Ass. wr. wb.
Saya telah berhubungan dengan pacar saya selama 5 bulan tetapi kami hanya bertemu beberapa kali saja, karena beliau harus kembali ke kota asal. Pada pertemuan kedua, kami memutuskan untuk menikah. Orang tua saya kurang setuju apabila saya berpacaran dengan beliau karena mereka memandang status pendidikan dan ras, sehingga kami tidak berani untuk mengutarakan maksud kami tersebut.
Sedangkan kami sudah mantap untuk menikah, karena kami takut akan dosa apabila kami terus berpacaran. Kami memutuskan menikah tanpa restu orang tua. Pada saat itu, ada orang yang mau menolong kami, dan bersedia untuk mencarikan penghulu, tapi dengan syarat apabila ditanya katakan pada penghulu bahwa kami bangun nikah.
Kami kurang setuju karena kami tidak mau berbohong, waktu akad nikah, kami berkata jujur, penghulu tidak mau menikahkan kami kecuali pernikahan dilangsungkan ke luar kota dengan menempuh jarak 90 km. Akhirnya kami menikah dengan menempuh jarak 90 km terlebih dahulu dan menggunakan wali muhakam. Yang ingin saya tanyakan:
1. Apakah saya telah berdosa terhadap kedua orang tua saya?
2. Apakah pernilkahan saya telah syah di mata agama?
3. Jika pada akad nikah pertama saya mengatakan bangun nikah, apakah pernikahan tersebut syah?
terima kasih.
Ass wr.wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syariah Islam tidak mengenal istilah bangun nikah, apalagi menikah dengan jarak minimal 90 km.
Yang dikenal dalam syariah hanyalah bahwa nikah itu memutlakkan adanya wali yang sah. Bukan wali pura-pura atau wali hakam atau apa pun namanya. Selama wali itu bukan ayah kandung, apa pun nama nikahnya, tetap saja hukumnya zina.
Pihak-pihak yang bermain-main dengan masalah ini, meski seorang yang dipandang sebagai ustadz, kiyai, tokoh agama dan sebagainya, tetap akan terkena dosa besar, yaitu menghalalkan zina. Padahal zina itu haram hukumnya, dosa besar dan diancam azab yang sangat pedih di neraka. Kalau sampai orang-orang itu memboehkan ada wanita menikah tanpa wali ayah kandungnya, maka bersiaplah disiksa di neraka, lantaran menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Naudzu billahi min zalik.
Kedudukan ayah kandung sebagai wali sangat mutlak, tidak tergantikan oleh siapa pun juga, termasuk oleh hakim. Kecuali dengan kondisi berikut:
- Ayah kandung secara sah mewakilkannya kepada orang lain. Dalam hal ini, siapa pun bisa menjadi wali asalkan memenuhi syarat sebagai wali.
- Ayah kandung gugur jadi wali, misalnya lantaran kafir atau hilang akal atau meninggal. Dalam kondisi ini, maka wali yang berada pada urutan berikutnya menggantikan posisinya.
Sedangkan hakim hanya boleh jadi wali manakala seorang wanita tidak punya satu pun orang yang memenuhi syarat menjadi walinya. Dan hakim ini bukan ditemukan di pinggir jalan, tetapi kedudukannya adalah representasi dari pemerintah yang sah. Tanpa ada kewenangan dari pemimpin negara, tidak seorang pun berhak menjadi hakim dalam sebuah pernikahan.
Seseorang yang mengangkat dirinya begitu saja menjadi hakim lalu menikahkan pasangan suami isteri, akan ikut disiksa di neraka, karena dia telah menghalalkan zina.
Dan pasangan-pasangan yang menikah dengan cara demikian, hanya punya satu dari dua kemungkinan.
Pertama, suami harus segera menemui ayah kandung isteri untuk minta dinikahkan ulang. Dan hal itu hanya butuh 1 menit saja, yang penting ada ada dua saksi. Lau ayah kandung isteri berkata, "Kamu saya nikahkan dengan anak saya." Dan suami menjawab, "Saya terima." Cukup dan nikah itu sah. Kalau ayah kandung tidak mau melakukannya sendiri, minimal beliau mau mengizinkan atau mewakilkannya kepada orang lain.
Kedua, pisah sesegera mungkin tanpa cerai, sebab pernikahan tidak pernah terjadi di dalam hukum Islam. Sehingga pada dasarnya pasangan itu adalah dua makhluk lain jenis dan bukan mahram (ajnabi). Haram untuk berduaan, terlihat sebagian aurat, apalagi sampai melakukan hubungan suami isteri. Keduanya harus dipisahkan sesegera mungkin, karena pada hakikatnya zina.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.