Para jamaah menganggukkan kepalanya.
“Nah…,” lanjut Diponegoro, “…bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini? Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits palsu. Kita tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah Islam menjadi satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga, untuk menggapai cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya harus kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan dari thagut itu.
Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati maka pintu surga telah menanti, dan jika kita menang, maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran…”
“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…”
“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri di dalam surat al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi’an milatahum…” yang artinya, “Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah sudi, tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua akan tunduk mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan keyakinan mereka.
Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi dengan sukarela dari tanah Islam ini. Sebab itu kita harus menghimpun segenap kekuatan untuk memerangi dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.
Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa, adalah tanah milik kita yang diwariskan nenek moyang kita. Bukan tanah mereka. Tanah mereka ada di seberang samudera, nun jauh di Eropa sana. Sebab itu kita wajib mengembalikan mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka. Ini perang untuk menegakkan keadilan. Nanti setelah mereka kembali ke negerinya, maka kita akan bisa menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah Islamiyah…”
Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang pemuda berlari mendekati masjid sambil berteriak-teriak, “Kanjeng Gusti Pangeran! Kanjeng Gusti Pangeran..!”
Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid langsung melihat pemuda itu. Diponegoro mengenalinya sebagai salah seorang anggota pasukan Laskar Ki Joyosuto yang berasal dari Winongo.
Diponegoro bertanya, “Ada apa Kisanak berlari-lari seperti itu?”
“Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!”
“Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan dirimu dulu. Jika sudah tenang, ceritakan dengan jelas…”
Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran Diponegoro. Setelah menenangkan diri, walau nafasnya masih tersengal-sengal, dia mulai bercerita, “Tanah makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki Belanda. Mereka ingin membuat jalan dengan menerabas tanah itu Kanjeng Pangeran…”
Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang. Lelaki yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.
“Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar salah seorang pemuda yang lain.
“Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami sudah siap bergerak!” pekik yang lain.
Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir. Pangeran Diponegoro segera mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha untuk menenangkan semua pengikutnya.
“Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita, orangtua-orangtua kita. Saya sendiri akan berangkat memimpin barisan ini!”
Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari mengambil Kiai Gentayu-nama dari kuda hitam dengan warna putih di ujung keempat kakinya-beserta Kiai Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil keris dan menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu. Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-masing dan mengikuti Sang Pangeran.
Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak terlalu jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka di areal pemakaman yang dipenuhi batu-batu nisan. Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek jalan raya, tertancap begitu saja di antara nisan-nisan makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok yang ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam tanahnya.
Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti seluruh pengikutnya yang menyandang berbagai jenis senjata seperti keris, pedang, dan trisula. Sang Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang teramat sangat. Walau demikian dia mencoba untuk tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro tampak berusaha keras menguasai dirinya dari kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga dirinya serasa diinjak-injak.
Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut berlutut di sampingnya. Walau demikian, kedua matanya mengawasi keadaan sekitar dengan sikap sangat waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di dekat mereka berdua.
“Ki Guntur…,” bisik Diponegoro pelan.
“Dalem, Kanjeng Pangeran…”
“Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”
“Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya sekarang kita kembali saja ke Puri…”
Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia memanjatkan doa barang sebentar. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk pelan, “Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid sekarang juga.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”
Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar. Di hadapan para pengikutnya yang kian bertambah banyak sehingga membentuk satu pasukan berkuda yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia berteriak lantang,
“Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim! Tanah makam leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita telah dicederai. Mereka tidak saja menindas dan menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup. Para leluhur kita yang sudah mati pun mereka cemari. Sekarang juga, kita akan cabut semua patok-patok ini! Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu dengan tombak di sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan protes keras kepada kafir Belanda itu! Kita tunjukkan jika kita tidak pernah takut kepada orang-orang kafir itu. Allahu Akbar!”
Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya dengan gegap gempita. Langit Tegalredjo pagi itu membahana dengan teriakan takbir. Cahaya matahari yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah panas dengan dendam amarah yang memenuhi seluruh rongga dada.
“Sekarang kita semua bersiap! Bersiagalah! Siapa pun yang mencintai Islam sebagai agamanya, yang mencintai saya sebagai hamba dari Sang Khaliq, Allah subhana wa ta’ala, bergabunglah dalam barisan jihad ini. Mereka telah menantang kita, dan haram bagi kita untuk takut terhadap tantangan kafir Belanda itu! Bersiagalah. Tunggu perintah dariku. Siapkan perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan pun. Allah bersama kita!”
“Allahu akbar!” Pekik takbir membahana sekali lagi.
“Aku akan kembali ke Puri Tegalredjo. Siapkanlah diri kalian semuanya. Bismillah! Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!“
Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro memacu Kiai Gentayu kembali ke dalam puri diikuti Ki Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya. Debu membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang meninggalkan tanah makam. Suaranya benar-benar menakutkan.
Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di tanah makam. Mereka bekerja cepat mencabuti patok-patok kayu tersebut dan menggantinya dengan tombak yang mengelilingi tanah makam. Patok-patok kayu Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar hingga habis menjadi abu. [] (Bersambung)