Assalamualaikum wr. wb.
Pak Ustadz,
Baru-baru ini poligami menjadi sorotan, ada yang pro dan kontra, namun saya pernah mendengar ada hadits yang Rasululah sendiri melarang anaknya (Fatimah), di-poligami, padahal Rasulullah sendiri berpoligami. Sepertinya bertentangan, mengapa demikian? Bagaimanakah yang benar?
Yang kedua, haruskah pria yang mau poligami meminta izin isteri pertamanya? Kalau ya, dan isterinya tidak mengizinkan, bagaimana, apakah harus tetap poligami?
Mohon penjelasan dari pak ustadz.
Wass. wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kita harus membedakan antara hukum yang membolehkan poligami dengan sikap atas suatu keadaan yang bersifat subjektif.
Secara hukumnya, poligami itu dibolehkan. Seratus persen halal dan langsung ditetapkan oleh Al-Quran sendiri. Tidak boleh ada mengubah ayat tersebut selama-lamanya, kecuali dia kafir kepada Allah SWT.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3)
Ayat di atas sangat tegas dan jelas menggambarkan kehalalan dan kebolehan perpoligami, tentunya dengan syarat-syaratnya.
Namun tindakan Rasulullah SAW yang meminta kepada menantunya, Ali bin Abi Thalib ra. untuk tidak mempoligami anaknya, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat tentang poligami di atas. Permintaan beliau bersifat sangat manusiawi.
Harus kita ingat bahwa selain sebagai pembawa risalah, Muhammad SAW juga seorang manusia, yang punya isteri, anak, menantu serta teman. Hubungan yang bersifat pribadi antara beliau SAW dengan Ali bin Abu Thalib sangat dekat. Karena Ali ra. sejak kecil diasuh dan tinggal di rumah beliau SAW. Sehingga posisinya sudah seperti anak sendiri. Dan Rasulullah SAW sendiri sejak kecil tinggal dan diasuh oleh ayahnya Ali ra, maka lengkaplah kedekatan dan kemesraan antara keduanya.
Hubungan mereka melewati batas-batas hubungan formal antara seorang nabi dan umatnya, mereka ibarat ayah dan anak, kakak dan adik seppupu, teman dekat, bahkan sahabat.
Tidak jarang Rasulullah SAW ikut campur dalam urusan keluarga Ali ra. dan Fatimah ra. Misalnya, suatu ketika Fatimah ra. meminta kepada beliau SAW untuk diberikan pembantu rumah tangga, namun beliau menolaknya. Bagi Ali ra, penolakan nabi SAW itu tidak pernah membuatnya tersinggung, sebab baginya Rasulullah SAW terlalu dekat.
Namun secara manusiawi juga, terkadang Ali bin Abu Thalib ra. merasa kikuk dengan posisi sebagai teman dan sekaligus mertua. Sampai-sampai ketika bertanya dengan keadaaannya yang mudah keluar mazi, justru beliau minta shahabat lain bertanya kepada Rasulullah SAW.
Kedekatan Ali ra. dengan Rasulullah SAW ini sangat istimewa, tidak dimiliki oleh para shahabat lainnya. Sebab selain hubungan mertua menantu, mereka berdua adalah sepupu yang masing-masing pernah tinggal dan dibesarkan dalam satu rumah.
Saking dekatnya ayah Ali, yaitu Abu Thalib dengan diri Muhammad SAW, sampai-sampai dia punya kursi khusus yang tidak boleh seorang anaknya untuk mendudukinya, kecuali Muhammad SAW. Sedemikian istimewanya kedudukan beliau SAW di mata Abu Thalib dan anaknya.
Maka ketika Ali ra. menikahi puteri Rasululah SAW, Fatimah ra, hubungan mereka sangat dekat dan mesra. Bagi Ali ra, mertuanya itu sudah seperti ayahnya sendiri, teman sendiri dan tempat curhat. Demikian juga dengan Rasulullah SAW, baginya Ali bin Abi Thalib ra. lebih dari sekedar menantu, tetapi teman baik, shahabat, tempat curhat serta seperti anak kandung sendiri.
Maka amat wajar dan manusiawi ketika Rasulullah SAW menginginkan agar Ali bin Thalib tidak mengawini wanita lain selain puterinya, paling tidak selama beliau SAW hidup. Permintaan ini berlaku sangat khusus hanya antara mereka berdua saja. Tidak bisa dijadikan dasar hukum yang umum hingga seolah poligami dilarang di dalam Islam.
Kalau memang benar poligami dilarang dalam Islam, seharusnya permintaan untuk tidak menikahi dua wanita atau lebih bukan hanya ditujukan kepada Ali ra. seorang, tetapi kepada semua shahabat nabi SAW. Padahal begitu shahabat nabi SAW yang melakukan poligami. Jumlahnya tidak terhitung. Bahkan diri beliau SAW melakukan poligami.
As-Sayyid bin Abdul Aziz As Sa’dani mengatakan bahwa sesungguhnya hadits atau hukum larangan poligami ini khusus untuk putri Rasulullah SAW. Dan bahwasannya ia tidak akan berkumpul dengan putri musuh Allah. Oleh karena itu, putri Rasulullah tidak akan bersatu bersama putri musuh Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Munayyir Al-Iskandari, "Ini termasuk dalam wanita wanita yang diharamkan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Sesungguhnya aku khawatir mereka akan menfitnah putriku." Kalau Ali bin Abu Thalib menikah dengan selain putri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, niscaya Nabi tidak akan mengingkarinya…
Maka argumentasi haramnya poligami hanya berdasarkan karena Rasulullah SAW melarang Ali bin Abi Thalib menikahi Juwairiyah setelah beristrikan Fatimah ra. adalah argumentasi yang kurang tepat. Mungkin mereka yang mengatakannya terbawa nafsu dan kurang memahami hakikat dan realita sirah nabawiyah yang sesungguhnya. Juga kurang mengenal metode istimbath hukum fiqih yang baku.
Cukup dengan melihat siapa saja yang berargumentasi demikian, kita akan tahu kebanyakannya bukan ahli syariah. Sehingga tidak berhak untuk secara serampangan melakukan istimbat hukum syariah. Sesungguhnya hukum tentang poligami hanya tepat disimpulkan oleh mereka yang punya kapasitas dalam ilmu syariah. Tanpa penguasaan yang benar terhadap ilmu syariah, maka hasilnya tidak pernah bisa dipertanggung-jawabkan.
Izin Dari Isteri
Secara hukum sah pernikahan, tidak ada ketentuan untuk menikah lagi harus mendapatkan izin dari isteri pertama. Jadi poligami yang dilakukan seorang suami tanpa izin isterinya, tidaklah membuat poligami itu tidak sah secara hukum.
Namun sesuatu yang bukan syarat sah, tidak berarti harus ditinggalkan. Misalnya, syarat sah shalat itu menutup aurat. Dan aurat laki-laki itu ‘hanya’ antara pusat dan lutut saja. Seandainya seseorang shalat hanya menggunakan celana kolor yang menutupi lutut hingga pusat, maka secara hukum tetap sah. Tetapi secara kelayakan umum dan etika, rasanya sulit diterima. Apalagi orang ini menjadi imam shalat di masjid dan berkhutbah sambil telanjang dada, wah rasanya agak aneh. Tetapi kalau kita bicara hukumnya, tetap saja sah.
Demikian juga dengan izin dari isteri untuk poligami, tidak ada hak siapapun yang mengharuskan suami mengantungi izin isteri untuk menikah lagi. Namun sebagai suami yang baik, alangkah baiknya bila jah hari sebelum berpoligami, dia sudah menyiapkan mental isterinya, sehingga tidak jatuh terkaget-kaget ketika mendengarnya.
Bukankah Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ
Dari Ummul Mu’minin Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda," Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada isteriku." (HR At-tirmizy)
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.