegoro dan agama Islam membuat mereka rela berkorban jiwa dan raga. Mati satu tumbuh seribu.
Di tengah ketegangan itu, Ki Singalodra kehilangan Pangeran Diponegoro. Dia terus berkeliling, memanjangkan leher ke kiri dan ke kanan mencari orang yang harus dilindunginya. Namun sosok Pangeran Diponegoro tidak ada juga, bagai hilang ditelan bumi. Ki Singalodra terus berdiri di ruang terbuka antara rumah utama dengan masjid, duapuluh meter dari dinding bagian barat Puri Tegalredjo.
Pangeran Bei masih berada di dalam pendopo utama. Dia menerima sejumlah kurir yang melaporkan dengan cepat bahwa pasukan Belanda ternyata tidak saja menyerang dari arah timur, tapi juga utara dan selatan. Sedangkan di bagian barat, lebih sedikit terbuka.
Tiba-tiba sisi kiri gapura utama yang berada di selatan kompleks puri meledak dan hancur terkena peluru meriam. Bunyinya begitu keras. Setelah asap menghilang, bagai air bah, gabungan pasukan Belanda dan Legiun Mangkunegaran mulai merangsek masuk ke dalam kompleks puri. Pasukan kafir dan murtadin itu langsung disambut oleh tombak dan sabetan pedang oleh laskar Diponegoro. Duel jarak dekat terjadi. Puri Tegalredjo mulai dibasahi darah. Bumi Mataram kembali bergolak.
Belanda ternyata tidak saja membawa peluru meriam konvensional, namun juga peluru bakar[1], sehingga dari mulut meriam berukuran sedang itu terlontar bola-bola api yang menyala yang langsung membakar apa pun yang dikenainya.
Ki Singalodra menyaksikan bangunan utama Puri Tegalredjo mulai terbakar. Api mulai menjilat atapnya yang terbuat dari bambu dan daun rumbia. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memadamkannya. Sambil terus mengayunkan pedang untuk membunuh pasukan Belanda dan kaum murtadin sebanyak-banyaknya, matanya masih sibuk mencari-cari keberadaan Pangeran Diponegoro.
Lama-kelamaan jumlah prajurit Belanda dan para murtadin itu kian banyak. Mereka sudah berada sangat dekat dengan bangunan utama puri. Ki Singalodra dan sejumlah laskar pengawal utama Diponegoro mati-matian mempertahankan bangunan utama itu agar Belanda tidak memasukinya.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, Pangeran Diponegoro ternyata masih berada di dalam biliknya. Raden Ayu Retnaningsih jatuh pingsan setelah kepalanya tertimpa sebatang bambu menyala yang jatuh dari atap rumah. Sambil menggendong isterinya tercinta, Pangeran Diponegoro memerintahkan supaya para emban menggendong anak-anaknya satu persatu.
“Jaga anak-anak itu. Cepat ikuti saya!” teriaknya.
Walau membawa tubuh isterinya, namun Diponegoro bisa melompat , keluar melewati dinding bangunan utama puri yang sudah berlubang di satu sisinya. Kiai Gentayu juga sudah menunggu di dekat situ, seakan sudah tahu jika tuannya akan keluar dari lubang tersebut. Ki Singalodra merasa lega setelah melihat Pangeran Diponegoro masih hidup. Dengan cepat dia mendekati Diponegoro dan menjadikan dirinya sebagai tameng hidup.
“Lewat dinding barat saja, Kanjeng Pangeran. Tembok itu harus kita lompati. Semua arah sudah dikepung pasukan kafir!” teriak Ki Singalodra sambil tangannya menunjuk dinding sayap barat Puri Tegalredjo yang tingginya mencapai tiga meter dan tebal hampir satu meter.
“Tidak mungkin, Kisanak. Anak-anak sulit melompat! Sekarang kamu jaga isteriku ini dahulu!”
Dengan cepat dan hati-hati, Diponegoro membaringkan Raden Ayu Retnaningsih di atas Kiai Gentayu. Setelah itu dia berdiri tegak sejauh tiga meter dari dinding tebal tersebut. Di belakang Diponegoro, Ki Singalodra dan laskar yang lainnya membuat benteng hidup agar Belanda dan Legiun Mangkunegaran tidak mampu mencapai Sang Pangeran.
Pangeran Diponegoro sendiri menghadapkan badannya ke tembok besar itu. Sambil memejamkan mata, kedua tangannya terangkat ke atas dan mengepal. Secepat kilat dia kemudian berlari menerjang tembok, menubrukkan badannya, dan menghantamkan tangannya keras-keras. Suara menggelegar terdengar . Asap mengepul begitu pekat. Tembok tebal itu pun jebol berantakan bagai terkena peluru meriam yang besar.
Pangeran Diponegoro segera melompat ke punggung Kiai Gentayu di mana tubuh isterinya masih terbaring lemas. Dia mempersilakan Ki Singalodra dan yang lainya naik ke kudanya masing-masing, juga para emban yang masing-masing membawa satu anaknya.
“Cepat! Kita pergi ke barat!” teriaknya.
Baru saja rombongan hendak bergerak, tiba-tiba dari arah belakang sejumlah prajurit Belanda muncul dengan senapan flintclock siap tembak. Dalam hitungan sepersekian detik, para emban segera memacu kudanya melewati tembol yang jebol itu, diikuti Pangeran Diponegoro dan yang lainnya, termasuk Mangkubumi dan Pangeran Bei. Ukuran tembok jebol cukup besar, setinggi lebih dari dua meter dengan lebar hampir dua meter juga, sehingga bisa dilalui orang yang berkuda dengan leluasa.
(Bersambung)
[1] Peluru meriam konvensional di zaman itu hanya berupa bola-bola besi.Yang dimaksudkan peluru bakar adalah bola-bola besi yang sudah dilumuri ter dan dibakar sehingga ketika dilontarkan lewat mulut meriam, bola-bola api itu tidak hanya menghancurkan benda yang terkena namun sekaligus membakarnya.