Assalamu’alaykum war wab.
Ba’da tahmid dan shalawat, semoga ustadz senantiasa sehat dan dalam bimbingan-Nya.
Shahabat saya, pada saat istrinya awal-awal melahirkan, dia meminum ASI istrinya untuk mengurangi rasa sakit akibat ASI yang menumpuk (membengkak) karena daya hisap dan kebutuhan bayinya belum banyak. Bagaimana konsekuensi hukumnya mengingat dalam tradisi Islam dan hadits Rasul Saw, ada sepasang kekasih yang hendak menikah, tapi digagalkan karena terbukti (melalui saksi) memiliki ikatan saudara sepersusuan. Apakah hal ini juga berlaku bagi suami yang mengalir dalam darahnya, ASI istrinya. Mohon penjelasan. Jazaakal-Laahu ahsanul jazaa atas bantuannya.
Assalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Hubungan suami istri dalam Islam membolehkan suami menyusu kepada istrinya. Dan sebenarnya para ulama sudah menjelaskan apa saja syarat penyusuan yang bisa berdampak pada kemahraman seseorang dengan saudara susuannya. Yang paling penting adalah batasan usia yang menyusu. Yaitu dalam masa waktu dua tahun. Dua tahun adalah masa intensif untuk seorang bayi menyusu.
Dari Ibni Abbas ra berkata, "Penyusuan itu tidak berlaku kecuali dalam usia dua tahun" (HR. Ad-Daruquthuny).
Rasulullah SAW bersabda, "Penyusuan itu tidak berlaku kecuali apa yang bisa menguatkan tulang menumbuhkan daging." (HR. Abu Daud).
Dari Ummi Salamah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Penyusuan itu tidak menyebabkan kemahraman kecuali bila menjadi makanan dan sebelum masa penyapihan." (HR. At-Tirmizi).
Hadits terakhir menjelaskan bahwa bila telah lewat masa penyapihan seorang bayi lalu dia menyusu lagi, maka bila dia menyusu lagi tidak berdampak pada kemahramannya. Namun dalam hal ini para fuqoha berbeda pendapat:
1. Al-Malikiyah berpendapat bahwa hal itu tidak menyebabkan kemahraman dengan bayi yang menyusu pada wanita yang sama. Karena kedudukan air susu itu baginya seperti minum air biasa.
Dengan demikian maka bila seorang suami menyusu pada istrinya, jelas tidak mengakibatkannya menjadi saudara sesusuan, karena seorang suami bukanlah bayi dan telah tidak menyusu sejak lama. Suami itu sudah melewati usia dua tahunnya, sehingga ketika dia menyusu kepada seorang wanita lain termasuk istrinya, tidak berpengaruh apa-apa.
2. Namun sebagian ulama mengatakan bila seorang bayi sudah berhenti menyusu, lalu suatu hari dia menyusu lagi kepada seseorang, maka hal itu masih bisa menyebabkan kemahramannya kepada saudara sesusuannya. Di antara mereka adalah Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah. Termasuk pandangan ibunda mukimin Aisyah ra.
Pendapat mereka itu didasarkan pada keumuman hadits Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya penyusuan itu karena lapar".(HR. bukhari, Muslim dan Ahmad).
Dan dalam kondisi yang sangat mendesak, menyusunya seseorang laki-laki kepada seorang wanita bisa dijadikan jalan keluar untuk membuatnya menjadi mahram. Hal itulah yang barangkali dijadikan dasar oleh Aisyah ra. tentang pengaruh menyusunya orang dewasa kepada seorang wanita.
Rasulullah SAW memerintahkan Sahlah binti Suhail untuk menyusui Salim maka dikerjakannya, sehingga dia berposisi menjadi anaknya. (HR Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah).
Namun menurut Ibnul Qayyim, hal seperti ini hanya bisa dibolehkan dalam kondisi darurat di mana seseorang terbentuk masalah kemahraman dengan seorang wanita. Jadi hal ini bersifat rukhshah (keringanan). Hal senada dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah.
Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.