Assalammu Alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz bagaimana hukum muhrim sebenarnya? Kami pernah mendengar ada suami isteri bercerai karena sang suami selalu menyentuh kulit dari isterinya selepas berwudhu sehingga sang isteri yang mempercayai bahwa suami bukan muhrimnya menjadi batal wudhunya. Dan bagaimana yang berfikir sebaliknya? Kemudian bagaimana bila itu terjadi di waktu ketika melakukan umroh atau haji?
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kisah perceraian antara suami isteri seperti yang anda ceritakan itu seharusnya tidak perlu terjadi. Seandainya keduanya belajar ilmu fiqih dengan benar dan mendalam. Bukan sekedar sampai ke level rendah dan seadanya, lalu menyalahkan semua pendapat yang tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
Barangkali si isteri sejak kecil telah ‘dicekoki’ dengan pendapat fiqih yang mengatakan bahwa sentuhan kulit suami isteriitu membatalkan wudhu’ secara mutlak. Baik sengaja atau tidak sengaja, tetap batal wudhu’. Bahkan pihak yang menyentuh dan yang disentuh, keduanya batal menurut pendapat ini. Meskipun keduanya adalah pasangan suami isteri. Pokoknya ‘nyeggol’ =batal, titik.
Pendapat seperti ini memang ada dan kita akui keberadaannya. Namun bukan berarti kebenaran pendapat ini mutlak dan hanya satu-satunya.
Dan barangkali juga pihak suami dididik dengan alur pendapat fiqh yang sebaliknya. Mungkin gurunya juga ‘mencekokinya’ dengan pendapat bahwa sentuhan kulit laki-laki dan wanita itu selamanya tidak pernah membatalkan wudhu’. Mungkin gurunya berpegang teguh kepada pendapat para ahli tafsir yang mengatakan bahwa lafadz au laamastumun-nisaa’a bermakna majazi. Bukan sekedar sentuhan kulit tetapi ungkapan dari jima’ (hubungan seksual) suami isteri.
Sehingga bagi suami, sentuhan kulit laki-laki dan perempuan, tidak membatalkan wudhu’.
Pendapat seperti ini pun memang ada dan kita akui keberadaannya juga. Namun bukan berarti kebenaran pendapat ini mutlak dan hanya satu-satunya.
Seandainya pasangan suami isteri itu mengaji fiqih secara lebih dalam dan jauh, tidak hanya membenarkan pendapat sendiri atau ijtihad satu kelompok ulama saja, tentu tidak akan terjadi perceraian.
Mereka yang mengatakan sentuhan kulit itu mutlak membatalkan shalat, tidak akan pernah selamanya berpendapat demikian. Paling tidak, ketika thawaf di sekeliling ka’bah, pastilah mereka akan berpindah sementara kepada pendapat lainnya. Sebab boleh dibilang mustahil untuk tidak saling bersentuhan kulit dengan lawan jenis pada keadaan itu.
Sebaliknya, mereka yang mengatakan bahwa sentuhan kulit itu tidak membatalkan, juga bukan pada tempatnya untuk mengganggu keyakinan saudaranya, dengan cara mencolak-coleknya. Sebaiknya, meski tidak sepaham, bukan berarti kita boleh mengganggu saudara kita yang punya keyakinan fiqih berbeda. Sebaliknya, kita wajib menghormati apa yang menjadi keyakinannya.
Suami yang berpaham bahwa sentuhan kulit itu tidak membatalkan wudhu, tidak boleh ‘melecehkan’ isterinya yang berpaham bahwa sentuhan itu membatalkan. Toh, keduanya hasil ijtihad yang bisa benar atau bisa salah. Atau bahkan malah keduanya sama-sama benarnya.
Perbedaan ini sudah ada sejak turunnya wahyu dan sejak nabi masih hidup. Kalau para shahabat sendiri sudah berbeda pendapat, tetapi mereka saling menghormati sesamanya, bagaimana mungkin kita sekarang ini saling ejek dengan saudara kita sendiri atas masalah ini?
Alangkah indahnya bila para ustadz yang mengajar fiqih di masa globalisasi ini tidak selalu memberikan satu pendapat saja. Tetapi memberikan fiqih perbandingan antara mazhab, agar bisa mendekatkan berbagai perbedaan itu di tengah umat. Minimal tidak harus menyalahkan pendapat yang berbeda dengan pendapatnya secara tidak adil.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.