Assalamu`alaikum wr wb
Bapak ustadz yang dirahmati Allah swt, saya bekerja di luar negeri sudah 5 tahun lebih dan saya mendengar berita bahwa isteri saya selingkuh dengan mantan pacarnya. Saya tanyakan sendiri pada isteri saya, dia bilang tidak. Dia bilang memang kadang curhat-curhatan lewat telefon dan menganggapnya sebagai teman biasa. Dan sejak itu saya malas untuk telefon mendengar suaranya. Dan saya sering SMS isteri saya bahwa cinta saya sudah hilang, lupakan saja saya, cari kebehagiaanmu sendiri. Apa kata-kata itu termasuk talak? Atas pencerahannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu`alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Untuk melepaskan hubungan suami isteri, cukup diucapkan sebuah lafadz talak dari seorang suami. Lafadz itu menjadi sebuah pernyataan pemutusan hubungan syar’i antara suami dan isteri yang sangat berat dan bernilai hukum tinggi. Beratnya seberat ketika suami dahulu mengucapkan qabul atas ijab ayah mertuanya.
Para ulama membagi dua jenis lafadz talak, yaitu lafadz sharih (eksplisit) dan lafadz kina’i (implisit). Dan masing-masing mengandung konsekuensi hukum yang berbeda.
1. Lafadz Sharih
Lafadz sharih adalah lafadz yang tidak bisa ditafsirkan dengan pengertian apapun kecuali hanya talak. Seperti perkataan suami pada isterinya, "Kamu sudah saya ceraikan." Ungkapan ini tidak bisa ditafsirkan selain hanya talak.
Bahkan meski diucapkan dengan main-main dan tidak diniatkan, umumnya para ulama mengatakan sudah jatuh talak.
2. Lafadz Kina’i
Lafadz kina’i adalah lafadz kebalikan dari sharih, yaitu lafadz talak yang masih mungkin ditafsirkan dengan banyak arti. Misalnya, seorang suami bilang pada isterinya, "Pulang saja kamu ke rumah orang tuamu." Ungkapan seperti ini bisa bermakna talak, tetapi mungkin juga maknanya hanya meminta isteri untuk berziarah ke rumah orang tuanya.
Adapun konsekuensi hukum dari ungkapan lafadz talak secara kina’i, semua kembali kepada niat dan tekad suami saat mengatakannya. Kalau saat mengatakannya dia berniat untuk mentalak isterinya, maka jatuhlah talak. Sebaliknya bila tidak dengan disertai dengan niat talak, maka tidak jatuh talak.
Sebagian ulama mengaitkan dengan konvensi (‘urf) atau kebiasaan yang terdapat di suatu masyarakat. Bila masyarakat telah mentradisi bahwa ungkapan seperti adalah talak, maka hukumnya adalah talak. Demikian juga sebaliknya.
Syariah Mempersulit Talak
Sebenarnya kalau kita perhatikan lebih seksama, syariah Islam tidak terlalu memberi kemudahan untuk proses talak. Paling tidak, kita mendapati ada sekian banyak prosedur yang telah ditetapkan yang intinya memberi kesempatan kepada suami untuk tidak jadi berpisah dengan isterinya.
Semua prosedur itu ibarat benteng-benteng pertahanan yang berfungsi menjaga agar ikatan suami isteri dan rumah tangga tidak mengalami kehancuran. Benteng-benteng itu antara lain:
1. Adanya lafadz kina’i
Tidak semua ungkapan yang bermaknatalaksecara tiba-tiba bisa menjatuhkan talak. Apabila lafadz itu tidak secara tegas menyebut lafadz talak (kina’i), maka belum tentu talak itu langsung jatuh.
2. Haramnya mentalak isteri saat sedang haidh
Seorang suami diharamkan Allah SWT untuk mentalak isterinya ketika sedang mendapat haidh. Ini adalah larangan yang mengakibatkan dosa di sisi Allah. Suami harus bersabar dan menunda niatnya untuk mentalak isterinya bila sedang haidh, hingga isterinya suci dari haidh. Dengan adanya larangan ini, siapa tahu suami akan berubah pikiran.
3. Haramnya mentalak isteri di masa suci setelah disetubuhi
Ketika sedang dalam keadaan suci dari haidh, juga tetap diharamkan untuk menceraikan isteri. Yaitu bila suami sempat menyetubuhi isterinya selama masa suci itu. Maka hingga mendapat haidh lalu masa suci berikutnya, haram bagi suami untuk menceraikan isterinya.
4. Masih adanya kesempatan untuk rujuk tanpa nikah ulang
Kalau pun seorang suami sudah bersabar dan menanti-nanti saat yang tepat untuk menceraikan isterinya, lalu begitu terbuka celah dia memanfaatkannya dengan menjatuhkan talak, tetap saja masih ada sejumlah benteng yang masih bisa berfungsi.
Benteng itu adalah masih terbukanya kesempatan selebar-lebarnya bagi suami untuk melakukan rujuk kepada isterinya sempat diceraikannya itu. Kesempatan ini dikatakan sangat terbuka lebar, karena memang sangat besar kesempatannya.
a. Suami tidak perlu menikah ulang, cukup diniatkan saja di dalam hatinya bahwa dirinya telah melakukan rujuk terhadap isterinya. Bahkan meski tanpa pernyataan apapun di depan isteri atau di depan siapa pun, rujuk itu sah secara hukum.
Sehingga bila pagi hari seorang suami menceraikan isterinya, kemudian malam harinya dia menyesal dan berubah pikiran, lantas mendatangi kamar isterinya dan masuk ke dalamnya untuk menggaulinya, sudah cukup terjadi rujuk.
b. Isteri yang baru saja ditalak suaminya, wajib tinggal di rumah suaminya itu. Haram baginya untuk keluar rumah kecuali atas izin suaminya yang telah menceraikannya.
c. Haram bagi laki-laki manapun untuk melirik isterinya, merayunya atau apalagi sampai meminangnya. Sebab suaminya -meski sudah menceraikannya- tetap jauh lebih berhak atas isterinya itu. Dan bagi isteri pun demikian, dia tetap tidak boleh membuka diri kepada siapa pun laki-laki, hingg selesai masa ‘iddahnya.
5. Adanya tiga level talak
Seandainya seorang wanita telah dicerai, lalu telah habis masa ‘iddahnya, bukan berarti segalanya telah selesai. Sebab suami masih tetap punya kesempatan untuk rujuk kembali kepada isterinya, meski syaratnya kali ini agak berat. Yaitu harus dengan akad ulang, plus 2 oran saksi dan tentunya yang terpenting adalah ijab kabul antara ayah kandung isteri dengan dirinya sekali lagi.
Hal ini bisa dilakukan karena pada dasarnya setiap pasangan punya 3 lapis talak. Bila satu jatuh, masih ada 2 lagi. Bila yang kedua jatuh, masih ada yang ketiga dan merupakan lapis terakhir.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.