Assalammualaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan perihal seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an yang dijadikan sebagai mas mawin saat pelaksanaan akad nikah. Ada yang mengatakan bahwa jika seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an dijadikan mas kawin bisa memberatkan bagi si suami dan si istri jika kedua alat tersebut tidak diamalkan.. bisa dikatakan keduanya akan berdosa. Sehingga jika kedua mempelai merasa berat, jangan menjadikan kedua alat tersebut sebagai Mas kawin. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya sekedar symbol, dan bisa diamalkan kapan saja. Pertanyaan saya:
Bagaimana jika salah satunya tidak diamalkan, contohnya Al-Qur’an tersebut baru dibaca/diamalkan setelah 5 tahun perkawinan, yang mana sebelumnya Al-Qur’an tersebut hanya sebagai penghias lemari buku. Bagaimana dengan dosa yang ditanggung oleh si suami dan si istri apakah selama Al-Qur’an tersebut tidak diamalkan mereka sudah menanggung dosa?
Kiranya itu saja yang ingin saya tanyakan. Atas perhatian dan jawaban Bapak Ustadz saya ucapkan terima kasih.
Wassalammualaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri.
Mahar dan Nilai Nominal
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.
Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.
Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’ di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka, melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya." Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun." Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur’an?" Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu" (HR Bukhori Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur’an." Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan diterimanya.
Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil
Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan.
Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami mengatakan,"Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!." Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: "Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun."
Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu
Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri.
Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.
Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.
a. Sepasang Sendal Di masa Rasulullah SAW, kejadian mengenaskan seperti itu pernah terjadi. Di mana seorang laki-laki yang sangat miskin ingin menikah dan tidak punya harta apapun. Maka dibolehkan mahar itu meski berupa sendal.
Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?" Dia menjawab," Rela." Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).
b. Hafalan Quran:
Ada juga orang yang sangat miskin, tidak punya harta apapun, namun di kepalanya ada ilmu-ilmu keIslaman, dia banyak hafal Al-Quran dan mengerti dengan baik tiap ayat yang pernah dipelajarinya.
Maka atas ilmunya yang sangat berharga itu, dia boleh menjadikannya sebagai sebuah ‘harta’ yang punya nilai nominal tinggi. Meski tidak berbentuk logam emas. Kejadian itu benar-benar ada di masa Rasulullah SAW.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya." Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun." Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur’an?" Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu" (HR Bukhori Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur’an." Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa:
Bahkan bila seorang laki-laki tidak punya harta, juga tidak punya ilmu, tapi tetap ingin menikah agar tidak jatuh ke dalam lembah zina, boleh saja seorang wanita emngikhlaskan semua haknya untuk menerima harta mahar.
Sebab mahar itu memang hak sepenuhnya calon istri, maka bila dia merelakan sama sekali tidak menerima apa pun dari suaminya, tentu tidak mengapa. Dan kejadian itu pun pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, " Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya." Maka jadilah keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa’i 6/ 114).
Semua hadist tadi menunjukkan kasus kasus yang terjadi di masa lalu, di mana seorang laki-laki yang punya kewajiban memberi mahar dengan nilai tertentu, tidak mampu membayarkannya. Hadits-hadits di atas tidak menunjukkan standar nilai nominal mahar di masa itu, melainkan sebuah pengecualian.
Hal itu terbuktiketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara di atas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat qur’an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar." Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda."
Dalam konteks kebiasaan mahalnya mahar wanita di zaman itulah kira-kira tepatnya hadits Rasulullah SAW berikut.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)
Namun hadits ini perlu dipahami dalam konteks wanita di masa itu yang sama sekali tidak mau bergeming dari tarif mahar yang diajukannya. Sedangkan untuk konteks kita di Indonesia, di mana kebiasaan kita memberi mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat yang sangat murah, tentu perlu dipahami secara lebih luas.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.