Semalam Sulamin tak nyenyak tidur. Di telinganya terus terngiang kata-kata Sadeli, anak semata wayangnya. Sebulan lalu Sulamin telah berjanji pada Sadeli. Jika Sadeli puasa sebulan penuh pada ramadhan tahun ini, maka ia akan dibelikan baju baru, celana baru, dan sandal baru.
Bagi Sulamin, janjinya pada Sadeli sebenarnya agak berlebihan. Ekonomi yang serba pas-pasan, bahkan cenderung serba kekurangan membuat keluarganya jarang makan enak. Satu hal mengapa Sulamin memberi janji pada Sadeli, karena ia beranggapan bahwa tahun lalu anaknya itu berpuasa tak genap sebulan. Jadi, tak mungkin Sadeli akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
Akan tetapi Sulamin lupa. Sadeli kini telah genap berumur tujuh tahun. Sudah satu tahun pula ia belajar mengaji. Secara otomatis ia tahu apa arti puasa dan juga hikmah-hikmah puasa. Bahkan sebenarnya tanpa diberi iming-iming pakaian baru pun, Sadeli sudah berniat untuk puasa sebulan penuh pada ramadhan tahun ini.
“Pak. Bapak jadi belikan Sadeli baju, celana, dan sandal baru?” tanya Sadeli untuk kesekian kalinya.
“Mudah-mudahan, Nak.”
“Kok mudah-mudahan, Pak? Sebentar lagi kan mau lebaran.”
“Bapak sampai detik ini belum ada rezeki. Sabar ya, Le.”
“Ah, padahal si Dahlan, Amir, Husein, sudah pada beli baju baru. Malahan sudah ada yang dipakai,” sambung Sadeli dengan nada kecewa. Rupanya jawaban ‘mudah-mudahan’ dari Sulamin tak jua memuaskan hati Sadeli.
Sulamin mengeluh. Ia mengaduh. Diremas keningnya kuat-kuat. Lebaran tinggal menghitung hari. Namun tak sepeser pun uang di tangan. Ia bingung harus mencari uang dari mana. Hutang sudah tak mungkin. Tak ada lagi tetangga yang percaya apakah ia mampu membayarnya, sementara hutang-hutang yang lampau saja kini telah membukit.
Rupanya musim kemarau tahun ini membuat keluarga Sulamin bertambah payah. Dapur saja jarang berasap, sebab tak ada yang dapat dimasak. Terkadang ia hanya mengandalkan belas kasihan tetangga yang sudi membagi sepiring nasi. Selain itu, tak satu pun pemilik sawah memintanya untuk mencangkul, sebab hampir seluruh sawah telah mengering.
***
Sore membiaskan warna jingga matahari di balik pohon-pohon meranggas. Alih-alih menunggu magrib, Sulamin mendatangi pos ronda di ujung jalan. Ternyata di sana sudah ada beberapa orang yang sedang asyik mengobrol.
“Kenapa, Min. Kok kelihatannya loyo gitu. Sebentar lagi bedug magrib. Atau jangan-jangan kamu pura-pura loyo biar dikatakan puasa, padahal tadi siang kamu makan di warung Yu Minah,” ucap Kang Narto dibarengi cekikikan Sukir dan Jamil.
“Ah, sialan kamu, Kang. Biar pun kayak gini, aku juga puasa. Boro-boro ke warung, Kang. Buat buka puasa nanti saja tak ada yang dapat ditelan. Jadi, puasa ramadan bagiku tak ada bedanya, karena hampir tiap hari aku dan keluarga seperti puasa, Kang.”
“Yayaya…. Aku tahu, Min. Kita senasib. Tak hanya kamu, kami-kami ini juga sedang bingung. Musim kemarau kali ini benar-benar membuat stres. Tak ada yang dapat kami olah dalam periuk.”
“Betul, Kang,” sahut Sukir diamini Jamil.
“Tapi yang membuatku tambah bingung, Kang. Anakku terus merengek minta dibelikan pakaian baru. Kalian tahu sendiri, sebentar lagi mau lebaran. Untuk membeli semua itu dari mana coba. Untuk makan saja susah. Ah, dasar anak-anak! Sedikit-sedikit minta upah. Tapi sebenarnya salahku juga. Mengapa aku janjikan semua itu. Kukira Sadeli tak mungkin genap puasanya seperti tahun kemarin. Eh, sampai detik ini kulihat ia terus berpuasa. Sial!”
Semua hanya melongo mendengar ocehan Sulamin.
“Kau menyalahkan anakmu yang berpuasa, Min?”
“Tidak. Aku tak menyalahkan puasanya. Tapi aku menyalahkan diriku sendiri.”
“Min, kenapa nasib kita sama. Anakku, anak-anak Kang Narto, anak-anak Jamil juga sama. Mereka menuntut pakaian baru. Ah, mungkin memang sudah menjadi garis nasib bagi buruh macam kita ini ya, Min.”
Semua tampak hening. Dalam benak masing-masing terlintas pikiran yang tak jauh beda. Mengapa bernasib sama.
“Aku punya ide!” tiba-tiba suara Kang Narto memecah keheningan. “Mungkin sedikit konyol dan berisiko besar. Bahkan cenderung mempertaruhkan nyawa.”
“Apa itu, Kang?”
“Kamu ingat Darto Jembling?”
“Sudarto maksudmu, Kang. Yang orangnya berbadan tambun itu?”
“Memangnya ada apa dengan orang itu, Kang? Bukankah ia sudah mati?”
“Ya. Setahun silam ia tewas tertembus peluru polisi. Ia telah lama menjadi buronan karena menjadi pimpinan bajing loncat yang cukup meresahkan.”
“Lantas maksudmu, Kang?” tanya Jamil agak kurang mengerti.
Kang Narto terdiam.
“Ah, aku tahu jalan pikiranmu, Kang. Kamu mau mengajak kami jadi bajing loncat bukan?” ucap Sulamin.
Narto mengangguk, sementara yang lain tampak tak percaya dengan ajakan Kang Narto.
Suasana kembali hening.
“Mau gimana lagi? Perut kita tak dapat dikompromi dan rengekan anak-anak kita juga tak dapat dihindari. Sementara sampai detik ini, tak satu pun pekerjaan yang mampir ke tangan kita. Bagaimana menurut pendapat kalian?” tukas Narto.
“Benar juga ya, Kang. Aku juga sudah tak kuat dengan keadaan ini. Rasanya ingin minggat saja dari rumah biar tak ada beban. Aku setuju, Kang!” sahut Jamil dengan semangat.
“Habis lebaran, istriku kemungkinan juga melahirkan anak kami yang keempat. Aku belum punya persiapan apa-apa. Aku ikut sampean,” sambung Sukir.
Giliran Sulamin yang belum menyatakan keluhannya. Semua tampak memandang kearah Sulamin yang tertegun.
“Kamu bagaimana, Min. Bukankah kamu juga mengalami kesulitan yang sama dengan kami?” tanya Kang Narto.
“Mmmm…. Aku belum bisa jawab, Kang. Rasanya risikonya terlampau berat untukku. Lagi pula, mencuri bukankah perbuatan dosa? Apa lagi di bulan puasa seperti ini. Bisa-bisa dosa kita dilipatgandakan. Sudah niat saja dosa, apalagi melakukannya.”
“Alaaah… tak usah kamu ceramah pun kami sudah tahu, Min,” bantah Jamil.
“Iya, Min. Kamu ikut sajalah. Mau dikemanakan anak dan istrimu. Bisa-bisa mereka mati kelaparan. Atau jangan-jangan mereka mau kamu suruh makan tanah, hah?” ketus Sukir.
“Sudah-sudah. Sekarang kita bubar dulu. Bedug magrib sudah ditabuh. Kita pulang dan buka puasa dulu. Nanti malam, selepas tarawih, kita kumpul lagi. Tapi jangan di sini. Di rumahku saja,” ucap Kang Narto.
Semua tampak mengangguk, kecuali Sulamin. Akhirnya mereka pun membubarkan diri.
“Ah, lebaran,” sungut Sulamin, sambil berlalu.
***
Di rumah. Sulamin tak banyak bicara seperti biasanya. Dimakannya sekerat singkong bakar dengan tak berselera. Berbeda dengan anak dan istrinya yang tampak asyik mengganyang beberapa kerat singkong.
“Kenapa, Kang. Kamu tampak tak berselera dengan singkong itu?” tanya Sulastri.
“Entahlah, Las.”
“Hanya singkong bakar yang kita punya, Kang. Tak ada minyak lagi untuk menggoreng. Sementara beras tinggal secawan untuk sahur esok pagi.”
“Haruskah kita terus begini, Las. Akankah putus urat malu kita, jika kita berhutang lagi pada tetangga? Rasanya hambar jika mulutku ini setiap hari tersumpal oleh singkong.”
“Iya, Mak. Sadeli juga pengen buka puasa pakai roti seperti si Dahlan, Amir, Husein,” seloroh Sadeli dengan mulut penuh singkong.
Dipeluknya tubuh Sadeli erat-erat. Dielusnya rambut Sadeli dengan lembut. “Sabar ya, Nak. Besok pasti ada rezeki.”
Sulamin hanya terdiam. Otaknya terus berputar. Ia pun berpikir ulang untuk turut ajakan Narto.
***
Tiga orang laki-laki tampak asyik mengobrol di teras rumah. Di hadapan masing-masing teronggok segelas kopi yang agaknya mulai dingin.
“Ah, akhirnya kamu datang juga, Min. Lama juga kami menunggumu. Kami percaya, kamu pasti akan datang. Makanya kami setia menunggumu,” sambut Jamil dengan muka berseri.
“Sudah kamu pikir masak-masak, Min?” tanya Kang Narto.
“Sudah, Kang.”
“Jadi apa jawabanmu?”
“Aku ikut sampean.”
“Nah, gitu dong, Min. Kita itu musti kompak,” ucap Jamil sembari menepuk bahu Sulamin.
“Baik. Semua sudah sepakat dengan ajakanku. Sudah kubilang dari awal. Ini risikonya memang besar. Nyawa taruhannya. Tapi kita tak mungkin menutup mata dan telinga ketika medengar jerit tangis anak dan istri kita. Apa boleh buat. Kalau memang jalan ini yang harus kita tempuh. Jadi, begini …. “
Keempat laki-laki itu pun mulai berunding. Mereka menyusun rencana yang akan dilakukan. Sasaran utama mereka adalah truk-truk besar syarat muatan yang melintas di jalur pantura. Mereka akan mengambil barang-barang apa saja yang dapat menghasilkan uang. Mereka bersepakat untuk beroperasi pada malam hari.
***
Berita tentang munculnya bajing loncat kian meresahkan para pemilik muatan truk. Tak jarang mereka merugi. Sebab ketika sampai tempat tujuan, barang-barang telah berkurang. Hal inilah yang membuat mereka geram, lantas terpaksa mereka menyewa orang-orang untuk menjaga barang-barang muatan di dalam bak truk.
Lebaran tinggal menyisakan dua hari. Namun Sulamin dan kawan-kawan tetap terus beroperasi. Mereka kecanduan akan hasil-hasil curian. Keluarga mereka telah dapat tercukupi kebutuhannya, meski tak jarang rentetan pertanyaan memberondong sebab keluarga tahu mereka tak memiliki pekerjaan.
Namun sial tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pada operasi truk untuk kesekian kalinya, mereka harus berhadapan dengan orang-orang sewaan. Beradu otot di atas truk yang berjalan perlahan. Sukir memilih terjun bebas ke pinggir jalan. Lantas berlari ke dalam hutan dengan kaki terpincang-pincang. Sementara Kang Narto dan Jamil terus berkelahi dengan orang-orang sewaan. Akan tetapi dengan kepandaian yang tak mereka miliki, justru membuat mereka meregang nyawa. Di keremangan malam, Sulamin pun hanya melongo ketika tubuh teman-temanya dilemparkan ke pinggir jalan dan tak bergerak lagi. Sulamin gemetar. Parang di tangan ia lemparkan. Ia menyembah, minta ampun tatkala orang-orang sewaan datang menghampirinya.
***
Lebaran tiba. Sadeli tampak sumringah dengan pakaian barunya. Ia juga memamerkan pada teman-temannya. Lain halnya dengan Sulastri. Air mukanya kuyu. Sesekali ia seka air mata yang meleleh. Hatinya kecut. Diremasnya kertas putih dalam genggaman yang telah mengabarkan bahwa Sulamin telah dibui.
Sementara di sebuah kamar tahanan, Sulamin tampak benar-benar menyesali perbuatannya. Berulang kali ia memukul dinding. Rupanya ia harus ikhlas, sebab mulai tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, ia harus rela berlebaran di balik jeruji besi.
Kudus, Ramadhan 1434
Arman Marwoto <[email protected]>