Assalammualaykum wr wb…
Ada dua hal yang ingin saya tanyakan ke ustadz, antara lain:
1.Bagaimana hukumnyawali seorang wanita yang mana orang tuanya non muslim? Terus solusi yang dapat diambil bagaimana agar pernikahan tersebut sah menurut syariat Islam, dan apakah kita tetap punya kewajiban untuk minta ridho keduanya?
2. Bagaimana kewajiban anak kepada orangtuanya yang non muslim tersebut?
Demikian saja ustadz atas segala kebaikannya
Saya haturkan: jazakallah khairan jaza’.
Wassalammu’alaykum wr. wb…
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada 4 syarat mendasar yang harus terpenuhi agar seseorang bisa menjadi wali nikah, yaitu:
1. Islam
Seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini:
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.(QS. An-Nisa: 141)
2. Berakal
Seorang yang otaknya kurang waras, idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi seorang wanita.
3. Bulugh
Seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
4. Merdeka
Seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama Islam, berakal, baligh.
Tentang syarat yang pertama yaitu keharusan seorang wali nikah itu beragama Islam, berlakudengan satu pengecualian, yaitu pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab yang ayahnya juga seorang ahli kitab.
Dalam kasus itu, syarat keIslaman wali tidak berlaku, lantaran Al-Quran secara tegas menghalalkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Silahkan simak pada ayat berikut ini:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu (QS. Al-Maidah: 5)
Maka seorang non muslim ahli kitab (yahudi atau nasrani) boleh menjadi wali nikah, asalkan anak gadisnya yang akan dinikahkan itu beragama yahudi atau nasrani.
Namun bila anak gadis itu sudah masuk Islam, justru ayahnya yang masih non muslim tidak boleh menjadi wali nikahnya. Harus dicarikan wali yang lain dari keluarganya terlebih dahulu, yang tentunya masih ada rentetan hubungan perwalian. Dafar mereka secara berurutan adalah:
- Ayah kandung
- Kakek, atau ayah dari ayah
- Saudara (kakak/ adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
- Saudara (kakak/ adik laki-laki) se-ayah saja
- Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
- Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
- Saudara laki-laki ayah
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
Bila dari daftar orang-orang di atas tidak terdapat juga yang beragama Islam, maka yang berhak menjadi wali adalah penguasa yang sah.
Sikap Kepada Orang Tua Yang Non Muslim
Seorang muslim yang kebetulan punya orang tua non muslim, baik orang tua langsung atau mertua, tetap diwajibkan untuk menghormati dan mentaatinya dengan sebaik-baiknya. Kecuali bila perintah dan kehendaknya bertabrakan dengan aqidah dan syariah Islam. Maka dalam kasus itu tidak ada ketaatan dalam rangka maksiat kepada Al-Khaliq (Allah SWT).
Bahkan akan lebih baik lagi bila bisa bergaul dengan baik serta meraih simpatinya. Yang demikian itu akan membuat hatinya lunak dan semakin percaya terhadap kebenaran agama Islam.
Sebaliknya, bila kita bersikap ‘lain’ kepada orang tua yang masih non muslim, apalagi memperlakukannya dengan cara kasar, tidak sopan, atau bahkan kurang menghormati dan mengambil hatinya, boleh jadi mereka semakin anti pati terhadap Islam.
Jangan sampai kita menjadi penghalang orang lain untuk mendapat hidayah Allah, karena sikap-sikap kita yang kurang pada tempatnya.
Bahkan Rasulullah SAW ada sosok yang paling diberi banyak pujian oleh orang-orang musyrikin Makkah. Gelar Al-Amien yang sejak belia disandang, tetap melekat bahkan setelah beliau menjadi nabi dan dimusuhi lawannya. Tapi lawan-lawannya itu justru sangat mempercayai beliau untuk menitipkan harta dan barang kekayaan mereka. Hingga salah satu alasan keterlambatan beliau dalam berhijrah ke Madinah karena beliau sibuk mengembalikan titipan-titipan milik lawannya.
Bayangkan, lawan yang memusuhinya justru mempercayakan penitipan barang kepada dirinya. Tentu ini sebuah akhlaq yang teramat terpuji dan tidak ada tandingannya. Pantas saja Islam begitu mempesona dan membuat banyak pihak berdecak kagum. Ternyata rahasianya ada di tangan pribadi para pemeluk Islam itu sendiri, yang termasyhur dengan kesantunannya, keramahannya, kebaikan hatinya, serta selalu memberikan kesempatan kepada siapapun untuk mengagumi Islam lewat penerapan akhlaq yang indah.
Maka sudah selayaknya, keindahan akhlaq nabi SAW dalam bergaul dengan kalangan kafir kita jadikan teladan dan panutan serta contoh implemantatif. Bukanlah hal yang benar jika kita selalu menampilkan wajah Islam yang kasar, keras, antipati, sok benar sendiri, atau mudah melecehkan orang lain dan seterusnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc